Membaca Partisipasi Perempuan di Desa

Perempuan dan desa merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Desa sebagai unit adminstrasi kecil dalam pemerintahan sudah semestinya tidak melihat perempuan sebagai entitas yang “selalu dikalahkan”. Maka era baru, bersamaan dengan UU UU No.6/2014 ttg Desa, menjadi peluang besar bagi perempuan untuk “merebut” ruang-ruang yang selama ini didominasi laki-laki. Perempuan-perempuan desa sudah saatnya berkuasa atas diri dan pikirannya, sehingga memiliki ruang yang setara dalam lembaga-lembaga desa yang ada. Tentu saja ini pekerjaan besar dan tidak mudah.

Bagaimana membaca perempuan dan desa? Bagaimana upaya untuk mendorong perempuan dan laki-laki untuk membuka secara bersama-sama ruang yang setara dalam bidang apapun di desa? Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, Ariwan K Perdana, dari satunama.org, melakukan wawancara dengan Damar Dwi Nugroho dan Nunung Qomariyah, pengampu Program Perempuan dan Desa pada Departemen Politik, Demokrasi, dan Desa SATUNAMA. Wawancara dengan keduanya dilakukan secara terpisah, melalui email. Berikut petikan wawancara tersebut.

Program baru yang sedang dikerjakan SATUNAMA, tentang Perempuan dan desa. Bolehkah diekplorasi seperti apa program ini? Tujuan dan pola kerjanya? Dan apa nama program yang sedang disiapkan?

Damar_2
Damar Dwi Nugroho [Foto: istimewa]
Damar: Mungkin sedikit perlu saya sampaikan latar belakangnya yang saya kaitkan dengan lahirnya Departemen Politik, Demokrasi dan Desa (PDD). Departemen ini masih baru. Setelah melalui proses yang cukup lama di dalam SATUNAMA sendiri, departemen ini diniatkan agar lebih fokus dan tajam dalam mengimplementasikan mandat SATUNAMA. Sebagai sebuah langkah lanjutan tentang program-program yang sudah lebih dulu ada di desa.

Adanya UU No.6/2014 tentang Desa menjadi momentum yang baik, untuk fokus melakukan percepatan perbaikan di desa yang selama ini dipinggirkan.  Dalam pandangan kami UU ini cukup membuka ruang dan peluang untuk itu, meski harus tetap kritis terhadap niatan-niatan “busuk” yang akan membonceng UU ini karena peluang itu terbuka lebar. Indikasinya sudah terlihat dengan adanya wacana Dana Desa 1 M lebih bagi setiap desa. Di dalam UU juga disebutkan adanya BUMDes yang pengaturannya hingga saat ini juga belum jela apakah niatannya untuk membangun kemandirian desa secara ekonomi?

Sebagaimana kita ketahui desa merupakan kawasan Sumber Daya Alam. Sehingga sistem pemerintahan desa perlu disiapkan secara baik untuk memastikan pengeloaan sumber sumber daya di desa dapat dimanfaatkan sebaik baiknya untuk kemakmuran rakyat. Jika tidak, akan ada raja-raja baru penguasa kapital di desa, sehingga pemerataannya akan semakin jauh dari harapan. Saya curiga, melihat fenomena yang ada selama ini, seperti yang hari ini marak terjadi, konflik pemanfaatan hutan, konflik tambang, konflik agraria. Maka kalau melihat isi dan niatan dari UU Desa ini, yang diamini banyak pihak,  atas nama kemandirian ekonomi dalam jangka waktu 10-20 tahun atau bahkan kurang dari itu, BUMDes hanya akan menjadi alat penguasa-penguasa modal untuk mengekploitasi SDA di desa dengan dalih kemakmuran rakyat. Merujuk pada watak dasar kapital tentu hanya akan ada “outhopia” kesejahteraan rakyat di desa.

Dengan gambaran itu, dan keberpihakan SATUNAMA pada Kelompok Kecil, Lemah, Miskin, Tertindas, dan Disabel, (KLMTD), maka program ini hadir untuk memperjuangkan mereka. Tentu ini bukan soal anti kapital buta, tapi mendorong dan mempersiapkan pengelolaan yang lebih manusiawi, tidak menghisap, dan berkedilan. Dan tentu ini butuh kekuatan, yang hadir dari kesadaran rakyat untuk membangun sistem dan menjaga sistem itu. Kesadaran itu terkait dua hal. Yaitu informasi dan internalisasi nilai. Informasi akan mempengaruhi wacana, keluasan informasi dan wacana akan membantu proses pengkayaan wacana. Sedangkan internalisasi nilai membangun paradigmatik. Di sinilah peran SATUNAMA untuk membantu menginternalisasi nilai-nilai dengan membangun kesadaran, nilai nilai penghargaan atas kemanusiaan.

Pilihan sasaran program desa adalah kelembagaan dan sistem pemerintahan desa. Kita akan memperkuat dan membangun sistem tata pemerintaha yang indikator keberhasilannya pada kebijakan desa yang mampu memfasilitasi tencapai cita cita kemakmuran rakyat desa. Artinya sasaran program ini ada di tingkat supra struktur desa atau perangkat desa.  Program yang kami persiapkan adalah Penguatan Kelembagaan Pemerintah Desa.

Dalam bayangan anda, desa impian itu yang seperti apa? dan apakah sudah ada desa yang seperti itu di Indonesia?

Damar: Sebuah desa yang didalamnya menghargai nilai keberagaman; kebersamaan; kegotongroyongan; kekeluargaan; musyawarah yang demokratis; kemandirian; partisipatif; kesetaraan; warga yang berdaya dan keberlanjutan dalam mengelola SDA. Saya secara pribadi belum menemukan desa yang semacam itu.

Apa pandangan anda terhadap UU No 6 Tahun 2014? Dan terkait penerapan UU tersebut, bagaimana kaitannya dengan desa impian yang diharapkan?

Damar: Aspek kecurigaan terhadap UU No.6/2014 ini sudah saya jelaskan di awal, UU ini merupakan UU terbaik dalam konteks desa, meski bukan yang sempurna. Karena memberikan ruang dalam aspek penghargaan terhadap desa dengan segala isinya, ini peluang.

Bagaimana anda memandang dinamika hidup masyarakat pedesaan secara kultural? Dalam bentuk apakah program ini akan berkolaborasi dengan aspek kultural masyarakat desa?

Damar: Saya percaya bahwa yang tidak akan berubah itu adalah perubahan itu sendiri. Jadi, budaya itu merupakan produk perubahan. Sehingga tidak bisa dipandang budaya itu secara statis, memang yang dinginkan perubahan itu ojo kecepaten dan mendadak, mergo iso keplengkang loro, alon alon sing penak dirasakke dan dinikmati prosesnya. Faktor potensi perubahannya juga sudah terbuka lebar, tetapi tentu ada filtering yang dikomparasikan dengan kompatilitas arus besar kehendak jaman, ditingkat tata nilai yang positif budaya menjadi potensi pendukung tercapainya cita cita kemakmuran rakyat desa.

Terjadinya pembalakan liar, penggundulan hutan hingga eksploitasi besar-besaran, adalah dampak dari keserakahan manusia di luar komunitas Desa. Karena masyarakat Desa tidak perlu melakukan hal tersebut, mereka cukup menjaga keseimbangan alam dan kelestarian hayati, maka semua kebutuhan hidup berupa sandang pangan dan papan akan terpenuhi. Seberapa penting isu desa dalam ruang lingkup Indonesia?

Damar: Saya ambil contoh saja, apakah pohon di hutan atau sawah di lahan pertanian yang menghasilkan bahan pangan untuk memasok kebutuhan pangan manusia dan bahan baku bisa disediakan dengan mengganti dengan media hydroponic? setahu saya belum pernah ditemukan teknologi yang mampu menggantikan sawah untuk produksi bahan pangan masal. Dan belum pernah ada alat perbaikan kualitas udara itu dihasilkan oleh alat-alat teknologi canggih untuk pemurnian udara, kalau itu untuk memurnikan udara yang akan memasok nafas orang sekota Jogja,  hanya hutan yang bisa melakukan itu secara baik dan canggih.

Selanjutnya, dalam pola-pola kerja yang digambarkan tadi, bagaimana posisi dan partisipasi perempuan dalam proses pembangunan desa hari ini?

Damar: Seperti saya sampaikan diatas, ini soal penghargaan kemanusiaan, sudah berperan tapi tidak dihargai, tidak dihitung, pandangan masyarakat sebagian besar masih menganggap perempuan itu lemah, ruang partisipasi politik perempuan seperti ada sekat penghalang, karena kultur patriarki yang masih membudaya, sehingga dominasi laki laki terjadi di sektor publik, marginalisasi perempuan pun terjadi dengan domestifikasi.

Nunung_2
Nunung Qomariyah [Foto: istimewa]
Nunung: Perempuan telah mengalami kemajuan pesat, pendidikan tidak kalah dengan laki-laki, jabatan publik sudah banyak dipegang perempuan dan banyak yang memilih jalur politik formal untuk perjuangan kaumnya. Di sisi lain, di desa-desa kondisi perempuan masih memprihatinkan. Hal yang menyangkut hidup dan kehidupan belum menjadi agenda politik di desa. Bisa cek angka kematian ibu dan anak yang semakin tinggi justru setelah ada MGDs. Di masyarakat desa miskin, perempuan justru ambil alih peran jadi tulang punggung keluarga. Tanpa perlindungan memadai, keterampilan minim, mereka jadi Pekerja Rumah Tangga, buruh pabrik di kota besar dan luar negeri. Di satu sisi ia dianggap berjasa bagi keluarga, di sisi lain penghargaan terhadap perempuan minim. Di ruang publik perempuan juga tidak banyak punya ruang untuk mengartikulasikan kepentingannya. Semua lembaga formal di desa didominasi oleh laki-laki.

Hingga hari ini rasanya tidak banyak keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa. Sehingga ada banyak peraturan-peraturan desa yang tidak memberikan ruang bagi perempuan. Bagaimana Anda memandang kaitan antara perempuan dan desa? Dan apa yang paling krusial dalam hal ini?

Damar: Peraturannya tidak sensitif gender dan harus diubah. Ruangnya dibuka sama-sama, di Musrenbangdes atau rapat rembug desa misalnya. Bagaimana bisa efektif menghadirkan perempuan jika dilaksanakan pada malam hari. Ia dihadapkan pada pilihan nunggui anak atau ikut rapat malam, padahal dia masih menyusui anaknya.

Nunung: Saya kira ini momentumnya tepat. UU desa jelas memberikan perhatian khusus bagi perempuan untuk bisa terlibat dalam proses-proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring. Tentu tidak mudah mendorong perempuan desa untuk mulai masuk dalam ruang-ruang itu, tetapi peraturan di dalam UU itu bisa menjadi dorongan. Tinggal bagaimana kita ini perlu memastikan perempuan bisa terlibat aktif, dan sungguh-sungguh membawa agenda perempuan.

Ibaratnya perempuan itu kalah start dengan laki-laki. Sehingga secara kapasitas dan keterampilan perlu ditingkatkan. Loh perempuan itu sudah saking lamanya terdominasi merasa biasa saja dan tidak ada masalah loh, jadi membuka daya kritis mereka perlu kerja keras tersendiri. Barulah ruang-ruang formal dan informal di desa itu dimanfaatkan.

Gerakan perempuan dituntut untuk berpartisipasi dan berperan dalam politik. Pemberian kuota di parlemen menunjukkan hal tersebut. Bagaimana menurut anda cara efektif mempersiapkan perempuan untuk benar-benar siap terjun ke politik dengan memiliki kemampuan dan wawasan tentang politik yang memadai dan bukan hanya sekadar memenuhi kuota saja? Bagaimana penerapannya di desa? Dan apa yang bisa dilakukan perempuan untuk “merebut” peran-peran itu di desa?

Damar: Jangan yang dituntut itu perempuannya. Wong mereka itu korban je, kok malah dituntut. Pihak pelaku yang harus dituntut untuk mengembalikan hak hak partisipasi perempuan dan yang berubah metodenya dong. Akses informasi, metode atau sistem yang sensitif gender. Ruang yang kondusif dengan sendirinya parempuan akan melibatkan diri, mosok sebagai manusia dia tidak punya kepentingan?

Apa sebenarnya hambatan terbesar untuk mewujudkan keterlibatan dan peran perempuan dalam politik desa secara khusus?

Damar: Ketika bicara soal politik, ini seperti arena ring tinju bebas, kalau tidak ada perlakuan khusus terhadap perempuan, maka selamanya perempuan tidak akan mungkin mengambil bagian yang sama dalam mempengaruhi keputusan publik. Menggeser culture negative, yang menjadi penghalang dalam konteks ini sangat tidak mudah, perlu proses dan perjuangan yang panjang, baik di internal perempuan maupun di luar.

Bagaimana SATUNAMA membaca peran perempuan dalam pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan di desa? Apa yang bisa diupayakan?

Damar: Mendorong peningkatan partisipasi politik perempuan dan masyarakat di desa, Ruang partisipasi yang sensitif gender.

Apa indikator keberhasilan dalam program ini, terkait sebuah desa yang melibatkan perempuan dalam proses pembangunannya?

Damar: Salah satu indikatornya adalah lahirnya program di desa yang digagas dan diimplementasi oleh perempuan dan untuk perempuan di desa. Selama ini program-program secara umum belum mencerminkan kepentingan dan kebutuhan perempuan di desa.

Di beberapa desa keterlibatan perempuan dalam Musyawarah Desa dalam rangka menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tampaknya sudah menguat. Bahkan, secara kuantitatif keterlibatan perempuan melebihi kelompok laki-laki. Sekitar 60-70% peserta musdes adalah perempuan. Secara kualitatif partisipasi perempuan dalam musdes ini dapat dilihat kemampuan mereka mengartikulasikan aspirasi dan pandangan mereka dalam kegiatan yang harus dimasukkan dalam RPJM Desa. Program ini apakah akan diarahkan kesana? Apa yang perlu dikuatkan dari program ini?

Damar: Saya kira benar program ini memang akan diarahkan kesana, pengawalan dan implementasi. Pengawalan isi dan pada tahap implementasi sangat penting untuk dilakukan. Banyak yang menyalip ditikungan. Lemahnya pengawalan menjadikan perjuangan aspirasi perempuan dalam RPJM Desa sia-sia.

Partisipasi perempuan untuk memperjuangkan apa yang telah dihasilkan dalam musrenbang desa dikebiri oleh proses musrenbang yang berlangsung secara tidak transparan di tingkat kecamatan sehingga keputusan yang dihasilkan menjadi bersifat top-down akibat manuver politik elit lokal.  Ketika partisipasi perempuan ini makin melemah, maka peluang aktual mereka untuk merealisasikan fungsi, yakni peningkatan kualitas hidup yang sesuai dengan kebutuhan mereka akan makin berkurang.  Hal ini terbukti dengan banyaknya program-program yang sudah direncanakan dalam musrenbang desa gugur dan  tidak bisa didanai karena tidak sesuai dengan skema program pemerintah yang sudah ditentukan secara teknokratik. Upaya-upaya apa saja yang perlu dilakukan agar partisipasi perempuan di desa, tidak kemudian macet di tingkat yang lebih tinggi, kecamatan, dan kabupaten?

Damar: Memang adalah pengawalan program, dan perjuangan perencanaan ditingkat kabupaten juga menjadi sangat penting. Saat ini ada peluang implmentasi dengan dana desa, namun juga tidak kalah penting terkoneksi dengan perencanaan di tingkat kabupaten dan selanjutnya, kalau tidak terkoneksi atau selaras dengan PRJM Kabupaten. Juga akan sulit tentu mewujudkan implementasi program di tingkat desa.

Perempuan berorganisasi, well informed dan berdaya menjadi modal utama dalam memperjuangan kepentingan perempuan. Dukungan sistem dengan dengan perubahan sistem di tingkat kelembagaan desa, maka standar layanan informasi publik yang baik akan dapat dimanfaatkan sebagai bagi seluruh elemen di desa dalam melakukan partisipasi baik ditingkat perencanaan maupun pengawasannya.

Terakhir, apa yang membuat anda merasa yakin bahwa program ini mampu mencapai tujuan besar?

Damar: Dalam perencanaan program ini tidak saya beri target waktu. Secara peluang, regulasi telah tersedia, akses dan keterbukaan informasi semakin baik, secara kecenderungan ide capaian tujuan besar ini juga menjadi gagasan keinginan banyak pihak yang merasa membutuhkan perubahan keadaan sama seperti kita.[]

Tinggalkan komentar