Ulang Tahun ke-17 SATUNAMA : Dari SATUNAMA untuk Jogja Berdaya

Pola memindahkan masalah akan memunculkan kasus-kasus air di tempat lain. Forum sinergi antara warga, aktivis, dan akademisi menjadi satu peluang yang kuat untuk menyelamatkan hak air  warga jogja.

Satunama.org Yogyakarta. Ulang tahun ke-17 Yayasan SATUNAMA yang jatuh pada hari Rabu (25/3), dirayakan dengan cara yang sederhana. Ulang tahun digelar bersamaan dengan peringatan Hari Air Dunia, 22 Maret. Tema yang diambil adalah “Menilik Hak Perlindungan Atas Air dalam Kebijakan Tata Ruang”.

Acara dimulai dengan nonton bareng film “Belakang Hotel”, dilanjutkan dengan diskusi film yang menghadirkan pengamat dan pengkaji Lingkungan dari Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno. Bertindak sebagai moderator adalah Damar DN dari SATUNAMA. Sarasehan yang dilakukan pada sore hari ini diikuti oleh berbagai elemen, di antaranya akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta, Warga Berdaya, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral Kabupaten Sleman, warga Duwet dan beberapa komunitas mitra SATUNAMA seperti komunitas Keningar, Imogiri, dan Ngablak.

ET
Eko Teguh Paripurno [Foto : Ariwan K Perdana/SATUNAMA]
Eko Teguh Paripurno, yang akrab di sapa dengan ET, menyampaikan pesan penting dari film “Belakang Hotel” dan peringatan Hari Air Dunia, “Pesan dari film yang kita simak ini, setidaknya bisa dilihat bahwa di satu sisi ada kemudahan mengambil, mengelola, mengontrol air oleh sekelompok orang, sementara di satu sisi yang lain ada warga yang kesulitan.  Menyimak film tersebut apa yang bisa kita lakukan sebagai individu? Pertama, memboikot pembikin masalah, di konteks film tadi adalah hotel. Kedua, empati, melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang bermasalah. Dan ketiga, mengingatkan pemerintah”.

Film “Belakang Hotel” produksi Watchdoc adalah kisah nyata tentang perampasan air oleh pengusaha-pengusaha besar dari warga sekitar. Dodok, salah satu aktivis Warga Berdaya Miliran, dan salah satu tokoh dalam film “Belakang Hotel” mengungkapkan perjuangannya, “Film ini diinisiasi Warga Berdaya. Tujuannya untuk menunjukkan pada banyak orang.”

“Aksi tunggal yang saya lakukan itu karena kepepet, nggak bisa gerakin massa, padahal DIY dalam sejarahnya belum pernah krisis air.  Kasus Miliran bukan hanya Juli tahun lalu, waktu puasa dan sebelum pilpres, Miliran sebelah utara sudah kering. Di RT saya ada beberapa yang kering,” ujar Dodok lagi.

Diskusi menjadi semakin menarik ketika ET mengutarakan pendapatnya tentang sistem pengelolaan air. ”Hotel mengambil air dari PDAM, 80% PDAM diambil dari sumur. Itu artinya memindahkan masalah dari Miliran ke tempat lain yang lebih hulu. Pertanyaannya adalah apakah mandat PDAM hanyalah menjual air? Siapa yang harus bertanggungjawab menanam air? Untuk industri, masalahnya ada di PDAM yang tidak atau belum memiliki program untuk penyeimbang air yang dambil, dan yang harus ditanam,” kata ET.

ET juga menyentil kebiasaan warga dalam menggunakan air. “Bagi kita, warga biasa, sebenarnya bisa melakukan hal mendasar tapi kita sering tidak melakukan apa-apa. Kita tidak pernah menanam air juga. Apakah di rumah kita ada sumur resapan? Kita banyak mengambil air tapi tidak pernah menanam air. Jika ada sumur resapan, kita bisa memulai.”

Kabupaten Sleman setiap satu tahun kehilangan tanah sekitar 50-70 hektar akibat alih fungsi lahan. Belajar dari kasus dalam film tersebut, tampaknya banyak yang bisa dilakukan di Sleman. “Belajar dari pengalaman kawan-kawan yang bermasalah dengan apartemen Uttara, argumentasi yang dibangun adalah argumentasi formal, bahwa Depok terbuka untuk permukiman, tapi rencana tata ruang wilayah  kabupaten sangat general, rancana detail sampai sekarang belum diberikan,” ungkap Sigit Widiarto, dari  Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Tumpengan ultah
Penyerahan potongan tumpeng dari Direktur SATUNAMA F.X Bimo Adimoelyo kepada Dodo dari Warga Berdaya, sebagai bentuk dukungan SATUNAMA untuk Jogja Berdaya. [Foto: Bima Sakti/SATUNAMA]
Hal ini dikuatkan oleh Beni dari Forum LSM DIY. Menurutnya, pola memindahkan masalah akan memunculkan masalah lain.  “Dari forum ini, atau pun SATUNAMA, sudah ada sinergi yang baik dengan warga, aktivis, dan akademisi, saya kira ini menjadi satu peluang yang kuat untuk menyelamatkan hak air warga jogja,” tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Untung Kurniawan, dari Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral  Kabupaten Sleman mengatakan bahwa Sleman sudah menanam air sejak 2011. Hingga 2015 mereka  sudah membuat sekitar 24 embung dan menyelamatkan 185 mata air dari total sekitar 600 mata air di Kabupaten Sleman. “Apabila ada yang menemukan mata air, tolong beritahu kami. Nanti akan kami selamatkan dan kami bangun. Pemberdayaan dibangun dengan membentuk organisasinya,” ujar Untung. Lebih lanjut Untung menyampaikan bahwa mata air di puncak Merapi, Umbul Wadon dan Umbul Lanang sudah luar biasa sekali debit airnya.

Acara kemudian ditutup dengan potong tumpeng. Direktur SATUNAMA, FX. Bimo Adimoelyo, mengatakan bahwa SATUNAMA adalah bagian dari Jogja Berdaya. “Ini usia yang tepat untuk memilih apakah kami mau menjadi bagian dari masalah atau bagian untuk menyelesaikan masalah. Kami tegaskan bahwa kami ada bersama kawan-kawan, kami ingin menjadi bagian yang menyelesaikan masalah. Ini pilihan sadar SATUNAMA untuk berpihak. Kami berada di pihak rakyat. Untuk Jogja berdaya”

Penulis : Ryan Sugiarto
Editor : Ariwan K. Perdana

Satu pemikiran pada “Ulang Tahun ke-17 SATUNAMA : Dari SATUNAMA untuk Jogja Berdaya”

  1. Pertama-tama, selamat untuk Satunama atas ulang tahun ke 17.
    Kedua, selamat juga atas tampilan website yang baru dan lebih berkesan.
    Ketiga, pernyataan pak Sigit tentang langkah penyelamatan air di wilayah Sleman pantas menjadi perhatian besar. Kabupaten Sleman perlu melakukan evaluasi atas kebijakan pemberian izin untuk perumahan besar. Terdapat kecenderungan besar bahwa izin pembangunan perumahan tidak memperhatikan secara serius soal keberadaan lahan hijau produktif dan resapan air. Salah satu contoh adalah lahan produktif dan resapan air di wilayah padukuhan Drono dan Dayakan, Kecamatan Ngaglik, Sleman yang telah berubah menjadi perumahan sangat besar dan megah. Hamparan tanah subur yang luas, yang selama ini juga menjadi sumber penghidupan bagi warga sekitar sebagai petani penggarap, saat ini telah hilang dan berubah menjadi hamparan perumahan dengan patung-patung kuda putih yang besar dan megah.

    Kemanfaatan lahan subur bagi produksi pertanian dan berperan sebagai lahan resapan air tanah, telah selesai. Jika musin hujan tiba, jalanan desa yang terletak persis di seb utara perumahan ini kini menjadi sungai banjir yang luar biasa karena jalur selokan air yang sebelumnya mengarah lurus ke selatan memasuki lahan produktif itu, terpaksa dibelokkan secara paksa dengan besaran derajat 90. Air yang mengalir terpaksa membentur tembok dan meluap ke jalanan.

    Sumur-sumur warga di sekitar perumahan, dalam 5-10 tahun ke depan barangkali akan mengalami penyusutan juga. Pertanyaan tentang mengapa izin untuk pembangunan perumahan di atas lahan subur, produktif dan berfungsi sebagai lahan resapan air itu tetap diberikan, tak pernah mendapatkan jawabannya. yang tersisa adalah potensi persoalan sosial dalam 5-10 tahun ke depan yang tampaknya tidak diantisipasi.

    Semoga semakin banyak orang peduli kepada hal-hal ini.

    salam

    Balas

Tinggalkan komentar