Advokasi Tambang di Keuskupan Ruteng, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur

Advokasi Tambang di Keuskupan Ruteng, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur

Sejak Bulan November 2009 lalu, SATUNAMA bekerjasama dengan Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC SDV) Ruteng melakukan sosialisasi mengenai dampak tambang dan edukasi mengenai keberlangsungan kehidupan di Nusa Tenggara Timur.

Kegiatan yang berlangsung di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur ini muncul akibat keprihatinan terhadap maraknya kegiatan tambang yang merusak. Pertengahan 2008 lalu, Justice, Peace Integrity of Creation (JPIC) OFM Jakarta dan JPIC SVD Ruteng mengadakan penelitian mengenai kegiatan pertambangan di Manggarai. Mereka menemukan bahwa tambang memberikan pengaruh buruk kepada lingkungan. Sejumlah lokasi tambang berada dan merusak keberadaan hutan lindung. Tambang juga merusak lahan dan irigasi pertanian sehingga panen petani menurun drastis dan masyarakat di sekitar lokasi tambang menjadi lebih miskin. Penambangan emas di wilayah Batu Gosok yang berada di pinggir laut bahkan mencemari penangkaran benih ikan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut tidak sebanding dengan kontribusi tambang terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya Rp. 66,4 juta per tahun.

“Dulu saat saya masih kecil, Flores, terutama Flores Barat masih sangat asri. Wilayahnya yang bergunung-gunung di tumbuhi berbagai tanaman. Beda dengan sekarang, dimana-mana gersang dan muncul banyak lubang,” kata Samuel Sam dari SATUNAMA yang terlibat program advokasi ini.

Sebelum melakukan kegiatan advokasi tambang, JPIC SDV Ruteng mengidentifikasi pihak-pihak yang akan terlibat dan tokoh-tokoh masyarakat yang akan mengorganisir masyarakat di sekitar wilayah tambang. Muncul143 orang dari kalangan tokoh masyarakat, JPIC SDV dan OFM, Pastor Paroki dan LSM di lokasi-lokasi sekitar tambang menyatakan komitmennya untuk terlibat dalam program ini.

Untuk menjaga keberlanjutan program, tanggal 20 dan 21 November 2009 lalu muncul pertemuan persiapan program yang dihadiri oleh 26 orang dari JPIC SDV, pastor paroki, dan tokoh-tokoh masyarakat. Pertemuan tersebut menyepakati adanya 20 titik pendampingan untuk advokasi. Selain itu, muncul kesepakatan mengenai adanya pelatihan mengenai bahaya tambang dan calon narasumbernya. “November lalu, kami mengadakan pertemuan untuk membahas rencana ke depan advokasi tambang. Kami sepakat untuk memfasilitasi pelatihan dan pencerahan di 20 titik lingkar tambang. Kami juga menyepakati materi pelatihan, narasumber, jadwal, dan kontribusi in kind dari masyarakat untuk penyelenggaraan pelatihan,” tutur Samuel Sam.

Pertemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pelatihan yang diikuti oleh 526 peserta. Masyarakat terlihat antusias mengikuti kegiatan. Hal ini terbukti dari besarnya swadaya yang mereka keluarkan. Masyarakat menyumbang sekitar 70 persen biaya kegiatan dalam bentuk barang dan tenaga. Para tokoh masyarakat kemudian memilih 55 orang dari peserta pelatihan untuk mendampingi masyarakat lingkar tambang. Mereka membuat 20 titik titik pendampingan yang kemudian meluas menjadi 49 titik koordinasi pendampingan pada 11 kecamatan di 3 kabupaten. Kelimapuluhlima orang ini bertugas memberikan informasi kepada masyarat mengenai dampak buruk pertambangan, membuat database mengenai aktivitas pertambangan, serta memberikan informasi kepada JPIC SDV dan pendukung gerakan tolak tambang . Para pendamping masyarakat juga memfasilitasi masyarakat untuk merumuskan surat pernyataan tolak tambang dan menggerakan demonstrasi yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah, DPRD, dan kepolisian.

Setelah pendampingan, di beberapa titik masyarakat semakin berani untuk menolak tambang. Di Desa Nggilat, Manggarai Barat, contohnya. Masyarakat menyatakan ketidaksetujuannya pada saat konsultan perusahaan tambang difasilitasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Manggarai Barat menyosialisasikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) rencana penambangan di Desa Nggilat. Pertemuan berhenti karena masyarakat menolak hasil AMDAL tersebut dan hingga saat ini tambang belum berjalan.

Program advokasi tambang juga melakukan dialog dengan DPRD dengan tujuan supaya mereka proaktif menolak tambang dan melakukan proses hukum terhadap perusahaan tambang dan pejabat daerah yang melanggar peraturan perundangan yang terkait pemberian izin usaha pertambangan. Di Kabupaten Manggarai, dialog membahas mengenai penambangan di areal hutan lindung yang dilakukan oleh PT Indomineral di daerah Wontong, dan PT Sumber Jaya Asia yang mengeksploitasi mangan di Torong Besi, Reo, Manggarai Utara. Sedangkan di wilayah Kabupaten Manggarai Barat dialog membahas proses hukum terhadap PT Prima Nusa Sejahtera, PT Grand Nusantara dan Pemerintah Daerah.

Dialog tersebut ditindaklanjuti dengan inisiatif masyarakat dan JPIC SVD Ruteng untuk membuat laporan dan gugatan hukum kepada Kepolisian, Kejaksanaan, Pengadilan, dan sejumlah perusahaan seperti PT Prima Nusa Sejahtera, PT Grand Nusantara, dan PT Aditya Bumi Pertambangan atas dugaan pelanggaran hukum. Hal tersebut berkaitan dengan alih fungsi hutan dan pengrusakan hutan di hutan Register Tanah Kehutanan (RTK) 108 di kampung Tobedo, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat. Alih fungsi tata ruang kawasan Batu Gosok, di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Pengrusakan hutan RTK 103 dan kerugian yang diakibatkannya, di Torong Besi, Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai penyerobotan tanah dan pencurian kekayaan alam pada tanah milik warga di Satarteu, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur.

Untuk menyebarluaskan advokasi tambang ini, para pihak yang terlibat mendokumentasikan kegiatan melalui tulisan, foto, rekaman video. Mereka juga mempublikasikan kegiatan melalui harian lokal seperti Pos Kupang dan Flores Pos serta harian nasional seperti Kompas, dan Suara Pembaruan. Para pihak yang terlibat dalam advokasi ini juga saling bertukar informasi melalui milis.

Advokasi Tambang di Keuskupan Ruteng, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur

Sejak Bulan November 2009 lalu, SATUNAMA bekerjasama dengan Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC SDV) Ruteng melakukan sosialisasi mengenai dampak tambang dan edukasi mengenai keberlangsungan kehidupan di Nusa Tenggara Timur.

Kegiatan yang berlangsung di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur ini muncul akibat keprihatinan terhadap maraknya kegiatan tambang yang merusak. Pertengahan 2008 lalu, Justice, Peace Integrity of Creation (JPIC) OFM Jakarta dan JPIC SVD Ruteng mengadakan penelitian mengenai kegiatan pertambangan di Manggarai. Mereka menemukan bahwa tambang memberikan pengaruh buruk kepada lingkungan. Sejumlah lokasi tambang berada dan merusak keberadaan hutan lindung. Tambang juga merusak lahan dan irigasi pertanian sehingga panen petani menurun drastis dan masyarakat di sekitar lokasi tambang menjadi lebih miskin. Penambangan emas di wilayah Batu Gosok yang berada di pinggir laut bahkan mencemari penangkaran benih ikan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut tidak sebanding dengan kontribusi tambang terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya Rp. 66,4 juta per tahun.

“Dulu saat saya masih kecil, Flores, terutama Flores Barat masih sangat asri. Wilayahnya yang bergunung-gunung di tumbuhi berbagai tanaman. Beda dengan sekarang, dimana-mana gersang dan muncul banyak lubang,” kata Samuel Sam dari SATUNAMA yang terlibat program advokasi ini.

Sebelum melakukan kegiatan advokasi tambang, JPIC SDV Ruteng mengidentifikasi pihak-pihak yang akan terlibat dan tokoh-tokoh masyarakat yang akan mengorganisir masyarakat di sekitar wilayah tambang. Muncul143 orang dari kalangan tokoh masyarakat, JPIC SDV dan OFM, Pastor Paroki dan LSM di lokasi-lokasi sekitar tambang menyatakan komitmennya untuk terlibat dalam program ini.

Untuk menjaga keberlanjutan program, tanggal 20 dan 21 November 2009 lalu muncul pertemuan persiapan program yang dihadiri oleh 26 orang dari JPIC SDV, pastor paroki, dan tokoh-tokoh masyarakat. Pertemuan tersebut menyepakati adanya 20 titik pendampingan untuk advokasi. Selain itu, muncul kesepakatan mengenai adanya pelatihan mengenai bahaya tambang dan calon narasumbernya. “November lalu, kami mengadakan pertemuan untuk membahas rencana ke depan advokasi tambang. Kami sepakat untuk memfasilitasi pelatihan dan pencerahan di 20 titik lingkar tambang. Kami juga menyepakati materi pelatihan, narasumber, jadwal, dan kontribusi in kind dari masyarakat untuk penyelenggaraan pelatihan,” tutur Samuel Sam.

Pertemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pelatihan yang diikuti oleh 526 peserta. Masyarakat terlihat antusias mengikuti kegiatan. Hal ini terbukti dari besarnya swadaya yang mereka keluarkan. Masyarakat menyumbang sekitar 70 persen biaya kegiatan dalam bentuk barang dan tenaga. Para tokoh masyarakat kemudian memilih 55 orang dari peserta pelatihan untuk mendampingi masyarakat lingkar tambang. Mereka membuat 20 titik titik pendampingan yang kemudian meluas menjadi 49 titik koordinasi pendampingan pada 11 kecamatan di 3 kabupaten. Kelimapuluhlima orang ini bertugas memberikan informasi kepada masyarat mengenai dampak buruk pertambangan, membuat database mengenai aktivitas pertambangan, serta memberikan informasi kepada JPIC SDV dan pendukung gerakan tolak tambang . Para pendamping masyarakat juga memfasilitasi masyarakat untuk merumuskan surat pernyataan tolak tambang dan menggerakan demonstrasi yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah, DPRD, dan kepolisian.

Setelah pendampingan, di beberapa titik masyarakat semakin berani untuk menolak tambang. Di Desa Nggilat, Manggarai Barat, contohnya. Masyarakat menyatakan ketidaksetujuannya pada saat konsultan perusahaan tambang difasilitasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Manggarai Barat menyosialisasikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) rencana penambangan di Desa Nggilat. Pertemuan berhenti karena masyarakat menolak hasil AMDAL tersebut dan hingga saat ini tambang belum berjalan.

Program advokasi tambang juga melakukan dialog dengan DPRD dengan tujuan supaya mereka proaktif menolak tambang dan melakukan proses hukum terhadap perusahaan tambang dan pejabat daerah yang melanggar peraturan perundangan yang terkait pemberian izin usaha pertambangan. Di Kabupaten Manggarai, dialog membahas mengenai penambangan di areal hutan lindung yang dilakukan oleh PT Indomineral di daerah Wontong, dan PT Sumber Jaya Asia yang mengeksploitasi mangan di Torong Besi, Reo, Manggarai Utara. Sedangkan di wilayah Kabupaten Manggarai Barat dialog membahas proses hukum terhadap PT Prima Nusa Sejahtera, PT Grand Nusantara dan Pemerintah Daerah.

Dialog tersebut ditindaklanjuti dengan inisiatif masyarakat dan JPIC SVD Ruteng untuk membuat laporan dan gugatan hukum kepada Kepolisian, Kejaksanaan, Pengadilan, dan sejumlah perusahaan seperti PT Prima Nusa Sejahtera, PT Grand Nusantara, dan PT Aditya Bumi Pertambangan atas dugaan pelanggaran hukum. Hal tersebut berkaitan dengan alih fungsi hutan dan pengrusakan hutan di hutan Register Tanah Kehutanan (RTK) 108 di kampung Tobedo, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat. Alih fungsi tata ruang kawasan Batu Gosok, di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Pengrusakan hutan RTK 103 dan kerugian yang diakibatkannya, di Torong Besi, Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai penyerobotan tanah dan pencurian kekayaan alam pada tanah milik warga di Satarteu, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur.

Untuk menyebarluaskan advokasi tambang ini, para pihak yang terlibat mendokumentasikan kegiatan melalui tulisan, foto, rekaman video. Mereka juga mempublikasikan kegiatan melalui harian lokal seperti Pos Kupang dan Flores Pos serta harian nasional seperti Kompas, dan Suara Pembaruan. Para pihak yang terlibat dalam advokasi ini juga saling bertukar informasi melalui milis.

Satu pemikiran pada “Advokasi Tambang di Keuskupan Ruteng, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur”

Tinggalkan komentar