Program Penguatan Masyarakat Sipil di Gunungkidul

“Saat mendengar kata desa, orang akan berasumsi: miskin dan petani. Padahal, desa merupakan miniatur sebuah daerah. Gambaran kecil ini jika serasi satu sama lain, akan mengangkat Kabupaten Gunungkidul. Hal ini bisa dilakukan dengan perencanaan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Partisipasi masyarakat dalam merencanakan, melaksanaan, dan mengevaluasi RPJM desa yang berlaku selama lima tahun akan mendatangkan kebaikan kepada masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya diberi aturan dari atas yang tidak melihat potensi daerah,” kata Sidik Triyono, salah seorang kader lokal yang menjadi narasumber dalam acara Pengarusutamaan Program Penanggulangan Kemiskinan yang Berpihak pada Desa di Kabupaten Gunung Kidul.

Dialog yang berlangsung pada hari Rabu, 6 Oktober 2010 di Ruang Rapat I Sekretariat Daerah, Gunungkidul tersebut merupakan kerjasama SATUNAMA dengan IRE, Yayasan Tifa dan TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) Gunungkidul. Acara tersebut merupakan rangkaian dari advokasi program penanggulangan kemiskinan dan kebijakan fiskal daerah sekaligus sarana untuk memperkuat peran masyarakat sipil dalam pembangunan daerah.

“Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memberi kesempatan kepada berbagai lapisan masyarakat untuk memberikan masukan atas draft RPJMD yang saat ini sudah masuk di bagian hukum dan akan disahkan pada tanggal 28 Oktober 2010 mendatang. Dalam kesempatan ini, ada empat orang narasumber yang berasal dari kader lokal. Sidik Triyono, Budiman Setyanugraha, Soekoco, dan Prihadi menyampaikan berbagai poin mulai dari Peran Desa sebagai Ujung Tombak Pembangunan, Pertanian sebagai Strategi Pembangunan Gunung Kidul, hingga Kebijakan Fiskal yang Berpihak pada Desa, ” kata Sri Purwani, program Officer SATUNAMA di wilayah Gunungkidul.

Pada acara tersebut, Budiman Setyo, yang mewakili petani juga menambahkan harapannya untuk perbaikan RPJMD ke depan. “Program yang selama ini ada jauh dari kearifan lokal dan kebutuhan petani. Program hanya keinginan dari pihak SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Seperti dalam pengadaan bibit unggul, petani sering menjadi korban. Ada banyak bantuan bibit yang tidak tepat baik waktu pemberian maupun komoditasnya. Kalau ingin berpihak kepada petani, seharusnya memberi bantuan yang sesuai dengan kebutuhan petani. Kalau petani butuh kacang ya beri kacang, bukan kedelai.”

Minimnya anggaran publik yang tertuang dalam APBD Gunungkidul menjadi salah satu penghambat program penanggulangan kemiskinan. Tiap tahun, muncul kesenjangan dalam APBD. Tahun 2010 ini, Belanja Tidak Langsung sebesar Rp. 569.644.466.138,80 dan belanja langsung sebesar Rp. 207.316.440.315,00. Dengan total pendapatan sebesar Rp. 729.518.588.363,80, dan total belanja sebesar Rp. 776.960.886.453,80, muncul defisit anggaran sebesar Rp. 47.442.298.090,00.

Defisit anggaran tersebut menyebabkan program penanggulangan kemiskinan Kabupaten Gunungkidul tergantung pada program-program dari pemerintah pusat, seperti PNPM, BLT dan DAK. Pendapatan Asli Daerah kabupaten sendiri sangat rendah karena minimnya sumber daya alam dan investasi yang tidak berkembang. Penghematan anggaran yang merata hampir disemua kabupaten menyebabkan kabupaten semakin kecil APBD-nya. Di sisi lain, pemerintah pusat justru melakukan pembagian anggaran dengan daerah untuk pelaksanaan berbagai program, misalnya mengurangi berbagai anggaran publik, seperti program di tingkat SKPD dan ADD.

Di Kabupaten Gunungkidul, desa mengikuti pola pemerintah daerah dan menerima 50 % ADD (Alokasi Dana Desa) yang seharusnya diterima. Banyaknya skema pembangunan masuk desa juga memperkecil kewenangan desa untuk mengatur dan mengalokasikan proses perencanaan dan pembangunan desa. Perencanaan desa kadang menjadi tidak sesuai dengan RPJMDes akibat minimnya ADD dan muncul ketidak sinkronan perencanaan pembangunan akibat maraknya program pemerintah pusat seperti PNPM, BLT dan sebagainya.

“Saat mendengar kata desa, orang akan berasumsi: miskin dan petani. Padahal, desa merupakan miniatur sebuah daerah. Gambaran kecil ini jika serasi satu sama lain, akan mengangkat Kabupaten Gunungkidul. Hal ini bisa dilakukan dengan perencanaan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Partisipasi masyarakat dalam merencanakan, melaksanaan, dan mengevaluasi RPJM desa yang berlaku selama lima tahun akan mendatangkan kebaikan kepada masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya diberi aturan dari atas yang tidak melihat potensi daerah,” kata Sidik Triyono, salah seorang kader lokal yang menjadi narasumber dalam acara Pengarusutamaan Program Penanggulangan Kemiskinan yang Berpihak pada Desa di Kabupaten Gunung Kidul.

Dialog yang berlangsung pada hari Rabu, 6 Oktober 2010 di Ruang Rapat I Sekretariat Daerah, Gunungkidul tersebut merupakan kerjasama SATUNAMA dengan IRE, Yayasan Tifa dan TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) Gunungkidul. Acara tersebut merupakan rangkaian dari advokasi program penanggulangan kemiskinan dan kebijakan fiskal daerah sekaligus sarana untuk memperkuat peran masyarakat sipil dalam pembangunan daerah.

“Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memberi kesempatan kepada berbagai lapisan masyarakat untuk memberikan masukan atas draft RPJMD yang saat ini sudah masuk di bagian hukum dan akan disahkan pada tanggal 28 Oktober 2010 mendatang. Dalam kesempatan ini, ada empat orang narasumber yang berasal dari kader lokal. Sidik Triyono, Budiman Setyanugraha, Soekoco, dan Prihadi menyampaikan berbagai poin mulai dari Peran Desa sebagai Ujung Tombak Pembangunan, Pertanian sebagai Strategi Pembangunan Gunung Kidul, hingga Kebijakan Fiskal yang Berpihak pada Desa, ” kata Sri Purwani, program Officer SATUNAMA di wilayah Gunungkidul.

Pada acara tersebut, Budiman Setyo, yang mewakili petani juga menambahkan harapannya untuk perbaikan RPJMD ke depan. “Program yang selama ini ada jauh dari kearifan lokal dan kebutuhan petani. Program hanya keinginan dari pihak SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Seperti dalam pengadaan bibit unggul, petani sering menjadi korban. Ada banyak bantuan bibit yang tidak tepat baik waktu pemberian maupun komoditasnya. Kalau ingin berpihak kepada petani, seharusnya memberi bantuan yang sesuai dengan kebutuhan petani. Kalau petani butuh kacang ya beri kacang, bukan kedelai.”

Minimnya anggaran publik yang tertuang dalam APBD Gunungkidul menjadi salah satu penghambat program penanggulangan kemiskinan. Tiap tahun, muncul kesenjangan dalam APBD. Tahun 2010 ini, Belanja Tidak Langsung sebesar Rp. 569.644.466.138,80 dan belanja langsung sebesar Rp. 207.316.440.315,00. Dengan total pendapatan sebesar Rp. 729.518.588.363,80, dan total belanja sebesar Rp. 776.960.886.453,80, muncul defisit anggaran sebesar Rp. 47.442.298.090,00.

Defisit anggaran tersebut menyebabkan program penanggulangan kemiskinan Kabupaten Gunungkidul tergantung pada program-program dari pemerintah pusat, seperti PNPM, BLT dan DAK. Pendapatan Asli Daerah kabupaten sendiri sangat rendah karena minimnya sumber daya alam dan investasi yang tidak berkembang. Penghematan anggaran yang merata hampir disemua kabupaten menyebabkan kabupaten semakin kecil APBD-nya. Di sisi lain, pemerintah pusat justru melakukan pembagian anggaran dengan daerah untuk pelaksanaan berbagai program, misalnya mengurangi berbagai anggaran publik, seperti program di tingkat SKPD dan ADD.

Di Kabupaten Gunungkidul, desa mengikuti pola pemerintah daerah dan menerima 50 % ADD (Alokasi Dana Desa) yang seharusnya diterima. Banyaknya skema pembangunan masuk desa juga memperkecil kewenangan desa untuk mengatur dan mengalokasikan proses perencanaan dan pembangunan desa. Perencanaan desa kadang menjadi tidak sesuai dengan RPJMDes akibat minimnya ADD dan muncul ketidak sinkronan perencanaan pembangunan akibat maraknya program pemerintah pusat seperti PNPM, BLT dan sebagainya.

Tinggalkan komentar