Mengawal Hak-hak ODHA di Yogyakarta

Samuel Rahmad S., Direktur Victory Plus
Mengawal Hak-hak ODHA di Yogyakarta

 

Satunama.org – Upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta pelayanan dan pemenuhan hak-hak Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia terbilang belum maksimal dilakukan. Angka kasus HIV dan AIDS terus meningkat. Data Laporan Perkembangan HIV dan AIDS triwulan II tahun 2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan jumlah terinveksi HIV pada 15 (lima belas) tahun terakhir (2005-Juni 2014) mencapai 142.961 kasus yang tersebar seluruh provinsi di Indonesia. Kasus ini akan semakin bertambah mengingat kesadaran untuk memeriksakan diri meningkat dan upaya kampanye AIDS yang terus digencarkan. Di Yogyakarta, kasus HIV dan AIDS juga semakin meningkat jumlahnya. Kasus-kasus yang terdata sesungguhnya hanya sebagian kecil dari yang ada, mengingat HIV dan AIDS adalah fenomena gunung es.

Hari AIDS Sedunia tahun 2014 bertema “Cegah dan lindungi diri, keluarga, dan masyarakat dari HIV dan AIDS dalam rangka perlindungan HAM!” Untuk memperoleh pemahaman atas persoalan HIV dan AIDS di Yogyakarta, tim proyek SUM II – SATUNAMA mewawancari Samuel Rahmad Subekti, Direktur Victory Plus, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pendampingan ODHA di Yogyakarta. Berikut kami sajikan petikan wawancara tersebut.

Bagaimana kemajuan pelayanan terhadap ODHA dan penanggulangan kasus HIV dan AIDS di Yogyakarta? Berapa jumlah kasus HIV dan AIDS di Yogyakarta?
Dalam rekam semester kami, kelompok dukungan sebaya, staf lapangan yang mendampingi teman ODHA, hingga akhir Juni kami mendampingi 2.116 di Jogja dan sekitarnya. Pada waktu di Dinas Kesehatan belum sampai 2.000 kami sudah lebih dari itu, hampir 2.500. Dan itu trennya naik. Karena kasus yang ada ini sebagian, selebihnya orang tidak tahu dirinya HIV atau tidak. Mereka tidak berani tes, ini fenomena gunung es. Ini usaha untuk menguak gunung es, makanya difasilitasi tes HIV gratis. Kecuali klinik tidak resmi.

Jogja dan sekitarnya? Meliputi daerah mana saja?
Saya tidak hapal mana saja, tetapi intinya, pasien yang tercatat di DIY, Klaten, dan sekitarnya ini terus berjalan dan ada penambahan ODHA baru.

Kalau dari sisi cara penularan, apa cara yang paling banyak kasusnya?
Dari seks yang paling banyak sekarang.

Berapa persen cara tersebut berkembang?
Di atas 50 persen. Karena memang penularan yang terbesar itu. Beberapa tahun lalu lewat jarum suntik. Trennya sudah berubah sekarang. Banyak laki-laki, laki-laki pembeli seks, yang menularkan HIV kepada pasangannya.

Di beberapa informasi terbaru, HIV banyak menjangkit ibu rumah tangga?
Ya, mulai banyak kasus HIV pada ibu rumah tangga, karena suami mereka yang jajan seks di luar tidak menyadari bahwa mereka HIV positif.

Rerata usia mereka di rentang umur yang mana?
Usia produktif. Kalau mau data lebih detail di Dinas Kesehatan Provinsi [DIY]. Karena angka di kami tidak sama. Di kami lebih banyak. Karena ada ODHA yang tidak atau belum berobat, masih sehat, pindahan dari kota lain, dan menetap di Yogya kami dampingi. Kan cukup menambah jumlahnya itu kan?

Dari sisi jenis kelamin, laki-laki berapa persen?
Enam puluh persen. Waria dihitung laki-laki.

Status pekerjaannya?
Yang angka kasusnya besar wirausaha, tapi dari PNS ada, kalangan medis ada, mahasiswa ada, anak sekolah ada. Semua kalangan ada. Dari anak-anak sampai kakek-nenek. Anak-anak baru bisa dideteksi positif atau negatif sesudah berapa bulan.

Kalau dipilah lagi, dari 60 persen itu berapa angka transgender?
Waria paling 60 orang. Selebihnya heteroseks, karena seksual aktif, termasuk gay juga. Gay lebih banyak. Yang waria belum tembus sampai 400 waria.

Dibandingkan dengan daerah lain bagaimana posisi Yogya dalam hal jumlah penyandang AIDS?
Jogja peringkat 6 atau berapa ya. Bisa dilihat di Kementerian Kesehatan.

Seperti apa bentuk dampingan yang dilakukan Victory Plus?
Kami dampingi dari sisi psikososial. Kami bekerja sama dengan semua rumah sakit yang merawat ODHA, ODHA baru agar mereka bsia menerima status HIVnya. Terkait dengan keluarga yang menolak, kami bantu mereka bisa menerima, kami beri rujukan. Kemudian untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV kami memberikan pelatihan. Kami mempunyai 10 Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan teman-teman yang positif kami dorong agar mereka dirujuk untuk bergabung. Pertemuan di rumah sakit, di luar rumah sakit, dan kami juga mendorong mereka berkomitmen untuk tidak menularkan terhadap orang lain. Untuk seksual aktif kami wajibkan 100 persen kami bagikan kondom.

Sejauh apa tingkat kesadaran teman-teman ODHA di Jogja untuk meningkatkan keberdayaan mereka di lingkungan masyarakat dan upaya memperoleh hak-hak mereka?
Relatif lebih baik, karena dukungan Pemerintah melalui Dinas Sosial ada. Sebagian mereka yang mengalami kesulitan pekerjaan, ada dukungan modal, dukungan nutrisi untuk kesehatan. Ada dukungan semacam ini. Tingkat pengobatan juga gratis dan lancar.

Rata-rata seperti apa kondisi psikologis ketika teman-teman ODHA tahu status HIVnya?
Tahu dari tes HIV. Tidak bisa dirasa-rasa. Yang pasti memang masyarakat dianjurkan untuk segera tes HIV adalah mereka yang pernah punya pengalaman berisiko HIV, tranfusi darah, jarum yang tidak steril, berhubungan seks dengan orang yang belum jelas dia positif atau negatif, atau ibu hamil yang positif anaknya juga harus tes. Angka kasus semakin cepat tambahnya. Sejak 2010 pemerintah makin gencar kampanye ini, sehingga angkanya makin terlihat bertambah.

Kalau dari pengalaman pendampingan, apa yang paling dibutuhkan teman-teman ODHA?
Yang utamanya memang penermaan, karena yang masih kuat di masyarakat kan penolakan. Masyarakat yang besar ini sosialisasi yang sudah bagaimana langkahnya? Banyak yang masih takut, takut dalam arti untuk tes HIV, takut berhubungan dekat dengan ODHA. Di layanan kesehatan juga belum semua tenaga kesehatan memiliki kesadaran terlibat, kecuali di Tim AIDS.

Apakah sudah semua rumah sakit di Jogja menyediakan layanan HIV dan AIDS?
Semua rumah sakit besar sudah ada kecuali JIH.

Itu memang sengaja tidak menyediakan atau bagaimana?
Tidak tahu.

Kebutuhan teman-teman ODHA adalah penerimaan sosial. Apa yang dilakukan pemerintah?
Sosialisasi dengan berbagai lembaga untuk mengurai stigmatisasi. Melalui dorongan agar teman ODHA percaya diri. Ini kan saling berkaitan.

Kerja sama dengan KPA, seberapa berdaya KPA memberi kontribusi lebih dalam hal ini?
Komisi ini kan hanya badan koordinasi, tidak melakukan sesuatu tanpa anggotanya bergerak. Isinya SKPD dan LSM. KPA bukan LSM tersendiri. Memang ada kantor tapi tidak bergerak tanpa semua lembaga bergabung melakukan sesuatu.

Di Jogja, berapa LSM yang tergabung dalam KPAP?
Hanya Victory Plus, Vesta, Kembang, Kebaya, PKBI. Ada lima. Harusnya semua SKPD yang ada penganggarannya. Dinas Kesehatan.

Bagaimana informasi mengenai teman dari luar Jogja? Seberapa intens pola penanganannya?
Kami ada jejaring sendiri. Kami sebagai kelompok penggagas KDS, di wilayah kabupaten, kelompok ini di tingkat provinsi semua, tiap provinsi ada jejaringnya. Ada kelompok nasional di Yayasan Spiritia, di Jakarta. Secara berkala kita berkumpul untuk evaluasi, perencanaan program, dan advokasi.

Benarkah level advokasi yang paling sulit ketika berhubungan dengan pemerintah dan tenaga kesehatan?
Kalau kita, dari teman sendiri yang paling utama dengan layanan kesehatan dan kebutuhan sehari-hari dari sisi mereka, mereka masih mencari tempat yang merasa aman dan nyaman. Pelayanan yang dekat dengan rumah belum siap akses, sering terjadi kebocoran status.

Aman dan nyaman, kriterianya?
Dia (ODHA) belum terbuka dengan seluruh keluarga atau tetangga. Tetapi sebagian tetangga ada yang jadi tenaga kesehatan di situ (rumah sakit), dia tidak mau periksa di situ, kasus dokter atau perawat yang membocorkan itu selalu ada kemungkinan. Kita tidak menjamin semua dokter paham soal ini. Ada orang Bantul larinya ke Sarjito, karena menghindari pola kebocoran tadi. Merasa tidak aman. Karena diskriminasi lingkungan.

Teman-teman ODHA dalam posisi yang sulit, dari sisi penerimaan masyarakat, dan negara yang belum membantu secara penuh. Apa yang bisa diusahakan?
Terkait dengan pemerintah, kesadaran semua SKPD untuk membuka diri untuk penganggaran, untuk kepedulian menganggarkan penanggulangan HIV dan AIDS. Masyarakat ya terpengaruh para pejabat juga kan, perilaku dan statement pejabat. Pemerintahan yang baru ini ada harapan besar, yang cukup dikenal terbuka. KIS termasuk membantu ini juga. Selama ini di DIY dapat lewat Jamkesos. Kami memiliki kesepakatan dengan Jamkesos jadi setiap ODHA yang kami dampingi bisa mengakses.

Sejauh mana tingkat keterjangkauan layanan Victory Plus?
Termasuk mungkin, pemberdayaan ODHA. Organisasi kelompok yang mengelola ODHA semua. Memperlengkapi ODHA secara tidak langsung. Memang agak berbeda kami dengan LSM lain di Jogja, karena yang lain fokusnya di pencegahan, kalau kami di pendampingan yang terjangkit.

Bagaimana paradigma untuk pendekatan perawatan terhadap ODHA sekarang?
Paradigma lama, vonis tinggal 3 tahun. Sekarang sangat bisa tidak dideteksi, CD4 tinggal dua, bisa sampai lumpuh, bisa sehat kembali. Dan bisa bekerja, tergantung tiap klien yang beda-beda kondisinya. Yang kelihatan masih sehat segar tiba-tiba meninggal itu juga banyak. Terkait dengan lembaga baru Victory, setiap temuan kasus dirujukkan ke sini, kondisi dan tempat layanan yang diperlukan, butuh penampungan, itu memang yang belum ada. Ada kasus yang tinggal nunggu mati saja, dirawat di Sarjito berbulan-bulan, tidak perlu perawatan rumah sakit. Lumpuh total, perawatan sederhana hutuh house space. Pelayanan paling aktif untuk menampung dan merawat untuk ODHA yang tidak ada keluarganya. Selama ada keluarga, ada keluarga yang merawat.

Yang perlu didorong negara selalu hadir dan menjalankan tugasnya. Bagaimana upaya untuk mengejar pemenuhan hak teman-teman untuk sampai di wilayah anggaran?
Memang di KPA sendiri masih ada persoalan anggaran operasional, karena melekat di Dinas Kesehatan dengan konon kabarnya LSM di bawah KPA semua kan jadi sebesar anggarannya. Hal ini yang belum sinergis benar. (Ryan, Any)

Tinggalkan komentar