Media, Terpenjara Dalam Bayang-Bayang Sang Pemilik

Satunama.org – Sekali lagi perlulah kita mengingat bahwa lepas dari cengkraman Orde Baru tak berarti membebaskan media secara penuh. Jika dulu negara begitu mengontrol pemerintah, maka sekarang cengkarman otoriter justru muncul dari individu para pemilik media. Dan hal itu tak kalah berbahaya dari pengontrolan oleh negara. Pesan inilah yang muncul dalam diskusi publik “Media Terpenjara Bayang-Bayang Pemilik Dalam Pemberitaan Pemilu 2014), (2/12) di Café Legend Kota Baru Yogyakarta, dari pukul 16.00-18.00 WIB.Diskusi yang digawangi oleh Masyarakat Perduli Media (MPM) ini di moderatori oleh Darmanto dan diisi oleh lima narasumber yakni Masduki, Bonaventura Satya Bharata, Olivia Lewi Pramesti, Fajar Junaedi dan A. Prambudi Wicaksano.

Pada sesi diskusi kelima narasumber ini mempresentasikan hasil penelitian yang mereka lakukan di 5 media cetak yakni Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Koran Sindo dan Jawa Pos. Kelimanya melakukan penelitian dengan menggunakan analisis framing dan analisis isi terhadap isi pemberitaan yang muncul pada pileg dan pilpres 2014. Utamanya intervensi pemilik media terhadap konten berita dan kebijakan diruang redaksi.

Dari penelitian ini didapatkan hasil yang beragam dari masing-masing koran. Di Media Indonesia (MI), penelitian dilakukan oleh Olivia Lewi Pramesti. Ia melakukan analisis terhadap 117 berita terkait pileg dan pilpres di MI. Hasilnya Surya Paloh sang pemiliki MI mendapatkan porsi pemberitaan media yang besar. Pemberitaan terkait kampanye pun didominasi oleh para calon legislator dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) untuk mengangkat citra positif namun minim implementasi konkret dari visi dan misi yang dikampanyekan. Pada masa pilpres pun, Nasdem yang berada di partai koalisi pendukung Jokowi juga melakukan pemberitaan yang tidak berimbang. Pemberitaan terkait Jokowi amat dominan, sedangkan pesaingnya Prabowo disudutkan dengan persoalan HAM.

Fajar Junaedi yang merupakan dosen Universitas Muhamadiyah Yogyakarta pun mempresentasikan hasil penelitian yang ia lakukan di koran Kedaulatan Rakyat (KR), yang merupakan koran lokal di Yogkakarta. Ada 202 berita yang dianalisis oleh Fajar. Hasilnya, berita di KR lebih banyak memberitakan tentang kampanye-kampanye lokal yang dilakukan oleh tim sukses (55,4%). Porsi pemberitaan dari Jokowi dan Koalisi Indonesia Hebat sebanyak 22,8% sedangkan koalisi Prabowo hanya 13,6% dan pemberintaan secara bersamaan ada sebanyak 8,2%.. Yang menarik justru banyaknya iklan PDIP di KR pada masa kampanye. Seperti diketahui, pemilik media KR memiliki afiliasi dengan partai banteng. Namun, ketika dikonfirmasi oleh Fajar, Pemimpin Redaksi mengungkapkan bahwa KR berimbang. Persoalan banyak iklan PDIP itu dikarenakan partai yang memasukan iklan hanyalah PDIP. Ketika KR menawarkan space iklan, hasilnya memang tidak direspon oleh parpol lain. Bukan karena pemiliknya adalah kader PDIP.

Pada sesi ketiga, Bonaventura Satya Bharata, dosen dari Atmajaya Yogyakarta pun tak ketinggalan mempresentasikan hasil penelitiannya terhadap pemberitaan Koran Sindo. Menurutnya, pemberitaan Koran Sindo pada pileg dan pilpres sudah tidak lagi mencerminkan praktek jurnalistik tetapi praktek kehumasan dan iklan, khususnya bagi kepentingan si pemilik Hary Tanoe. Hary Tanoe yang kala itu dicalonkan sebagai calon wakil presiden dari partai Hanura bersama Wiranto (WIN-HT) mendominasi pemberitaan. Berita yang masuk lebih banyak berbicara tentang kegiatan yang dilakukan WIN-HT, janji-janji politik, dan penguatan framing media dengan hasil riset atau polling memenangkan Prabowo Hatta, kala si pemilik Hary Tanoe mendukung Prabowo-Hatta. Nampak sekali bahwa pemberitaan media di Koran Sindo tak menampakan kekritisan para wartawan yang bekerja diruang redaksi.

Pada sesi terakhir, Masduki mempresentasikan hasil penelitiannya di Jawa Pos. Jawa Pos merupakan kasus media yang amat unik. Pemilikinya, Dahlan Iskan yang merupakan wartawan senior memberi dinamika yang menarik dalam proses pileg dan pilpres 2014. Sempat maju sebagai calon dari Demokrat, nampak kegalauan Dahlan Iskan memposisikan diri pada masa pileg. Setelah tak menjadi calon presiden dari Demokrat, pada masa pilpres ia sempat dekat dengan Jokowi. Meski demikian, hasil pasca pilpres menempatkan Dahlan Iskan dalam posisi kegamangan karena ternyata tak masuk dalam pemerintahan. Jumlah berita yang dianalisis oleh Masduki adalah 63 berita terkait pileg dan 73 berita tentang pilpres. Kebanyakan berita yang muncul adalah berita straight news, cara penggalian data lebih banyak interview gerombolan, namun dari analsis framing didapatkan budaya koreksi atau cara berpikir khas Jawa Pos dengan memberi wacana tengah, ketika media-media lain berpihak ke salah satu koalisi. Dahlan pun menurut narasumber tak banyak melakukan intervensi terhadap Jawa Pos. Namun demikian, nilai yang sudah dimiliki oleh waratwan Jawa Pos menempatkan Dahlan Iskan sebagai sosok yang patut dicontoh dan mentor. Sehingga muncul sikap bahwa upaya mereka dulu mendukung Dahlan Iskan sebagai capres dari Demokrat adalah wajar.

Dari proses inilah muncul sebuah pembelajaran, bahwa intervensi pemilik media kepada media amatlah besar. Maka kemudian muncul ide-ide agar intervensi ini tidak terus berlanjut. Seperti yang diungkapkan Masduki, “ Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membentuk kode etik bagi pemilik media. Kode etik ini tidak hanya bersikap etis saja, tetapi ada hukuman yang berat bagi sang pemilik. Misal jika salah satu pemilik melanggar kode etik tersebut, maka ia bisa kehilangan kepemilikan medianya” ungkapnya.

Tawaran yang diusulkan Masduki ini cukup menarik. Namun yang memang perlu dipikirkan adalah advokasi jangka panjang terhadap posisi teman-teman wartawan yang berkerja di industri media. Persoalan intervensi pemilik media selalu berhubungan dengan lemahnya posisi tawar pekerja media termasuk rendahnya gaji wartawan. Kondisi ini bisa sedikit demi sedikit diatasi ketika ada bentuk jejaring atau advokasi bersama terhadap hal-hal yang selama ini diperjuangkan oleh teman-teman media. Ini pekerjaan rumah yang panjang tentunya. Namun, penelitian ini bisa menjadi salah satu alat kuat untuk memulai perubahan pada industri media. (Any Sundari / foto: Wiji)

Tinggalkan komentar