Terkait Isu ODGJ dan Kesehatan Jiwa, Pemberitaan Media Butuh Lebih Inklusif

Satunama.org – Hingga hari ini, boleh dibilang bahwa masih banyak orang yang belum sensitif dan tanggap terhadap kondisi, kebutuhan, dan cara mendampingi orang dengan masalah kesehatan mental dan penyandang disabilitas atau difabel pada umumnya. 

Stigma dan diskriminasi pada orang dengan masalah kesehatan mental dan penyandang  disabilitas atau difabel merupakan masalah yang masih terjadi sampai saat ini. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) atau Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) seringkali dianggap meresahkan sehingga harus dihindari.

Oleh karena itu perlu adanya literasi terkait kesehatan mental. Sebab keberadaan penyandang disabilitas atau difabel berkaitan erat dengan pentingnya literasi kesehatan mental. Termasuk dalam kaitannya dengan pendistribusian informasi mengenai ODGJ dan Difabel melalui kanal-kanal media massa yang diakses oleh banyak orang.

Bertolak dari pemikiran dan situasi di atas Yayasan SATUNAMA Yogyakarta menggelar Webinar Literasi Mental Health dan Disabilitas Untuk Indonesia yang Inklusif pada Kamis, 26 Agustus 2021 melalui saluran daring yang ditayangkan di channel Youtube SATUNAMA. Webinar menampilkan berbagai wawasan dan gagasan dari beberapa narasumber yang berasal dari SATUNAMA dan juga  berasal dari kalangan akademisi dan media.

Webinar ini merupakan bagian kegiatan peluncuran Mental Health and Disability Institute of SATUNAMA sebagai wadah belajar bersama dalam membangun diskursus yang progresif untuk mengelola isu kesehatan mental dan difabilitas kepada publik.

Akses Layanan Belum Optimal

Peran media massa menjadi vital dalam kaitannya dengan literasi tentang kesehatan jiwa dan disabilitas. Mengingat media massa merupakan alat paling dekat dengan publik atau masyarakat dalam menyuarakan berbagai fenomena yang terjadi, maka literasi itu sendiri menjadi penting dimiliki oleh awak media yang memproduksi informasi.

Terkait dengan isu disabilitas, data menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 1 milliar orang yang merupakan difabel di seluruh dunia.  Angka itu adalah 15% dari total penduduk dunia. Sementara untuk Indonesia, belum terdapat data yang dapat memberikan angka pasti mengenai jumlah difabel. Data Susenas (2018) menyebutkan terdapat 30,38 juta jiwa penyandang disabilitas, sementara data dari Kementerian Sosial dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (2020) menyebutkan terdapat 1.3 juta penyandang disabilitas di Indonesia yang disusun berdasarkan status sosial ekonomi.

Sementara untuk ODGJ, beberapa tahun lalu WHO menyebutkan angka 450 juta orang yang mengalami gangguan jiwa di seluruh dunia. Indonesia sendiri, berdasarkan data Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, memiliki prevalensi gangguan mental emosional pada orang usia 15 tahun ke atas sebanyak 6% pada tahun 2013. Pada 2018, angka tersebut naik menjadi 9,8%.

Angka-angka tersebut dipaparkan oleh Evi Rachmawati, jurnalis Kompas yang menjadi salah satu narasumber dalam webinar yang digelar SATUNAMA. Evi juga menggarisbawahi bahwa data jumlah ODGJ secara global belum memperhitungkan fakor kemunculan pandemi Covid-19, sehingga sangat mungkin angka ODGJ global sudah menjadi lebih tinggi saat ini.

“Kecenderungan jumlah ODGJ dalam rumah tangga, khususnya yang mengalami schizophrenia atau psikosis di Indonesia juga mengalami kenaikan. Tahun 2013, angkanya hanya 1,7%. Tapi tahun 2018 naik menjadi 7%.” Papar Evi.

Evi kemudian menyebutkan bahwa banyak ODGJ maupun penyandang disabilitas yang masih belum mendapatkan akses sebagai warga negara karena adanya stigma dan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka. “Mereka membutuhkan treatment atau pelatihan khusus dan ini belum optimal mereka dapatkan karena adanya stigma yang muncul.” Kata Evi.

Dalam pelayanan saran publik, ODGJ dan penyandang disabilitas sejauh ini masih belum mendapatkan layanan yang berpihak kepada mereka. Menurut Evi, dari fakta lapangan saat melakukan peliputan, dia menemukan bahwa  belum banyak pemerintah daerah yang memberikan sarana publik yang layak bagi ODGJ dan penyandang disabilitas.

“Standar-standar bangunan, transportasi publik masih menjadi hambatan bagi ODGJ dan penyandang disabilitas dalam ruang gerak mereka. Padahal jika bicara mengenai akses partisipasi maupun layanan yang setara, hambatan-hambatan seperti ini seharusnya dihilangkan.” Ujar Evi.

Meskipun demikian, Evi juga menambahkan bahwa setelah adanya ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, sudah ada peningkatan yang terjadi dalam hal penyediaan akses, namun memang masih belum optimal.

“Ada 9.993 puskesmas namun hanya sedikit yang sudah menyediakan layanan kesehatan jiwa sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Masih terbatas juga jumlah dokter spesialis dan perawatnya, dan sebagaian besar masih terkonsentrasi di kota-kota besar.” Papar Evi.

Dalam tingkatan masyarakat, Evi melihat bahwa literasi tentang ODGJ dan disabilitas menjadi penting jika kemudian dikaitkan dengan banyaknya kasus pemasungan terhadap ODGJ. Menurut Evi, pasung masih terjadi di beberapa daerah karena kurangnya literasi. Ketidaktahuan tentang bagaimana merespon anggota keluarga yang mengalami disabilitas atau gangguan jiwa menjadi penyebab utama pemasungan.

“Karena bingung harus bagaimana ketika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, akhirnya mereka memilih untuk memasung anggota keluarga tersebut. Ini tentu memprihatinkan.” Kata Evi.

Literasi Informasi Butuh Ditingkatkan.

Berkaca dari situasi yang terjadi, menjadi penting kiranya peran data dan informasi dalam menggulirkan wacana dan pengetahuan yang lebih berimbang dan akurat dalam isu kesehatan jiwa dan disabilitas. Dalam konteks inilah media memiliki peran yang sentral.

Namun demikian, akses bagi penyandang disabilitas terhadap media masih sangat rendah. Berdasarkan Survey Indeks Kemerdekaan Pers (2019), akses masyarakat disabilitas terhadap media adalah 71.9%. Jika bicara mengenai regulasi media terkait konten advokasi hak penyandang disabilitas dan ODGJ, Evi menyebutkan bahwa masih terdapat media yang pemberitaannya mengenai advokasi hak disabilitas dan ODGJ sangat rendah.

Isu ODGJ dan disabilitas belum benar-benar menjadi perhatian media di tanah air. Pemberitaan tentang isu ini tergolong minim dan jika pun terdapat pemberitaan, seringkali ODGJ dan disabilitas disebutkan secara negatif dan tidak direpresentasikan dengan tepat.

“Akibatnya, konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat menempatkan penyandang disabilitas dan ODGJ dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kebanyakan hanya memberitakan peristiwa, tanpa menampilkan substansi yang sebenarnya di balik peristiwa tersebut.” Kata Evi.

Meski demikian, Evi juga menyebutkan bahwa ada sebagian kecil media yang sudah cukup aktif menyuarakan dan memberitakan tentang ODGJ dan disabilitas untuk mendorong prinsip keadilan dan kesetaraan. Menurut Evi, poin penting dalam pemberitaan ODGJ dan disabilitas terletak pada kepatuhan dalam mengikuti pedoman yang berlaku.

“Dewan pers sendiri memberikan panduan untuk pemberitaan tentang isu ini. Misalnya dengan meletakkan ODGJ dan penyandang disabilitas sebagai subjek dalam pemberitaan dengan mengedepankan nilai kemanusiaan.” Papar Evi,

Karenanya Evi melihat bahwa tantangan media massa secara internal terletak pada kapasitas media massa atau awak media massa itu sendiri. Hal lain adalah tentang dunia digital yang saat ini menjadi sangat dominan dalam semesta informasi.

“Media massa sudah tidak otonom lagi dalam produksi dan penyaluran informasi, karena ada media sosial yang juga bisa memproduksi. Meski bisa memberikan edukasi yang positif tentang isu ODGJ dan disabilitas, media sosial juga bisa menimbulkan hoax.” Jelas Evi.

Karenanya Evi melihat bahwa edukasi terkait isu ODGJ dan disabilitas wajib dilakukan terhadap media massa dan juga kepada masyarakat umum dalam kapasitas sebagai pemegang akun media sosial yang bisa menyemburkan banyak informasi.

“Akses akan informasi yang akurat menjadi penting. Karenanya komunitas dan organisasi yang bergerak di isu ini butuh lebih pro aktif menyuarakan aspirasi. Media massa juga butuh berkolaborasi dengan komunitas dan organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu ODGJ dan disabilitas untuk meningkatkan literasi masyarakat mengenai isu ini menjadi lebih unklusif.” Tutup Evi [Penulis : A.K. Perdana / Penyunting : Bima Sakti / Gambar : A.K. Perdana]

Tinggalkan komentar