Begini Tips Ketahanan Mental dari Psikolog untuk Hadapi Pandemi

Satunama.org – Pandemi COVID-19 yang dialami oleh seluruh populasi manusia di dunia ini ikut menggiring manusia menuju era disrupsi di mana perubahan fundamental yang dapat mengubah tatanan kehidupan yang selama ini berlaku, terjadi dalam hidup manusia. Suatu kenyataan yang membuat manusia menghadapi tidak hanya krisis ekonomi, namun juga krisis kesehatan, baik kesehatan fisik dan mental.

Sistem dan struktur dukungan sosial yang diandalkan untuk membantu menjaga kesehatan individu terutama kesehatan mental mengalami perubahan drastis. Aktivitas sosialisasi seperti bertemu secara fisik menjadi sangat terbatas, bahkan dilarang melalui penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) karena munculnya pandemi COVID-19.

Ketahanan atau resiliensi dalam menghadapi situasi ini tentu menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Karena resiliensi dalam kondisi saat ini sangat dibutuhkan terkait erat dengan kesehatan mental. Berkaca dari hal tersebut, Yayasan SATUNAMA Yogyakarta melalui Departemen Kesehatan Jiwa dan Disabilitas menggelar Webinar Kesehatan Mental dan Penerapan PPKM di Indonesia pada Jumat, 30 Juli 2021. Webinar diselenggarakan secara daring dan disiarkan secara live di channel Youtube Yayasan SATUNAMA Yogyakarta serta dihadiri oleh puluhan peserta dari pemangku kepentingan terkait maupun masyarakat umum. (https://www.youtube.com/watch?v=_bEXl_OCM18)

Respon Terhadap Pandemi

Secara khusus, kondisi pandemic COVID-19 ini merupakan sebuah kondisi yang tidak biasa dialami oleh manusia. Dari berbagai dampak yang muncul, khususnya di bulan Juni dan Juli 2021 di mana kasus positif COVID-19 dan angka kematian mulai meningkat, dan seiring dengan penerapan PPKM, kemudian muncul dampak psikologis atau mental yang muncul di masing-masing individu.

“Kita tidak hanya bicara masyarakat, tapi juga individu. Dapat disebutkan bahwa ada rasa sejahtera yang selama ini dirasakan, itu terganggu. Nah perasaan terganggu inilah yang jika tidak dikelola dengan sangat baik akan berdampak pada permasalahan kesehatan mental.” Kata Herlini Utari, M.Psi, psikolog dari RS Grhasia Yogyakarta. 

Menurut Herlini, permasalahan kesehatan mental individu jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak dapat permasalahan kesehatan mental masyarakat. Setiap individu pun merespon kondisi ini dengan mekanisme pertahanan atau defence mechanism secara berbeda-beda. Ada yang kemana-mana bawa hand sanitizer atau pakai mantel untuk melindungi diri.

“Jika bicara tentang respon individu, beberapa ada yang nampaknya terkesan berlebihan. Kalau dalam situasi yang normal, ini mungkin sangat berlebihan. Namun karena kita saat ini berada dalam situasi yang tidak normal, maka kita tidak bisa menggolongkan respon orang-orang itu sebagai tidak normal.” Ujar Herlini sembari juga menyebutkan bahwa di awal pandemi, ada fase di mana orang bersikap menyangkal (denial) misalnya bahwa pandemi itu tidak nyata.

Meski demikian, Herlini juga melihat bahwa ada kecenderungan individu untuk mulai menerima dan menyesuaikan diri. Dalam rentang waktu sekitar 1,5 tahun pandemi terjadi, kecenderungan penerimaan kondisi itu juga mulai muncul.

“Pada awal pandemi, kita lihat banyak orang misalnya menjadi impulsif, membeli segala barang yang dibutuhkan, ada perasaan terisolasi, ada kekhawatiran akan kehilangan dan sebagainya. Namun setelah sekitar 18 bulan pandemi, ada orang yang masih menetap dengan mekanisme diri yang sama, namun ada juga yang mulai mengadopsi perilaku yang baru.” Jelas Herlini.

Namun menurut Erlin, tidak semua individu dapat beradaptasi secara baik dengan kondisi yang ada. Menurut hasil survey yang termuat di laman Perkumpulan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dalam waktu 5 bulan masa pandemi, dari 4010 orang yang menjadi responden, tercatat 75% di antaranya merasakan trauma terkait pandemi. Bahkan terdapat 1 dari 5 orang yang memiliki pikiran untuk lebih baik mati.

Data ini tentu tidak dapat dipandang enteng. Karenanya, Herlini menyebutkan bahwa kemampuan ketahanan atau resiliensi terhadap kondisi pandemi adalah hal yang harus diusahakan. Proses menuju ke sana dapat tentu bukanlah sebuah tahapan yang mudah dan langsung, karena kondisi ini bukanlah kondisi yang biasa kita jalani sebelumnya.

“Di awal pandemi kebanyakan kita menyangkal bahwa pandemi itu nyata. Kemudian setelah merasakan bahwa pandemi tidak kunjung berakhir, mulai ada rasa marah, jengkel. Marah dengan keadaan, marah dengan kebijakan dan sebagainya. Kemudian ketika dampak pandemi mulai dirasakan, orang mulai berandai-andai. Misalnya, kalau nggak ada pandemi, tentu usaha saya nggak akan terganggu. Nah karena berandai-andai tidak sesuai realita, orang mulai lelah. Di tahap inilah yang kemudian dapat memunculkan perasaan putus asa.” Papar Herlini.

Enam Strategi Bangun Ketahanan Diri.

Dalam situasi tersebut tentu dibutuhkan strategi-strategi agar individu dapat terus bertahan di masa pandemi ini. Herlini menyebutkan bahwa kemampuan individu untuk mengelola stress sangat dibutuhkan. Menurutnya, menjadi tangguh bukan berarti tidak bisa mengalami stress, namun yang harus dipahami adalah bagaimana mengelola stress yang muncul. Herlini kemudian menyebutkan bahwa terdapat beberapa pengelolaan yang bisa dilakukan.

Pertama, Pengelolaan kesehatan misalnya dengan olah raga, menjalankan prokes yang ketat serta istirahat yang cukup. “Mengkonsumsi makanan yang sehat, berolah raga teratur dengan jadwal yang teratur, istirahat yang cukup dan membiasakan diri menjalankan protokol kesehatan itu dapat membantu kita menata pengelolaan diri di masa seperti ini.” Kata Herlini

Kedua, pengelolaan pikiran. Hal ini bisa dilakukan dengan mulai berusaha menerima keadaan dan lebih fleksibel dalam berkegiatan. “Pandemi ini ada. Pilihannya adalah hadapi. Maka mulailah untuk bersikap bahwa keadaan ini memang tidak ideal, lalu apa yang bisa saya lakukan dan pelajari?  Apa potensi diri saya yang bisa digunakan untuk melalui kondisi ini? Berusaha mensyukuri apa yang kita miliki dalam kondisi ini, itu dapat membantu kita merasa lebih tenang.” Ujar Herlini. 

Ketiga, adalah pengelolaan emosi. Pengelolaan emosi misalnya dapat dilakukan dengan dengan relaksasi. “Munculkan control terhadap pikiran atau perasan negatif. Afirmasi positif dan apresiasi diri menjadi hal penting untuk diusahakan. Relasasi nafas, berjalan kaki, dan sebagainya agar nutrisi dalam otak kita menjadi nutrisi yang positif.” Kata Herlini.

Keempat, pengelolaan perhatian. Herlini menyarankan untuk mulai memberikan kesempatan bagi diri sendiri untuk merasakan kesenangan misalnya melalui hobi. “Ini akan membatu kita mengelola kondisi diri. Tujuannya agar kita bisa bersikap positif terhadap diri sendiri. Dalam situasi yang tidak ideal, individu kadang menuntut diri terlalu tinggi. Sehingga tekanan-tekanan itu muncul tidak hanya dari eksternal seperti kondisi sosial tapi juga berasal dari dalam diri sendiri.”

Kelima, Pengelolaan lainnya adalah pengelolaan informasi. Beristirahat dari menonton, membaca dan mendengarkan berita adalah salah satu yang bisa dilakukan. Batasi penggunaan gawai untuk mengakses informasi yang kurang bisa dipercaya. Jika bermain media sosial, akan lebih baik jika memilih akun-akun yang bermanfaat. “Karena hal ini sangat mempengaruhi nutrisi yang ada di otak kita. Maka bijaksanalah mengelola informasi yang ada di sekitar kita.” kata Herlini.

Keenam, adalah pengelolaan relasi sosial. Meski terdapat PPKM, bukan berarti pola relasi sosial harus terhenti. “Teknologi komunikasi sudah sangat maju, kita bisa memanfaatkannya untuk tetap terkoneksi dengan orang lain. Berbicara dengan orang yang anda percayai, saling mendukung satu sama lain atau bergabung dalam aktivitas komunitas, keorganisasian dan keagamaan secara virtual. Ini akan membantu mengurangi resiko terjadinya perasaan kesepian.” Tutur Herlini.

Herlini kemudian juga menyarankan untuk mencari bantuan professional jika individu merasakan adanya gangguan mental dalam dirinya. Gangguan mental dapat diperiksakan kepada tenaga professional jika itu berlangsung selama lebih dari dua minggu.

“Gejalanya misalnya tidak bisa tidur sampai mengganggu fungsi dan peran sehari-hari dan menimbulkan ketidaknyamanan, bisa mencari bantuan professional untuk mengatasinya. Ada psikolog ada psikiater di berbagai pusat kesehatan termasuk puskesmas. Mencari bantuan professional ini menjadi alternative jika kita tidak bisa menanganinya sendiri.” Papar Herlini.

Lebih jauh, Herlini menyebutkan bahwa kekuatan utama kesehatan mental dalam menghadapi pandemi terdapat pada pola pikir, sikap dan respon dalam memaknai pandemi itu sendiri. “Kita harus memahami bahwa pandemi ini nyata dan ada. Tapi jika kita melihatnya sebagai gangguan atau masalah, maka itu akan menimbulkan tekanan dan akan membuat kita sulit beradaptasi. Namun jika kita melihatnya sebagai suatu fase yang harus kita lalui, ini akan membuat kita menjadi lebih tangguh, memudahkan untuk beradaptasi dan membuat kita menjadi lebih sehat.” Demikian Herlini. [Penulis : A.K. Perdana / Penyunting : Bima Sakti / Gambar : Bima Sakti]

Tinggalkan komentar