Gelar Webinar, SATUNAMA Bedah Kerjasama Lintas Sektor dalam Pengurangan Resiko Bencana bagi Kelompok Rentan

Satunama.org – Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara geografis berada di daerah pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Samudera Pasifik dan Indo-Australia, yang dikenal dengan daerah Cincin Api (the ring of fire). Kondisi tersebut menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai daerah rawan bencana.

Pada tataran respon kebencanaan, ketika menghadapi bencana bahkan pasca bencana, keberadaan kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, dan difabel menjadi konteks yang wajib diperhatikan. Keberadaan kelompok ini cenderung rentan karena minimnya informasi dan edukasi yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka. Selain kelompok rentan, bencana yang terjadi bisa mengakibatkan seseorang menjadi difabel.

Kebutuhan akan tatanan respon kebencanaan yang inklusif sekaligus ramah terhadap kelompok rentan pun menjadi salah satu hal yang harus mendapat perhatian. Dalam konteks itulah Yayasan SATUNAMA Yogyakarta menggelar helatan Webinar Kebencanaan dan Difabilitas pada Rabu, 14 Juli 2021 secara daring.

Webinar ini juga merupakan bagian dari Serial Webinar yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan Jiwa dan Difabilitas dalam rangka peluncuran Mental Health and Disability Institute of SATUNAMA (MHDIS) sebagai sebuah platform pengelolaan sektor pengetahuan bagi public. MHDIS rencananya akan diluncurkan pada bulan Agustus 2021.

Kolaborasi Lintas Sektor

Dikutip dari Tirto, sejak awal tahun 2021 telah terjadi bencana alam di Indonesia dimulai dari Banjir Aceh Timur pada 1 Januari 2021. Masih di bulan yang sama, hujan lebat disertai petir dan angin kencang terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Kemudian disusul gempa bumi tektonik di Majene dan Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Catatan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) juga menyebutkan ada 263 bencana yang terjadi hingga 31 Januari 2021 (Kompas, 2021).

Pasca Januari, cuaca ekstrim kembali mengakibatkan bencana banjir di wilayah Nusa Tenggara Timur pada 4 April 2021. Kemudian disusul gempa bumi yang mengguncang daerah Malang dan sekitarnya. BNPB pun melaporkan hingga 15 Juni 2021, sebanyak 1.423  kejadian bencana alam telah melanda wilayah Indonesia (Tempo, 2021). Peristiwa-peristiwa tersebut tentunya memunculkan tantangan lain terkait dengan kelompok difabilitas.

“Disabilitas dan lansia seringkali lebih mengalami dampak bencana. Untuk disabilitas misalnya, seringkali layanan yang mereka butuhkan kurang tersedia secara memadai. Ini tentunya juga berhubungan dengan standard dan kebijakan yang terkait dengan keberadaan mereka, yang masih terus membutuhkan perbaikan ke depan.” Kata Rohny S. Maail, Staf Ahli Pendamping BNPB Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Fisik yang menjadi salah satu narasumber webinar.

Menambahkan penjelasan Rohny, Karel Tuhehay, Kepala Departemen Kesehatan Jiwa dan Disabilitas SATUNAMA melihat bahwa ada keterkaitan sebab-akibat antara bencana dengan disabilitas. “Seseorang karena gempa bumi kemudian menjadi difabel fisik, seseorang berada dalam pengungsian dalam jangka waktu tertentu berpotensi mengalami gangguan psikologis. Jika kondisi tersebut tidak tertangani dengan baik, itu dapat mengakibatkan seseorang menjadi difabel psikososial atau gangguan jiwa. Intinya, siapapun berpotensi menjadi difabel.” Papar Karel.

Sejauh ini, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024 telah memasukkan isu lintas sektor, salah satunya adalah difabel sebagai salah satu kelompok rentan, dalam pembahasan oleh para pemangku kepentingan yang dipimpin oleh BNPB dengan mengutamakan prinsip No one Left Behind.

Hal ini menjadi pedoman baik bagi pelaku pengurangan resiko bencana di lapangan untuk lebih berperspektif difabel. Praktik di lapangan terkait pengarusutamaan difabel kemudian menjadi tingkatan berikutnya yang harus terlaksana dengan baik. Hal ini, tentu saja harus diantisipasi dan dirumuskan dalam semua perencanaan program dari lintas sektor.

Pihak swasta atau private sector melalui berbagai program CSR menjadi salah satu pemangku kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari rencana-rencana dan pelaksanaan pengurangan resiko bencana terhadap difabel.

“Saat ini Pertamina Foundation tengah bertranformasi melalui kerjasama dengan berbagai organisasi termasuk dengan SATUNAMA., untuk menjadi sebuah yayasan yang memiliki kapasitas melakukan program pemberdayaan masyarakat, salah satunya kepada kelompok rentan difabilitas.” Ujar Agus Mashud S. Asngari, President Director Pertamina Foundation dalam Webinar.

Salah satu bentuk kerjasama Pertamina Foundation dengan SATUNAMA adalah dalam program PF Bangkit yang dilakukan di wilayah Jawa Tengah serta Jawa Timur pada tahun 2020-2021. “Ini yang kami sebut sebagai cara Pertamina Foundation merespon berbagai kejadian bencana alam dengan inisiasi-inisiasi yang berfokus pada program berkelanjutan untuk masyarakat yang terdampak bencana. Tak terkecuali kelompok-kelompok marjinal.” Kata Agus

Menurut Agus, kolaborasi antar seluruh pemangku kepentingan menjadi hal penting yang harus dikuatkan. “Kolaborasi yang setara dan kontributif. Pemerhati difabilitas –dalam hal ini termasuk CSO- dapat merilis isu dan dapat melakukan kerjasama dengan private sector. Kerjasama jaringan juga wajib dikembangkan kepada pemerintah pusat maupun daerah.” Ujar Agus.

Melibatkan Komunitas

Peran seluruh pihak untuk mengangkat isu ini ke level yang lebih tinggi akhirnya menjadi penting untuk dioptimalkan karena kelompok difabel dan kelompok rentan lainnya memiliki kondisi khusus yang membutuhkan pemikiran dan tindakan yang inklusif untuk mewujudkan akses keadilan berkelanjutan yang setara. Strategi yang perlu dikuatkan saat ini adalah dengan melibatkan mereka dalam setiap proses pembangunan.

“Saya kira pelibatan kelompok difabel dalam perencanaan hingga monitoring pembangunan harus  dilakukan secara menyeluruh. Karena yang tahu kondisi mereka ya mereka sendiri. Termasuk kaitannya dengan bencana, protap bencana harus melibatkan kelompok disabilitas.” Kata Ratna Dewi Setyaningsih,  Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Yogyakarta yang juga menjadi salah satu narasumber dalam Webinar.

Senada dengan Ratna, Karel juga mendorong hal yang sama. “Kawan-kawan difabel ini tidak terlalu menuntut. Pihak terkait yang harus memberikan kesempatan dan tempat agar mereka dapat berpartisipasi.” Ujarnya.

Pelaksanaan webinar ini menjadi signifikan dalam menggali pemikiran-pemikiran yang dapat berkontribusi dalam memberikan perlindungan dan pengurangan resiko bencana kepada kelompok rentan saat terjadi bencana dengan mengoptimalkan peran para pemangku kepentingan yang terkait seperti pemerintah, CSO, swasta dan juga komunitas rentan itu sendiri, mengingat berbagai peristiwa kebencanaan yang terjadi memang membutuhkan kerjasama respon perlindungan dan keselamatan yang adil bagi seluruh warga negara.

Satu hal lagi, pentingnya konteks keberlanjutan dalam setiap program yang dilaksanakan dalam kerjasama-kerjasama lintas sektor juga harus mendapat perhatian khusus. Agus Mashud melihat bahwa skema keberlanjutan yang diberikan terhadap kelompok difabel atau kelompok rentan lainnya sejauh ini dipandang masih terbatas.

“Terlebih dalam situasi pandemi atau bencana ya. Memang ada respon-respon yang dilakukan untuk membantu mereka pulih dari bencana. Tapi dalam konteks keberlanjutan, kita belum benar-benar sampai ke sana. Ini yang perlu kita upayakan terus.” Demikian Agus. [Penulis : A.K. Perdana / Penyunting : Bima Sakti / Gambar : Bima Sakti]

Tinggalkan komentar