Perempuan Sekitar Hutan, Penjaga perubahan Iklim

Dalam bidang pengelolaan dan pengambilan keputusan atas kawasan hutan, hutan masih dianggap sebagai urusan laki-laki, sehingga mempersulit partisipasi perempuan dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan. Perempuan kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan karena batasan sosial, agama, logistik, dan kebijakan yang mengatur tentang perhutanan sosial.

Hingga akhir September 2019, realisasi program perhutanan sosial di Indonesia telah mencapai 3,4 juta hektar melalui pemberian 6.053 ijin kepada kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, dengan penerima manfaat sebanyak 755.281 kepala keluarga. Kebijakan perhutanan sosial di Indonesia yang diatur  melalui  Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. P.83 Tahun 2016. Dari penelitian SATUNAMA, pengelolaan perhutanan sosial tersebut  dikuasai dan ditentukan laki-laki karena pengurus kelembagaan perhutanan sosial mayoritas laki-laki. 

Bagi perempuan, hutan dan lahan tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi memiliki makna yang lebih luas. Hutan dan lahan mempunyai nilai sosial, budaya dan merupakan bagian dari eksistensi kehidupan perempuan. Nilai-nilai inilah yang harus dijaga dan dipertahankan. Perempuan di kalangan masyarakat baik di dalam maupun sekitar kawasan hutan mendapatkan separuh pendapatan mereka dari hutan lebih banyak dibanding laki-laki, di mana pendapatan dari kegiatan di hutan mencapai seperlima dari total pendapatan rumah tangga keluarga yang tinggal di pedesaan dalam dan sekitar hutan.

Walaupun kontribusi laki-laki terlihat lebih besar daripada perempuan karena aktivitas mereka dalam menghasilkan sejumlah pendapatan rumah tangga, namun kaum perempuan terlibat banyak dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok, pengelolaan lahan, serta pengolahan hasil hutan dan kebun.

Hambatan Bagi Perempuan.

Setidaknya terdapat empat hambatan partisipasi perempuan dalam pengelolaan kawasan hutan yakni (1) kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan tidak akomodatif terhadap perempuan. Tidak ada kebijakan afirmatif yang menempatkan perempuan dalam kebijakan pengelolaan, menjadi hambatan serius bagi perempuan untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan.

Kelembagaan di tingkat lokal dan tapak juga tidak mengakomodasi partisipasi perempuan. Kebijakan desa dan lembaga pengelola perhutanan sosial tidak secara spesifik mengafirmasi partisipasi perempuan. Akibatnya banyak kebijakan di tingkat local dan tapak yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan.

Sistem livelihood ditingkat tapak juga dipandang tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. Perempuan memiliki ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki yang menjadikan keputusan-keputusan domestik dan publik banyak ditentukan oleh laki-laki.

Hal lainnya adalah tidak ada organisasi perempuan dan jaringan perempuan di sekitar kawasan hutan yang kuat, yang memperjuangkan kepentingan perempuan bagi akses atas pengelolaan kawasan hutan. Umumnya perempuan disekitar kawasan hutan tidak terlibat dalam organisasi perempuan, bahkan dalam banyak hal pengetahuan tentang transformasi gender masih sangat tertinggal. Lingkungan budaya yang patriarki dan akses informasi yang terbatas menjadikan masalah akses keadilan atas sumber daya alam masih belum berkembang di tingkat tapak.

Padahal, melibatkan kaum perempuan dalam pengambilan keputusan terkait hutan pada tingkat masyarakat telah menunjukkan efek positif bagi serangkaian isu pengelolaan hutan. Di Indonesia akses perempuan dalam pengelolaan hutan belum menjadi prioritas di kalangan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mitchell et al. (2007) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat penting, salah satunya karena peran perempuan secara tradisional sebagai penyedia bahan makanan bagi keluarga yang harus dipenuhi dari hasil hutan

Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat penting, salah satunya karena peran perempuan secara tradisional sebagai penyedia bahan makanan bagi keluarga yang harus dipenuhi dari hasil hutan. Begitu besarnya peran hutan dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di sekitar hutan, menjadi penting bagaimana menjaga kelangsungan kawasan hutan dan akses kontrol perempuan di dalamnya ( Mitchell et al, 2007).

Sekalipun secara umum curahan laki-laki bekerja di hutan lebih besar dari perempuan, tetapi jumlah penerimaan yang diperoleh perempuan dari hasil hutan non kayu lebih tinggi dari laki-laki.   Data dari Bank Dunia, perempuan –disekitar hutan— mendapatkan lebih dari separuh pendapatannya dari kawasan hutan, sementara laki-laki hanya memperoleh sepertinya. Data ini menunjukkan bahwa ketergantungan perempuan terhadap kawasan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. kampung (World Bank, International Fund for Agricultural Development (IFAD) dan FAO 2009 Gender and agriculture sourcebook. World Bank, Washington, D.C.)

Perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan tidak memiliki banyak pilihan ekonomi dibandingkan laki-laki, di mana seringkali laki-laki dapat meninggalkan keluarga dan kampungnya untuk bermigrasi mencari sumber penghasilan lain, sementara perempuan bertahan untuk mengurus anak dan  kampung. Data dari Poverty Environment Network (PEN) CIFOR (2013)  menemukan bahwa pendapatan dari kegiatan di hutan mencapai seperlima dari total pendapatan rumah tangga keluarga di daerah perdesaan yang hidup di dalam atau sekitar hutan.

Kehutanan umumnya dianggap sebagai sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki sehingga mempersulit partisipasi kaum perempuan dalam pengelolaan hutan dan pengambilan keputusan (Manfre, C. dan Rubin, D. 2012). Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam lembaga pengelola hutan telah meningkatkan perbaikan bagi perbaikan tata kelola dan kelestarian sumber daya hutan, ( Agarwal, B. 2009 and  2010).

Melibatkan kaum perempuan dalam  pengelolaan kawasan hutan  menunjukkan efek positif dari serangkaian masalah sumber daya hutan, termasuk di dalamnya masalah yang berkatan dengan illegal loging, mitigasi konflik, dan keberlanjutan. Kesetaraan gender yang lebih luas merupakan salah satu kunci menuju pengelolaan hutan secara lestari.

Selama ini, kerusakan hutan belum merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pengelolaan hutan telah membuat pandangan perempuan tentang sumber daya alam menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki dan bahkan oleh perempuan sendiri.

Jika melihat bahwa hutan dan lingkungan hidup pada umumnya sebagai proses politik kebijakan, maka  perempuan banyak ditinggalkan dalam proses pengambilan keputusan untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber kehidupannya. Perempuan dalam posisi lemah terhadap akses dan kontrol penguasaan kawasan hutan.

Menuju Pengelolaan Hutan yang Inklusif Gender.

Oleh karenanya, konsep akses dan kontrol dalam penguasaan kawasan hutan mencakup aspek –aspek berikut ini :  Pertama, kesadaran. Kepentingan perempuan dalam pengelolaan kawasan hutan harus berangkat atas kesadaran bahwa perempuan memiliki hubungan yang erat atas keberlanjutan fungsi hutan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan politiknya. Kerusakan hutan dan hilangnya control atas kawasan hutan yang paling dirugikan adalah perempuan, dimana perempuan kehilangan salah satu elemen penting dalam livelihoodnya, yakni sumber daya alam.

Kedua, akses. perempuan harus diberi peluang dan kesempatan  yang sama dalam pengelolaan kawasan hutan,  mendapatkan pengakuan banyak pihak terhadap hak-hak dan kepentingan perempuan. Untuk memperkuat hak hak dan kepentingan perempuan, negara harus memberikan jaminan kepastian hukum.

Ketiga, Partisipasi.  Perempuan harus diberi peluang untuk terlibat dalam pengelolaan hutan yang direpresentasikan dengan kehadiran perempuan dalam lembaga pengelolan hutan di tingkat lokal. Pemberian akses juga menjadi bagian dari kebijakan afirmatif terhadap perempuan dengan mengharuskan lembaga pengelola hutan memiliki perwakilan perempuan dan program yang berkaitan dengan perempuan. 

Keempat, Kontrol.  Perempuan memiliki kewenangan dalam merencanakan, mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan bagi kesejahteraanya secara setara dengan laki-laki.  Kelima, kesejahteraan. Perempuan memperoleh hasil pengelolaan kawasan hutan secara adil dan berkelanjutan , juga memperoleh manfaat atas setiap keputusan tentang sumberdaya kehidupan yang diambil/diputuskan bersama.

Himawan Pambudi (Sosiolog Pedesaan, Kepala Departemen Demokrasi Politik Pemerintahan dan Inklusi Sosial Yayasan SATUNAMA]

Foto : Dok SATUNAMA, 2020.

Tinggalkan komentar