Bangun Perspektif Inklusif, SATUNAMA Adakan Pelatihan Kesadaran Disabilitas

Satunama.org – Rendahnya akses memperoleh pekerjaan bagi kelompok disabilitas menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Hal ini sangat berpotensi mempengaruhi tingkat kesejahteraan para kelompok disabilitas. Kondisi tersebut layak mendapat perhatian karena pembangunan yang inklusif harus selalu bertumpu pada kemanfaatan hasil yang seimbang bagi seluruh elemen masyarakat.

Penyerapan individu disabilitas di dunia kerja memang masih rendah. Kemenaker mencatat pada Oktober 2018, dari 230 ribu tenaga kerja di 440 perusahaan, jumlah tenaga kerja disabilitas baru mencapai 1,2% atau sekitar 2.760 jiwa (cnnindonesia.com, 30 Oktober 2019). Kondisi ini tentu kurang ideal jika menengok Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dibuat untuk menjawab berbagai tuntutan, antara lain mengatasi kemiskinan dan kesenjangan dalam bentuk aksi nyata melalui keseimbangan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.

Hal tersebut mendorong Yayasan SATUNAMA Yogyakarta mengadakan Pelatihan Disability Awareness atau Kesadaran Disabilitas bagi Staf Balai Latihan Kerja (BLK) di Balai Pelatihan SATUNAMA, Selasa-Rabu, 9-10 Maret 2021. Pelatihan diikuti oleh para staf dari BLKPP Daerah Istimewa Yogyakarta, BLK Kabupaten Bantul, BLK Kabupaten Gunungkidul, BLK Kabupaten Kulonprogo dan BLK Kabupaten Sleman. Bertindak sebagai fasilitator adalah Karel Tuhehay dan Ratna Dwi Setiyaningsih dari Departemen Kesehatan Jiwa dan Difabilitas SATUNAMA.

Siginifikansi pelatihan ini menjadi besar karena Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengamanatkan perusahaan swasta untuk mempekerjakan 1 persen tenaga kerja disabilitas dari total pekerjanya, sedangkan perusahaan BUMN sebanyak 2 persen. Penerapan tersebut untuk menjawab isu penting mendorong pasar kerja menjadi inklusif.

Perspektif Disabilitas di Lingkungan Kerja

Berkaca dari Undang-Undang No.8 Tahun 2016, salah satu poros vital dalam mewujudkan inklusifitas bagi disabilitas dalam dunia kerja adalah terbangunnya perspektif dan kesadaran yang penuh dari pemangku kepentingan yang berkaitan dengan kesempatan kerja bagi kelompok disabilitas. Dalam hal ini, pihak Pemerintah Daerah di Indonesia memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) yang merupakan unit teknis di bawah Dinas Tenaga Kerja.

BLK memiliki fungsi sebagai wadah kegiatan pelatihan tenaga kerja yang memiliki unit-unit pelatihan di dalamnya dan mendukung calon tenaga kerja yang siap pakai serta berkualitas dan berkompeten sehingga dapat bersaing dengan tenaga kerja yang lainnya. Agar kelompok disabilitas dapat mengikuti pelatihan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya, maka staf BLK khususnya instruktur perlu memiliki kesadaran yang baik tentang disabilitas.

“BLK diharapkan terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja termasuk kelompok disabilitas yang membutuhkan keterampilan.” Ujar Karel Tuhehay, fasilitator dalam pelatihan sekaligus Kepala Departemen Kesehatan Jiwa dan Difabilitas SATUNAMA.

Menurut Karel, pelatihan yang dihelat oleh SATUNAMA dimaksudkan untuk memberikan bekal pengetahuan, pola pikir dan aplikasi tindakan dalam sistem kerja inklusif dari staf BLK. Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman para instruktur BLK tentang disabilitas seperti terbangunnya paradigma dan model pendekatan disabilitas, penghayatan hak-hak kelompok disabilitas dan etika berinteraksi dengan mereka menjadi poin penting mendasar dalam pelatihan.

“Tidak ketinggalan juga kapasitas para instruktur BLK dalam mengidentifikasi hambatan yang dialami individu disabilitas di BLK, juga aksesibilitas di BLK. Kalau sudah paham hambatannya, maka penyelesaiannya juga akan lebih mudah sekaligus berperspektif disabilitas” Lanjut Karel sembari menyebutkan bahwa pelatihan ini digelar dengan protokol kesehatan dalam rangka meminimalisir penyebaran Covid-19. 

Membangun Balai Latihan Kerja yang inklusif pun menjadi tantangan tersendiri untuk mewujudkan pemenuhan hak yang adil khususnya dalam kesempatan kerja kepada kelompok disabilitas, mengingat rendahnya akses ini disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal yang melingkupi kelompok disabilitas.

“Dari internal bisa berupa ketidakpercayaan pada dirinya karena kondisi disabilitas. Sementara dari eksternal, ada faktor keluarga yang kurang mendukung serta lingkungan yang masih memberi stigma negatif bagi kelompok disabilitas.” Ungkap Karel.

Sementara di lingkungan BLK sendiri, peningkatan pelayanan terhadap kelompok calon tenaga kerja disabilitas juga harus selalu diupayakan. BLK sendiri telah mengupayakan pelayanan terhadap tenaga kerja disabilitas, namun memang masih membutuhkan optimalisasi lebih dalam.

“Kami sudah pernah menerima beberapa individu disabilitas, baik disabilitas fisik maupun disabilitas mental atau ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Sementara untuk sarana prasarana, di tempat kami juga sudah ada jalur disabilitas (guiding block atau guiding path).” Kata Siti Muslimah, dari BLKPP Daerah Istimewa Yogyakarta saat ditemui oleh Satunama.org.

Siti Muslimah mengakui perspektif tentang disabilitas di lingkungan tempatnya bekerja selalu berusaha dibangun. Siti mencontohkan bahwa staf di BLKPP DIY pernah mendapatkan kesempatan magang di tempat-tempat industri yang merangkul kelompok disabilitas sebagai tenaga kerjanya. “Kawan-kawan disabilitas itu diberi kesempatan bekerja sesuai dengan kondisi mereka. Jadi mereka bisa tetap berkarya di tempat kerja mereka.” Kata Siti.

Meski demikian, Siti juga mengakui bahwa tantangan dalam mewujudkan akses pemenuhan hak bekerja bagi kelompok tenaga kerja disabilitas juga patut menjadi perhatian. “Fasilitasi pelatihan yang sesuai untuk kawan-kawan disabilitas itu masih terus kami tingkatkan. Juga terkait komunikasi dengan mereka. Karena berinteraksi dengan kawan-kawan disabilitas ini tentu membutuhkan cara yang lebih peka dan inklusif. Saya dapat banyak hal baru di pelatihan ini. Misalnya tentang penggunaan kata-kata yang tepat ketika kita berkomunikasi dengan kawan-kawan disabilitas. Serta bagaimana gaya kita ketika berkomunikasi dengan mereka.” Demikian Siti Muslimah.

Selain pengetahuan-pengetahuan baru yang berguna bagi dirinya dan rekan-rekannya di BLKPP DIY, Siti juga ingin mendapatkan bimbingan dalam bentuk praktik. “Belajar praktik langsung berinteraksi dengan para kawan disabilitas. Agar bisa langsung paham dan memiliki pengalaman berelasi dengan mereka.” Harapnya.

Setelah mengikuti pelatihan, para staf BLK diharapkan dapat memiliki cara pandang yang baru tentang bagaimana mengelola BLK menjadi inklusif, hingga menyentuh berbagai elemen basis maupun pengembangan dari sistem yang berlaku di BLK. “Misalnya menyediakan kurikulum yang akomodatif, lingkungan fisik BLK yang akses dan tenaga pengajar atau instruktur yang berpihak atau memiliki kesadaran tentang disabilitas.” Tutup Karel.

[Penulis : A.K. Perdana/Editor : Bima Sakti/ Foto : A.K. Perdana]

Tinggalkan komentar