Upaya RPKJ SATUNAMA Bangun Literasi Kesehatan Jiwa dan Disabilitas

Satunama.org.– Berdasarkan Data Riskesdas tahun 2018, 7 dari 1.000 Rumah Tangga terdapat anggota keluarga dengan Skizofrenia/Psikosis. Lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun terkena gangguan mental emosional, lebih dari 12 juta orang berusia di atas 15 tahun diperkirakan telah mengalami depresi.

Namun, seiring dengan tingginya angka gangguan mental emosional, semakin banyak pula masyarakat yang peduli terhadap isu kesehatan mental yang kini perlahan menjadi lebih membumi. Isu mengenai kesehatan mental seakan sangat tabu sebelumnya. Namun kini mulai diperhatikan oleh masyarakat. Semakin banyak yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental dan disabilitas di masyarakat.

Hal tersebut pula yang menjadi fokus Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa (RPKJ) yang diusung oleh Departemen Kesehatan Jiwa (Keswa) Yayasan SATUNAMA Yogyakarta. Pada Rabu (27/1/2021), Karel Tahuhay, Kepala Unit Keswa SATUNAMA, menyampaikan tentang konsentrasinya pada peningkatan literasi kesehatan mental dan disabilitas di masyarakat.

Menurut Karel, tujuan utama dari RPKJ adalah menjadi wadah untuk upaya mengurangi permasalahan bagi orang dengan gangguan jiwa di Yogyakarta dan mencegah terjadinya peningkatan permasalahan terkait isu kesehatan jiwa dan disabilitas. Melalui promosi kesehatan, RPKJ berupaya dapat menjadi wadah yang terbuka untuk masyarakat dan juga dapat menghasilkan kader-kader di masyarakat yang lebih peduli terhadap isu kesehatan jiwa dan disabilitas.

“Kami berupaya agar bagaimana orang difabel itu tidak terstigma. Bagimana agar mereka menjadi lebih mandiri kemudian bisa bekerja bisa menyatu di masyarakat dan mendapatkan haknya. Selain itu, kami pun berupaya membangun kapasitas CSO atau NGO agar mereka punya perspektif yang baik pada orang difabel,” tutur Karel.

Upaya membumikan pengetahuan mengenai isu kesehatan mental dan disabilitas saat ini dilihat Karel dapat lebih diterima masyarakat melalui media sosial. Karena masyarakat akan lebih peduli. Selain itu, penyandang disabilitas pun akan mendapatkan kesempatan untuk bisa menyampaikan bahwa ODGJ atau difabel itu ada, dengan segala keberagaman dan kemampuannya sehingga mereka bisa mendapatkan peluang yang sama.

Namun, beberapa tantangan yang dihadapi saat ini adalah lingkungan yang mendukung proses penerimaan tersebut. Beberapa kasus yang pernah terjadi di RPKJ adalah terdapat keluarga yang tidak peduli terhadap anggota keluarganya yang memiliki gangguan mental. Kemudian, stigma masyarakat yang masih negatif terhadap orang yang memiliki gangguan mental.

“Kami ingin mengajak keluarga dan lingkungan sekitar untuk duduk bareng. Agar mereka (orang dengan gangguan mental) dapat diterima secara sosial. Jangan sampai memberi stigma buruk, seperti dikatakan orang gila atau kata kata yang sangat membekas, sehingga mereka menjadi terpuruk. Maka kami berupaya bagaimana caranya mereka kembali diterima oleh keluarga dan masyarakat sekitar,” tuturnya.

Maka dari itu, RPKJ berupaya untuk menggunakan media sosial sebagai salah satu wadah untuk meningkatkan literasi kesehatan mental dan disabilitas. Karena, dalam beberapa kasus masih ditemukan adanya stigma negatif pada seseorang yang berkonsultasi pada psikolog. Maka melalui pembelajaran tentang kesehatan jiwa, anak muda di media sosial akan lebih bersahabat dengan isu-isu yang selama ini dianggap tabu di masyarakat.

“Kami berupaya untuk meningkatkan literasi mental health di lingkungan kampus. Salah satunya melalui konselor sebaya. Konselor sebaya ini sudah dilatih dan bisa mendampingi lingkungan sekitarnya. Selain itu, kami pun berhadap dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan unit kesehatan mental di kampus,” ujar Karel.

Konselor sebaya tersebut diharapkan Karel dapat menjadi alternatif solusi di masyarakat, khususnya anak muda. Karena ketika seseorang mengalami permasalahan dan membutuhkan tempat untuk bercerita, perlu membangun kepercayaan terlebih dahulu. Ketika sudah ada kepercayaan itu, orang akan lebih terbuka dan lebih menerima.

“Kalau dengan teman kan bisa saling nyambung gitu, karena satu frekuensi. Berbeda ketika bercerita dengan seorang psikolog yang mungkin masih merasa segan. Maka konselor sebaya ini bisa sangat bermanfaat antar mahasiswa, sebagai kelompok yang bisa membantu di kalangan mereka sendiri.” tutup Karel. [Penulis : Azrina Sabilla (Media Intern/UGM Yogyakarta). Penyunting : A.K. Perdana. Foto : Azrina Sabilla]

Tinggalkan komentar