Pendidikan Kepercayaan, Instrumen Pelestarian Kearifan Lokal

Satunama.org.– Pendidikan adalah salah satu elemen utama yang membangun manusia, begitupun kebudayaan yang mendukung proses berkembangnya kehidupan sosial manusia di tengah-tengah masyarakat. Antara pendidikan dan kebudayaan, terdapat irisan yang membentuk peradaban manusia, maka dari itu nilai kebudayaan pun perlu ditekankan dalam unsur pendidikan.

Freeman Butt dalam bukunya Cultural History of Western Education, menyebutkan bahwa pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan dapat  meningkatkan kapasitas dan keahlian sumber daya manusia yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Pendidikan adalah hak setiap manusia. Begitupun bagi masyarakat kelompok penghayat yang berhak memperoleh pendidikan. Namun, permasalahan mengenai akses pendidikan kepercayaan belum sepenuhnya terintegrasi di sistem pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, telah terdapat acuan berupa Permendikbud No 27 Tahun 2016 yang merupakan salah satu kelengkapan atas Putusan MK No 97 Tahun 2017 terkait kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan. Namun, sejauh apa penerapannya? Dan bagaimana hal tersebut dapat memberikan peran bagi kearifan lokal?

Dalam rangkaian acara The 2nd International Conference on Indigenous Religions (ICIR) yang dihelat oleh Rumah Bersama berbagai lembaga yang peduli terhadap perkembangan agama leluhur di mana SATUNAMA bergabung di dalamnya, salah satu panelis Anna Amalia menyampaikan pendapatnya akan potensi dan peran Pendidikan Kepercayaan dalam upaya pelestarian kearifan lokal. Hal itu disampaikan dalam panel diskusi bertemakan “Kekayaan Intelektual, Pengetahuan, dan Nilai Budaya”, pada Selasa (15/12/2020).

Perlu Dimasukkan dalam Pendidikan Nasional.

Anna menyampaikan temuan awal mengenai Pendidikan Kepercayaan. Menurut Anna, Pendidikan Kepercayaan perlu dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional yang setara dengan pendidikan agama lain dalam pendidikan warga negara Indonesia. Hal tersebut sebagai pengimplementasian dari Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No 27 tahun 2016.

Hal tersebut sejalan dengan fungsi pendidikan sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia. Maka, Pendidikan Kepercayaan diyakini Anna tidak hanya sebagai medium untuk para pengahayat, namun juga sebagai jembatan untuk pelestarian kearifan lokal.

“Pendidikan Kepercayaan bukan hanya sebagai cara untuk menyebarkan pengetahuan bagi peserta didik pengyahat, saya menyarankan hal ini juga sebagai instrumen untuk melestarikan kearifan lokal, agar lebih banyak orang yang mendapatkan manfaat dari pengetahuan tersebut” jelasnya.

Anna juga menekankan bahwa Pendidikan Kepercayaan merupakan salah satu bentuk dari dialog antara negara dan masyarakat. Bahwa pendidikan bukan hanya satu arah dari negara ke masyarakat, tapi juga berupa input dari masyarakat ke negara, yaitu mengenai pengetahuan berdasarkan kepercayaan lokal.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaan tentunya akan menghadirkan peluang bagi sistem pendidikan yang ramah kebudayaan. Kebhinekaan horizontal Indonesia diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, budaya bahasa, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.

Dengan berbagai keragaman yang ada, kesamaan misi menjadi dibutuhkan untuk membangun kebersaman. “Maka dari itu, manusia dan warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi,” kata Anna.

Dilansir dari data Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah kelompok penghayat Kepercayaan berjumlah 299.617 orang, atau sekitar 0,13 persen dari total penduduk. Angka tersebut didapatkan dengan melihat indikator kategori “lainnya” sebagai jawaban di luar enam agama resmi.

Walaupun angka tersebut terbilang kecil diantara jumlah pemeluk agama lainnya, namun tetap saja diperlukan keadilan sumber pengetahuan bagi kelompok penghayat berupa pengimplementasian Pendidikan Kepercayaan yang merata dan berkelanjutan.

Bagian dari Pendidikan Inklusif.

Hal tersebut pun terkait dengan bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pendidikan yang inklusif. Freire (2008) menyampaikan bahwa tujuan dari upaya partisipasi harus memfasilitasi kesadaran orang yang terpinggirkan secara global tidak setara secara struktur sosial, politik, dan tata ruang di dalam masyarakat. Melalui kesadaran dan tindakan kolektif yang mereka rasakan terhadap  kebutuhan, mengidentifikasi kendala untuk memenuhi kebutuhan, dan rencana untuk mengatasi masalah.

Bersamaan dengan itu, pendidikan berperan sebagai peningkatan potensi individu dan pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai mahluk berbudaya, pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri dan kemudian meningkatkan sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.

Panel diskusi ditutup dengan harapan Anna yang besar untuk adanya harmonisasi regulasi dalam Pendidikan Kepercayaan di sistem pendidikan Indonesia, termasuk substansi hukum, struktur, dan budaya sehingga dapat melanjutkan semangat pendidikan kepercayaan dalam kerangka pendidikan yang inklusif. “Karena pendidikan kepercayaan dapat menjadi sumber pengetahuannya dalam proses pemenuhan potensi diri mereka.” Ujar Anna. (Penulis : Azrina Sabilla/Media Intern-UGM Yogyakarta, Editor : A.K. Perdana)

Tinggalkan komentar