Sekolah (Pasca) Kemerdekaan, Webinar Memperingati HUT RI ke-75

Satunama.org – Pasca kemerdekaan, pendidikan menjadi harapan pembebasan dari penindasan penjajah. Belenggu kebodohan dan ketidakadilan berharap sirna dari bumi Indonesia, berharap semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru. Sehingga bisa belajar dimana saja dan pada siapapun.

Pendidikan hadir tentunya mempunyai visi dan misi untuk mencerdaskan anak bangsa Indonesia, lalu bagaimana keadaan Pendidikan Indonesia pasca kemerdekaan ke-75 tahun ini, apakah semakin bertambah maju atau bahkan harus ada perubahan terkait system pendidikan di Indonesia saat ini.

Untuk menjawab hal tersebut, SATUNAMA menggagas webinar yang bertujuan untuk berdiskusi tentang Sekolah Pasca Kemerdekaan melalui ZOOM dan ditayangkan secara langsung di Youtube Channel Yayasan SATUNAMA Yogyakarta pada hari Selasa (18/8/20), dengan para actor yang berkecimpung di dunia pendidikan dan tentunya komunitas masyarakat sipil.

Pada diskusi ringan kemarin, menghadirkan Zita Wahyu Larasati yang merupakan pendiri Omah Pohon dan seorang pengajar di Jurusan PSdk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM sebagai pembicara pertama dalam diskusi tersebut.

Zita menyampaikan menurutnya “Pendidikan di Indonesia tidak pernah mengarahkan kepada Pendidikan yang humanis. Dengan memetekan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Indonesia, di awali pada tahun 1945 sampai sekarang. Jika pada tahun 1960-an ketika Sarino Mangunpranoto menjadi Menteri Pendidikan dijamannya, di dalam undang-undang yang dibuat dijelaskan, bahwa Pendidikan adalah sebuah proses dimana seseorang menjadi pribadi yang utuh sesuai dengan ciri khas nya sendiri dan pada tingkat SMP-SMA tujuannya adalah untuk menyelesaikan masalah dimasyarakat dan atau menyelesaikan pendidikan selanjutnya, menurut saya ini adalah pandangan yang bagus” ujar Zita.

Kemudian ditambahkan juga bahwa dengan memetakan tiga poin yang menurut Zita itu adalah letak salahnya Pendidikan di Indonesia ialah : pertama, Jika mengacu pada undang-undang Sisdiknas 2003 jelas menurutnya itu tidak sesuai, kedua, Kebijakan wajib belajar 12 tahun yang tidak terlepas dari konsfirasi global, ketiga, pemikiran Freire yang dianggap menolak modernitas. Ketika saat ini Pendidikan di Indonesia merubah sistemnya dari analog ke digital, maka seharusnya negara juga memikirkan terkait pemikiran atau mental warganya dan juga melakukan pemenuhan insfrastruktur pendidikan yang layak” Jelas Zita.

Disambung oleh pembicara kedua yakni Toto Rahardjo yang merupakan Pendiri Sekolah Sanggar Anak Alam, Toto menjelaskan terkait merdeka belajar yang menurutnya itu adalah “sebuah metode, paling banter anak tidak akan merasakan tertekan atau lebih gembira dan lain sebagainya, tetapi bukan merdeka yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantoro”.

Kemudian apa yang terjadi pada pendidikan Indonesia saat ini, “sekarang itu sampai pada puncak Neo-liberalisme yang sudah merasuk diberbagai sendi kehidupan di Indonesia, yang jelas jika kita berbicara Neo-lib urusannya pada ekonomi, ketika Undang-undang 1945 pertama kali di amandemen disitu pula Neo-lib mulai masuk, termasuk undang-undang pendidikan. Regulasi yang ada telah dipengaruhi dengan membawa produk atau undang-undang pro terhadap pasar, yang padahal masyarakat dibawa ke gaya hidup global dan identitas global. Praktiknya negara dan komunitas juga menganut ini, apa solusinya yakni ada pada celah di komunitas dengan mulai berpikir kehidupan sendiri” penjelasan dari Toto Rahardjo.

Menyambung dari penjelasan yang telah disampaikan oleh Zita dan Toto, kemudian William E. Aipipidely selaku Direktur Eksekutif SATUNAMA menambahkan terkait sekolah pasca kemerdekaan dari perspektif masyarakat sipil. “Pendidikan harus mengantarkan semua orang sampai tiba pada ide humanisme atau kemanusiaan, dari titik berangkat inilah menurut saya yang menjadi titik pijak bagaimana pendidikan bisa bertahan pada berbagai macam gempuran, termasuk gempuran ideologi. Dari ide itulah baru bergerak dengan apa yang meraka punya” ujar William.

Pengalaman pendidikan komunitas yang dirasakan William E. Aipipidely, khususnya di SATUNAMA sendiri, pendidikan komunitas yang terjadi ialah dengan metode mengumpulkan elemen-elemen paling penting dari manusia yakni, berkreasi, dan memberi kepada semesta. Pendidikan komunitas juga harusnya didorong pada pendidikan dimana memunculkan ide tentang kemanusian, ide keberpihakan pada kelompok marjinal dan lain sebagainya. Kemudian pendidikan harus tiba pada pribadi yang merdeka dan orang yang bisa melihat ketika terjadi ketidakadilan, ketika terjadi sesuatu, atau tidak menyenangkan dan rasa kemanusian itu akan bersuara.

Dari penjelasan yang telah disampaikan oleh ketiga narasumber, maka dapat disimpulkan bahwa sekolah pasca kemerdekaan dan harapannya akan menghasilkan pendidikan atau belajar yang merdeka ternyata belum final, maka dari itu kita semua baik itu yang berasal dari latarbelakang tenaga pengajar atau pun, pemerintah, masyarakat sipil harus terus mencari harapan untuk melihat sinergi untuk membangun pendidikan Indonesia yang lebih kuat dan itu yang harus terus digelorakan. Hal itu tentu menjadi tanggung jawab bersama baik dari proses maupun implementasi pendidikan.

Webinar Sekolah Pasca Kemerdekaan ini dimoderatori oleh Valerianus B. Jehanu yang merupakan Program Officer di Unit Kebebasan Beragama/Berkepercayaan-InklusiSosial (KBB-IS), Yayasan Satunama Yogyakarta. Kegiatan daring ini diikuti kurang lebih 19 peserta melalui aplikasi Zoom. Webinar tersebut dapat anda simak melalui aplikasi Youtube pada tautan dibawah ini.

https://www.youtube.com/watch?v=MpOuIC66xAo
Penulis : Ade Irma Fauzi (Mahasiswa Magang Ilmu Komunikasi, UTY) | Editor : Bima Sakti

Tinggalkan komentar