Prinsip Resiprokal Penghayat dengan Alam

Satunama.org – Penghayat dan alam merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Ajaran Golongan Si Raja Batak, misalnya menjelaskan bahwa hutan adalah tempat yang sakral dan suci, sementara ajaran Marapu menganggap bahwa tanah adalah ibu, dan bagi Medal Urip alam adalah kitab. Alam bukan hanya soal kepemilikan melainkan juga ikatan emosional yang sangat sifatnya sangat personal.

Alam dihormati dan diperlakukan seperti seorang ibu atau bapak sendiri, karna bumi memiliki sifat keibuan yang terus memberi dan menjamin kehidupan. Pada saat yang sama sifat bapak juga hadir lewat semesta yang terus menjaga kelansungan hidup umat manusia. Pemaknaan yang demikian dalam menjelaskan beberapa praktik mempertahankan alam oleh masyarakat adat atau kepercayaan lokal di banyak daerah.

Ibu Bumi, Bapak Angkasa

“Kedudukan alam bagi penghayat sering diistilahkan dengan ibu bumi, bapak angkoso yang artinya bahwa bumi adalah ibu dan angkasa itu bapak” ujar Noor Sudiyati. Istilah ini memiliki kandungan falsafah bahwa ada etika kesejagatan yang begitu luas dan harus saling menghormati. 

Makna lain yang terkandung dalam istilah ini, bahwa manusia bukan satu- satunya peghuni jagat dan tidak bisa dengan sembarangan menjangkau segaa sesuatu yang ada di alam. Noor menceritakan bahwa dia tetap harus menghargai bumi karena berbagai kebutuhan untuk hidup yang dipenuhi bumi

“Bagaimana saya tidak menghargai bumi, setelah segala ketersediaan yang diberikan oleh bumi” ujar Noor. Bumi bisa dilihat dari berbagai sisi “bumi adalah sebagai ibu” yang memiliki memelihara, memberi, menjaga, dan menyediakan.

Alam Bagi Kepercayaan Menuju Harmonisasi

Konsep ibu bumi dan bapak angkasa dalam istilah yang lain juga ada dalam alam pikiran warga Marapu di Sumba. Argo Twikromo, Antropolog Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjelaskan bahwa di Sumba dapat istilah “ina ama”, yaitu ibu dan bapak.

Keberagaman istilah ini memiliki benang merah keintiman ajaran dan ritus kepercayaan dengan alam semesta. “Bumi sebagai ibu memerlukan bapak, tanpa peran bapak maka tidak ada kesuburan alam, maka dari itu seharusnya dikelola bersama secara harmonis” ujar Argo.

Contoh lain dalam mengelola hidup yang diyakini oleh penghayat misalnya di pesisir ada larangan untuk melaut saat jumat kliwon,hal ini menunjukkan bahwa alam memiliki batas dan tidak bisa dieksploitasi seenaknya.

Bumi itu sangat terkait erat dengan kehidupan manusia di segala penjuru, dan mereka sangat holistik. Bagi para penghayat ketika berbuat dosa maka akan merusak keseluruhan bumi, karena kesalahan manusia ini merupakan wujud dari keserakahan dan kelalaian dalam hidup di bumi.

Relasi antar manusia dengan alam sangat terkait juga dalam media peribadatan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk rumah dan tatanan rumah. Bagaimana dedaunan dan tumbuhan digunakan sebagai media berkomunikasi dengan Sang Pencipta, dan bagaimana hasil hutan selalu disakralkan untuk bermunajat.

Sayangnya, konsep semacam ini seringkali disalah pahami oleh konsep masyarakat modern. Berdoa menggunakan tumbuh- tumbuhan, katakanlah seperti daun kemenyan dan sejenisnya, kerap dipahami sebagai praktik menyimpang yang erat dengan ilmu hitam. Stigma yang demikian tak bisa dilepaskan dari perbedaan cara hidup dan cara memahami.

“Kita perlu belajar saling memahami, tidak hanya di permukaan, tetapi juga melihat konteks ruang dan pemahaman yang beragam satu dan lainnya” ungkap Argo. Tumbuh- tumbuhan, kemenyan dan sejenisnya bagi masyarakat adat dan kepercayaan adalah media yang hidup yang kemudian menjadi sarana dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta. [Puti Ayu/Valerianus Jehanu/SATUNAMA]

Tinggalkan komentar