KRUSIAL Eps #1 : Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur di Indonesia

Dalam sejarahnya sebagai sebuah kelompok warga negara di Indonesia, kelompok agama leluhur mendapatkan beberapa penyebutan nama bagi kelompoknya. Talkshow KRUSIAL SATUNAMA Episode Pertama yang menampilkan Dr. Samsul Maarif dari CRCS dan Makrus Ali, M.A, yang merupakan Program Manager Peduli SATUNAMA telah membedah pasang surut rekognisi ini secara mendalam.

Penyebutan “kebatinan”, “kepercayaan” hingga kini banyak disebut sebagai “agama leluhur” atau “agama lokal” menunjukkan bahwa pasang surut penyebutan terhadap kelompok kepercayaan atau Agama Leluhur ini juga mempengaruhi rekognisi terhadap mereka. Berikut adalah ringkasan sejarah pasang surut rekognisi kelompok agama leluhur di Indonesia yang disarikan dari KRUSIAL Episode Pertama.

Pada masa penjajahan Belanda, Islam dan Adat sudah mulai dibedakan yang kemudian juga mengarah kepada pengelompokan Santri dan Abangan. Peristiwa ini didasari kebijakan pemerintah Belanda yang membedakan kelompok jajahan dan kontestasi sosial pada level masyarakat itu sendiri. Pertentangan ini terus berlanjur hingga kemerdekaan dimana kata “agama” dan “kepercayaan” dimasukkan dalam konstitusi UUD 1945.

Pada tahun 1952, Departemen Agama mendirikan badan khusus untuk melawan gerakan-gerakan keagamaan baru yang dikenal sebagai aliran kepercayaan. Badan ini bernama Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yang diberi wewenang untuk mengawasi eksistensi dan kegiatan kelompok kebatinan.

Pada 1965, muncul UU. No. 1/PNPS/ 1965. Undang-Undang tersebut menjadi alat pengakuan secara de facto pada agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha sebagai agama negara di Indonesia yang semakin memunculkan diskriminasi, kekerasan dan ekslusi sosial atas kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia.

Pada 1965 juga terjadi peristiwa G 30 S. Target utama gerakan ini adalah membungkam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan salah satu alat yang digunakan adalah agama. Di antara narasi yang dibangun adalah jika ada orang yang tidak menjadi pemeluk salah satu agama menurut UU PNPS/1965, maka akan dianggap PKI. Pada masa inilah banyak kaum kebatinan yang ikut menjadi korban.

Orde Baru kemudian muncul pada 1968. Pada masa ini kebatinan mendapatkan wadah dan dukungan dari elit politik dan militer. Tuntutan kelompok kepercayaan untuk dapat diakui oleh negara terwujud lewat TAP MPR RI/MPR/1973 yang menegaskan bahwa kepercayaan dan agama adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sama-sama sah.

Namun karena masih adanya desakan dari kelompok agama yang “diakui” negara, pemerintah akhirnya memilih untuk membangun label baru untuk aliran kepercayaan dengan menyebut bahwa aliran kepercayaan sebagai budaya. Kebijakan politik yang mengakui eksistensi kepercayaan sebagai budaya ini tertuang di dalam TAP MPR RI/MPR/1978.

Bersama UU No 1/PNPS/1965, TAP MPR RI/MPR/1978 kemudian menjadi dasar legalitas pelayanan negara terhadap warga negara, termasuk dalam hal pencatatan sipil seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), perkawinan dan perceraian, tata cara sumpah hingga ke urusan kematian dan pendidikan.

Memasuki era Reformasi, tantangan pengelolaan isu-isu agama, kepercayaaan dan adat dalam konteks baru yang demokratis dan serba terbuka pun muncul. Pada 2004 UU penodaan agama kembali dipertegas lewat UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan secara khusus bahwa status kepercayaan perlu diawasi karena membahayakan masyarakat dan negara.

Momen berikutnya yang cukup penting dalam perjalanan pengakuan eksistensi agama leluhur terjadi ketika Undang-Undang No. 23/2006 tentang administrasi kependudukan diterbitkan. UU No. 23/2006 setidaknya memuat penegasan pengakuan bahwa agama dan kepercayaan adalah dua entitas berbeda namun setara. Melalui Undang-Undang ini, meski statusnya belum diakui, namun setidaknya penganut agama leluhur sudah tidak diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui.

Pada tahun 2009, peninjauan kembali terhadap UU No. 1/PNPS/1965 diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Meski MK menyatakan menolak permohonan para pemohon seluruhnya, namun dalam Putusannya, MK juga menyebutkan bahwa penghayat kepercayaan merupakan kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan kepercayaannya. Putusan ini masih memberikan legitimasi bagi kelompok enam agama yang perlu dijaga kemurniannya sementara kepercayaan tidak diakui, meski tetap boleh dilayani.

Pada November 2016, pasal pengosongan agama pada UU di atas diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan berakhir dengan Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016. Dalam bagian “Pertimbangan Hukum” MK menyebutkan bahwa bagi penghayat kepercayaan dapat mencatatkan dirinya sebagai “penghayat kepercayaan” di KTP maupun KTP elektronik. Dalam amar putusannya, MK juga mengabulkan permohonan seluruhnya dan menyatakan Pasal 61 dan 64 UU No. 23/2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. [Puti/Editor : A.K. Perdana/SATUNAMA]

Tinggalkan komentar