A.E. Priyono: Pelita Pemikiran Aktivis-Intelektual Progresif

Satunama.org – Indonesia kembali kehilangan salah satu intelektual cum aktivis terbaiknya; A.E. Priyono. Aktivisme A.E. Priyono sudah dikenak sejak duduk di bangku kuliah Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogykarta. Pemikiran-pemikirannya banyak tertuang dalam buku yang bertemakan Demokrasi dan Islam Politik di Indonesia. A.E. Priyono meninggal dunia pada hari Minggu, 12 April 2020.

Sesungguhnya saya tidak mengenal Anang Eko Priyono secara pribadi, pertemuan pertama dan terakhir saya dengannya terjadi kira-kira pada akhir Oktober 2019 dalam acara Workhsop Perencanaan Sekolah Politisi Muda (SPM) Yayasan SATUNAMA. Oleh karenanya, saya lebih mengenal tulisan-tulisan atau karya ilmiah dari mendiang A.E. Priyono ketimbang dirinya secara pribadi.

Defisit Demokrasi

Menjadikan Demokrasi Bermakna

A.E. Priyono dikenal sebagai intelektual dan aktivis progresif pro demokrasi, maka tidak heran karya ilmiahnya yang pertama saya baca adalah buku yang berjudul “Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia”, yang ia susun bersama dengan Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist pada tahun 2005.

Dalam buku itu, A.E. Priyono berpendapat bahwa keberhasilan pelaksanaan pemilu serta merta tidak berarti proses demokrasi di Indonesia juga sudah berhasil atau terkonsolidasi. Pada waktu buku itu ditulis (2005), A.E. Priyono belum berani mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah terkonsolidasi, tapi demokrasi  sudah menjadi sistem politik di Indonesia.

Bagi AE Priyono, Demokrasi bukan sekadar cerita tentang kebebasan sipil dan politik, demokratisasi bukanlah sekedar proyek liberalisasi politik. Dalam konteks Indonesia, proyek demokratisasi substansial mempersyaratkan pula perangkat-perangkat instrumental lainnya untuk memajukan misalnya pemerintahan yang konstitusional, rule of law, militer yang tunduk pada supremasi sipil, pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel; peradilan yang bebas dan adil; juga Negara yang responsif terhadap kepentingan publik, serta pengembangan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Namun masalahanya, hanya kebebasan sipil dan politik yang relatif sudah berjalan.Hampir semua instrument demokrasi, dari hak-hak sosial-ekonomi dan rule of law hingga tata pemerintahan dan representasi demokrasi berada dalam kondisi yang buruk dan tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Kondisi seperti ini, disebut oleh A.E. Priyono sebagai “Defisit Demokrasi”.

Gerakan Pro-Demokrasi yang Terisolasi

Sebagai aktivs sosial, A.E. Priyono tentunya menaruh perhatian khusus pada Gerakan Pro Demokrasi di Indonesia.  Dalam bukunya yang disusun bersama Stanley Adi Prasetyo dan Olle Törnquist; “Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto” (2005), A.E. Priyono menganalisa para aktor demokrasi yang masih terisolasi dari wilayah politik, dan kurang memanfaatkan peluang untuk mengorganisasi massa.

Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan  aktivis pro demokrasi terisolasi dari wilayah politik serta kurang  memanfaatkan peluang mengorganisasi massa. Pertama, masih luas dan kuatnya suasana anti-politik di kalangan masyarakat sipil, tak terkecuali pada sebagian besar aktor pro demokrasi. Kedua, terisolasinya aktor pro demokrasi dari wilayah politik tidak dapat dilepaskan dari warisasn yang sulit ditinggalkan dari politik massa mengambang (floating mass politics) yang diterapkan pada massa Rezim Orde Baru. Konsep yang dikenalkan oleh Ali Moertopo ini digunakan untuk mengalihkan perhatian warga Negara dari persoalan politik ke persoalan pembangunan ekonomi (depolitisasi). Keterlibatan warga Negara dalam politik hanya sebatas sebagai pemilih dalam pemilihan umum yang berlangsung lima tahun sekali. Ketiga, masalah yang dihadapi oleh gerkan pro-demokrasi bukan sekedar akibat sejumlah kendala kelembagaan dan structural dari luar diri mereka sendiri, namun juga berasal dari pemikiran dan cara mereka berorganisasi. Misalnya, minimnya pemikiran yang jelas mengenai akar masalah dan solusinya, serta kemampuan mereka dalam mengindentifikasi peluang di tengah berbagai tantangan yang ada. Keempat, persis pada pilihan demokrasi langusng berbasis masyarakat sipil itulah tersimpan masalah-masalah paling esensial dari demokratisasi di Indonesia. Kelima, dengan memilih demokrasi langsung, dan tanpa mengaitkan dengan jalur-jalur lainnya, para aktivis demokrasi cenderung mengabaikan potensi transformasi sumber kekuasaannya menjadi otoritas dan legitimasi melalui prosedur-prosedur resmi di tingkat pemerintahan dan Negara.

Gerakan demokrasi di Indonesia tidak dapat bangkit kembali selama para aktornya tetap mengambang tanpa basis yang kuat dan terorganisir, serta tanpa kapasitas yang memadai  untuk menggunakan  dan memajukan demokrasi. Dalam tulisannya yang berjudul “Para Demokrat yang Mengambang dan Terpinggirkan”, A.E. Priyono merekomendasikan, Pertama; Menetapkan prioritas-prioritas strategis. Gerakan demokrasi harus menentukan sikap apakah para aktivis akan memperjuangkan demokrasi dari pinggiran sebagai kelompok pelengkap, korektif, lobi dan penekan, atau apakah masuk ke wilayah politik dan berbagai jalur strategis yang tersedia secara komprehensif. Kedua, memperluas basis. Upaya perluasan basis guna melengkapi unit-unit masyarakat swakelolo dan wilayah public yang telah lebih dulu ada dapat menjadi kerangka dasar penting untuk berbagi pekerjaan besar dalam rangka membangun wahana dan pakta yang lebih berorientasi politis bagi pembangunan yang bertanggung-jawab secara sosial, sebagai sebuah alternative terhadap resep neo-liberal dan komando Negara (state-ism) yang tidak manjur melawan praktik-praktik simbiosis politik-ekonomi para elit dominan. Ketiga, agenda-agenda tata pemerintahan. Mengembangkan politisasi isu dan berbagai kepentingan utama dan spesifik menjadi serangkaian agenda, platform, dan koordinasi program-program. Selanjutnya gerakan demokrasi harus melembagakan forum-forum publik di berbagai tingkatan untuk mentransformasikan desakan dan tuntutan  menjadi agenda tata pemerintahan. Keempat, struktur dan politik mobilisasi. Selain menentukan agenda, juga harus ada mobilisasi dan organisasi. Jika para aktivis demokrasi ingin mempertahankan relevansi mereka, diperlukan peningkatan pengetahuan dan latihan tentang politik praktis. Untuk menghasilkan perubahan, tidak dapat dielakkan taktik dan strategi, termasuk yang digunakan oleh para aktor konvensional (mainstream) dan para pengikutnya.

Blok Politik Demokratis

Studi yang dilakukan oleh Demos pada 2005 memperlihatkan sejak awal proses demokratisasi pasca Suharto, telah terjadi pembajakan oleh elit terhadap lembaga dan prosedur demokrasi. Berdasarkan situasi itu, ditengarai bahwa demokratisasi di Indonesia berwatak elitis. Robinson dan Hadiz (2004) telah melakukan studi yang menunjukkan bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel.

Untuk mengatasi masalah itu, A.E. Priyono dalam tulisannya yang berjudul “Blok Politik Demokratis”, menyatakan urgensi dipikirkannya  pakta sosial-politik alternatif yang bisa berfungsi di dalam jaringanj-aringan politik yang ada, meningkatkan dan memperluas kapasitas masyarakat untuk memrepresentasikan pandangan-pandangan politik mereka dan memanfaatkan demokrasi untuk menjadikan suara mereka signifikan.

Dalam tulisannya itu, A.E. Priyono menawarkan suatu konsep Blok Politik politik sebagai sebuah alternatif yang memungkinkan fragmentasi sosial-politik untuk membangun kontrol rakyat. Model Politkik tersebut dapat dijelaskan melalui gambar sebagai berikut:

Model Blok Politik

Blok politik sebagaimana tampak pada model di atas merupakan sebuah ruang sosial-politik di mana masyarakat sipil, organisasiorganisasi kerakyatan dan organisasi politik saling terlibat memanfaatkan demokrasi agar menjadi lebih bermakna. Menurut AE Priyono, institusi politik alternative ini memungkinkan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka. Pada sisi yang lain, organisasi politik dapat juga memanfaatkan blok politik untuk menyerap berbagai ragam pandangan, aspirasi, kepentingan dan kebutuhan masyarakat untuk program dan agenda politik mereka.

Hubungan kerja sama ini akan memfasilitasi kelompok prodemokrasi yang sebelumnya mengambang menjadi lebih terhubung dengan masyarakat dengan melabuh mereka ke dalam blok politik, ulas AE Priyono. Blok ini membuka akses masyarakat untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menyalurkan isu-isu mereka dan juga untuk memperluas jaringan dan organisasi, serta untuk mentransformasi konfl ik-konfl ik sektarian, yang pada umumnya ditemukan dalam masyarakat sipil yang terpecahbelah, ke dalam berbagai bentuk aksi yang lebih politis. Blok politik dalam konstelasi politik seperti ini akan berfungsi sebagai kontrol rakyat dan menjadikan suara rakyat signifi kan sebab mereka dapat mengakses dan mengintervensi urusan-urusan publik khususnya dalam merealisasikan hak-hak ekosob mereka.

Blok politik sebagai sebuah ruang sosial-politik diproyeksikan tidak hanya melebarkan landasan formal dan legal kekuasaan masyarakat, tetapi sekaligus mendukung demokrasi-budaya yang akan mengarahkan aksi politik dan kepemerintahan (governmentality) mereka. Menurut AE Priyono, Blok Politik itu berfungsi sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan berbagai kelompok yang lebih luas untuk terlibat secara politik dalam kekuasaan dan kebebasan personal, yang pada gilirannya akan memberdayakan individu-individu untuk mengintervensi urusan-urusan publik melalui kontrol rakyat dan kesetaraan politik. Atas hal-hal straegis tersebutlah kemudian A.E. Priyono merekomendasikan Blok Politik Demokratis

Selamat Jalan Mas AE

Kini A.E. Priyono Sang Aktivis-Intelektual Progresif telah berpulang, namun ide-gagasan dan jejak aktivisme tetap akan menjadi pelita bagi  para aktivis pro-demokrasi dan siapapun yang selalu memperjuangakan demos di dalam wilayah poliitk. A.E. Priyono dan tulisannya akan tetap dikenang dan menjadi suluh dalam sejarah demokratisasi di Indonesia. Jejak-jejak tulisannya dapat dilihat mulai dari Menjadikan Demokrasi Lebih Bermakna, Demokrasi di Atas Pasir, hingga Masa Depan Politik-Islam dan Islamisme di Indonesia.

A.E. Priyono telah bekerja untuk keabadian; “Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer)

[Penulis: Irsad Ade Irawan, Junior Coordinator Program Civilizing Politics for Indonesian Democracy/Sekolah Politisi Muda, Editor: Bima Sakti]

Satu pemikiran pada “A.E. Priyono: Pelita Pemikiran Aktivis-Intelektual Progresif”

  1. RIP A.E. Priyono

    Masih ingat terakhir kali berdebat di Facebook dengan mendiang. Maafkan atas segala kekurangsopanan Saya jika mungkin ada kesalahan ujaran selama berselancar di lautan opini terhadapmu.

    Semoga semakin banyak pemikir progresif yang rela mengorbankan waktu dan energi untuk menyuarakan secara lebih banyak dan efektif ide-ide yang bernas untuk membangun bangsa ini tanpa henti.

    Balas

Tinggalkan komentar