IMB Kantor GKJ Klasis Gunungkidul Tertunda, Momentum Bangkitnya Kelompok Toleran

Agaknya diktum cogito ergo sum, “aku berpikir maka aku ada” yang disuarakan Rene Descartes di tahun 1637  harus sedikit diaransemen dalam konteks hari ini. Ausus ergo sum! Aku berani maka aku ada. Diktum ini dibutuhkan untuk menggerakkan elemen eksistensial manusia selain akal budi, yang tidak lain adalah hati nurani dan kehendak bebas.

Akal budi bisa saja permisif dengan kalkulasi khas alam pikir, berkutat di seputar gagasan. Saya pribadi meyakini bahwa lebih banyak orang Indonesia yang sepakat dengan ide kebhinekaan, sepakat dengan ide keberagaman dan saling menghormati antar umat beriman. Sayangnya, perputaran di dimensi ide itu tidak banyak bekerja ketika dihadapkan pada persoalan konkret.

Tanggapan kelompok toleran terhadap tingkah polah kelompok intoleran, yang sebetulnya juga tidak banyak-banyak amat, cenderung mendiamkan nyaris tidak mau tahu. Sikap ini bergumul dengan rasa takut dan tudingan macam-macam yang berpotensi diterimanya. Lagi-lagi ini pergumulan di area ide.

Hari-hari ini yang kita butuhkan barangkali adalah berani. Ekspresi atas gagasan bhineka perlu diterjemahkan dalam bahasa yang lugas dan tindakan yang spesifik serius. Anda tidak perlu takut sendirian. Kalau anda percaya dengan butterfly effect, satu tindakan kecil menyelamatkan hutan amazon akan ikut menjaga ekosistem makhluk hidup di benua Afrika.

Begitu juga satu suara keberanian di Gunungkidul akan berdampak bagi perdamaian di seluruh dunia. Itu yang sedang kita butuhkan bersama: berani bersuara. Keberanian menyuarakan keberagaman sedang dibutuhkan dimanapun, mulai dari Gunungkidul sampai Timur Tengah.

Jalan Panjang Pendirian Kantor GKJ Klasis Gunungkidul

Kasus yang dialami panitia pendirian Kantor GKJ Klasis Gunungkidul berawal dari terhambatnya perizinan dari Pemerintah setempat. Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu (PMPT) Kabupaten Gunungkidul melalui surat nomor 045.2/057/I/2017 tanggal 17 Januari 2017 menolak permohonan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diajukan Badan Pelaksana GKJ Klasis Gunungkidul.

Sikap ini berbanding terbalik dengan pernyataan bahwa seluruh berkas permohonan pembangunan kantor GKJ Klasis Gunungkidul dinyatakan lengkap pada 25 Juli 2016. Adanya surat penolakan ini serta merta menghentikan proses pendirian Kantor yang sedianya akan difungsikan sebagai tepat administrasi dan sosial budaya dalam pelaksanaan kegiatan harian GKJ Klasis Gunungkidul. Argumentasi yang digunakan oleh Dinas PMPT saat itu adalah masih ada penolakan dari masyarakat.

Atas dasar itulah kemudian pihak GKJ Klasis Gunungkidul menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Hakim PTUN melalui Putusan Nomor 14/G/2017/PTUN.YK tanggal 23 Agustus 2017 menyatakan bahwa surat penolakan penerbitan IMB Kantor Klasis Gunungkidul yang dikeluarkan oleh Dinas PMPT batal dan memerintahkan pada Dinas PMPT Gunungkidul untuk memproses dan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Kantor Klasis yang diajukan oleh Badan Pelaksana Klasis.

Putusan ini kemudian digugat banding oleh Dinas PMPT ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) di Surabaya. Hasilnya, PT TUN melalui Putusan Nomor 205/B/2017/PT.TUN.SBY tanggal 16 Januari 2018 tetap memperkuat Putusan Hakim PTUN sebelumnya. Artinya, Dinas PMPT harus mencabut surat penolakan itu dan segera menerbitkan IMB karena seluruh proses administrasi telah memenuhi syarat dan punya kekuatan hukum tetap.

Dua tahun berselang sejak Putusan PT TUN dikeluarkan, Dinas PMPT tak kunjung mengeluarkan IMB sebagaimana diperintahkan oleh Hakim. Pada sisi yang lain, juga tidak ada upaya hukum lanjutan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Artinya, putusan PT TUN itu telah inkracht, final dan punya kekuatan mengikat. Sekian lama tak ada kejelasan yang menghampiri, sebenarnya Pihak GKJ Klasis dapat terus melakukan pembangunan tanpa menunggu IMB terbit.

Hal ini didasari dalam Hukum Administrasi Negara berlaku asas fiktif positif, yaitu dalam hal permohonan tidak ditindaklanjuti dengan keputusan atau tindakan pemerintahan maka dianggap dikabulkan secara hukum. Namun, pihak GKJ Klasis urung melakukannya dengan berbagai pertimbangan.

Tertundanya IMB mengantar pihak GKJ Klasis Gunungkidul untuk beraudiensi dengan Dinas PMPT Gunungkidul pada Rabu, 5 Februari 2020. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bahwa Dinas PMPT akan menaati Putusan Pengadilan dan menerbitkan IMB Kantor Klasis dalam waktu dekat. Komitmen tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas PMPT dan jajarannya yang hadir dalam audiensi tersebut.

Diakui Dinas PMPT, pertimbangan mengapa IMB belum juga dikeluarkan adalah masih adanya penolakan dari warga. Selain itu juga ada kewajiban bagi Pihak Klasis untuk melakukan sosialisasi ke warga terkait rencana pendirian kantor, sesuatu yang idealnya adalah bagian dari pelayanan publik yang ada pada pemerintah daerah.

Dari Persekusi Langsung ke Identitas Warga

Menggunakan argumentasi “penolakan dari warga” tentu akan berdampak pada hitung-hitungan keamanan. Logika inilah yang diadaptasi oleh sekian banyak aparat pemerintahan dan penegak hukum. Ada persoalan keamanan dan ketertiban umum, sehingga sah menunda perbuatan yang sejatinya benar menurut hukum.

Pola ini mempertegas bahwa validitas normatif saja tidak cukup untuk meraih tindakan yang adil. Kita boleh saja memahami bahwa psikologis birokrasi sering demikian. Apalagi kalau sudah bersinggungan dengan urusan agama. Ketegasan berjumpa dengan tantangan dituding tidak berpihak pada mayoritas, ekstremnya bahkan dituding sebagai musuh agama.

Identitas warga hari-hari ini sering menghiasi pemberitaan intoleransi. Kasus penolakan Pak Slamet di Pleret, kasus di Mangir, hingga kini yang terjadi di desa Grogol I, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul. Beberapa orang yang menggelar aksi penolakan menyebut identitas warga sebagai benteng kompromi terhadap toleransi. Maka menjadi pertanyaan, siapa yang sebenarnya dimaksud sebagai warga?

Konsep kewargaan mengenal prinsip keberagaman. Identitas warga adalah identitas kolektif yang sarat perbedaan. Beda secara fisik, beda suku, beda agama, dan banyak beda lainnya. Konsepsi kewargaan kita, apalagi di Jogja atau Indonesia pada umumnya adalah konsep multi identitas, bukan sebaliknya. Kesadaran kritis warga harus dipantik untuk meragukan setidaknya dua pertanyaan: apa iya kita tidak toleran? dan yang kedua, sejak kapan warga kita tidak toleran?

Dua pertanyaan itu seperti bintan penuntun yang membawa kita pada satu kesadaran kolektif bahwa ada lebih banyak yang toleran di sekitar kita. Sekian banyak orang yang tidak toleran adalah segelintir saja dari warga. Mereka lebih tepat disebut “kelompok”, karena kelompok memang punya ciri homogen. Pergeseran inilah yang kini mewabah-menjangkit di Indonesia. Kelompok-kelompok kecil yang menjadi proxy intoleran telah melakukan klaim atas identitas kolektif.

Jika dirunut, gejala ini terbilang baru. Dulu kasus-kasus intoleransi yang terjadi selalu vis a vis. Kelompok dominan berhadapan dengan kelompok minoritas. Penolakan dilakukan dengan identitas kelompok. Persekusi juga demikian. Saat ini, kelompok telah beralih strategi. Mereka menggunakan identitas “warga” dan menjumput satu dua warga sebagai bagian dari mereka. Selebihnya tidak terlalu signifikan. Hanya butuh beberapa warga berpengaruh saja untuk menyebut diri sebagai “warga”.

Momentum Bagi Kelompok Toleran

Populasi yang sebenarnya lebih banyak ini harus mengambil alih konsep kewargaan. Merekalah yang harus bersuara. Jangan didiamkan. Semakin diam, maka birokrasi dan penegak hukum semakin takut. Tak perlu khawatir karena satu suara berani adalah penggerak bagi suara-suara lainnya. Mendukung Dinas PMPT Gunungkidul untuk berani mengeluarkan IMB, mendukung Kepolisian, dan mendukung Pemerintahan Daerah mutlak disuarakan.

Mereka semua butuh dukungan, mereka semua butuh stigmata bahwa lebih banyak warga toleran di Gunungkidul, pun juga di tempat-tempat lainnya. Selebihnya keberanian menyuarakan toleransi dan keberagaman akan menuntun kita pada konsep kewargaan yang civilized (bermartabat). Di sanalah ada peradaban yang saling menghormati antar manusia, saling berkembang, dan saling mendukung. Agaknya itu prasyarat bagi kita semua untuk hidup lebih lama lagi.

  • Valerianus B. Jehanu
  • Staf Unit Kebebasan Beragama Berkepercayaan dan Inklusi Sosial
  • Yayasan SATUNAMA
  • Mahasiswa Program Magister Hukum
  • Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tinggalkan komentar