PUANHAYATI : Dari Kemandirian Hingga Kontribusi Bagi Indonesia

Perempuan punya peran signifikan dalam peradaban umat manusia. Maka menguatkan peran perempuan adalah bagian dari menjaga eksistensi peradaban. Tak terkecuali bagi perempuan penghayat. Pengalaman diskriminasi bertahun-tahun membuat PUANHAYATI punya rona kegelisahan kolektif yang cukup serius.

Mereka gelisah dengan masa depan anak-anaknya, gelisah dengan keberlanjutan kepercayaannya, gelisah tidak diterima karena identitas, dan lain sebagainya. Lapisan kegelisahan inilah yang membawa PUANHAYATI berdiri, punya kemauan untuk ambil bagian dalam perjuangan menggapai kesetaraan.

Diksi berjuang juga diksi perempuan. Premis ini menjadi latar SATUNAMA untuk berkolaborasi dengan PUANHAYATI mengadakan kegiatan “Pelatihan Penguatan Organisasi Puan Hayati”. Sebagai organisasi perempuan yang terbilang baru, PUANHAYATI punya peran strategis untuk menjadi mitra MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) dalam mengawal dinamika pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan di Indonesia. Tema seperti regenerasi, anak muda, dan kemandirian perempuan menjadi mandat yang diambil oleh PUANHAYATI.

Selama tiga hari pelatihan, 22 (dua puluh dua) perempuan perwakilan PUANHAYATI dari Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Barat akan berproses mendalami tema-tema serius seperti masyarakat sipil dan refleksinya, HAM dan Demokrasi,

Globalisasi, Analisa Gender, Kepemimpinan dan Penanganan Konflik Sosial. Tema ini dipilih berbasis kebutuhan, yang pada akhirnya diharapkan dapat menggugah komitmen peserta untuk bergerak kolektif menjadi pelopor bagi Indonesia yang setara semartabat.

Gradasi Harapan Bersama

Pada awal proses pelatihan, fasilitator Valerianus B. Jehanu mengajak masing-masing peserta menggambar harapannya dalam selembar kertas. Proses ini bermaksud mengajak peserta berimajinasi tentang apa mimpinya melalui PUANHAYATI.

Ade Sri Hayati, pengurus PUANHAYATI Jawa Timur, dalam kesempatan ini menggambar pemandangan gunung lengkap dengan jalan yang rapi dan kuat. Refleksi Ade, PUANHAYATI mampu menjadi jalan bagi perdamaian, menjadi penghubung bagi dunia yang lebih baik. Apa yang disampaikan Ade menunjukkan harapan besar bagi dunia.

Gradasi harapan makin terlihat ketika Sarwati Dewi, Ketua PUANHAYATI Kota Semarang, lewat gambarnya membagi cerita bagaimana dirinya keluar dari urusan domestik, menjadi lebih percaya diri untuk mendiskusikan peluang kemandirian sebagai perempuan. Cerita Sarwati selaras dengan pengalaman yang dibagi Sukma Dewi Nawang Wulan. Menurut Dewi, perempuan harus berdaya, mandiri dan punya daya tahan dalam memastikan keberlangsungan generasi muda penghayat.

Sementara Dian Jennie, Ketua Pengurus Pusat PUANHAYATI dalam kesempatan perkenalan juga menyinggung bahwa kegiatan ini harus diteruskan di masing-masing wilayah. Perempuan asal Surabaya ini menambahkan bahwa pengalaman di SATUNAMA dapat digunakan untuk memperbanyak pelopor kesetaraan dari perempuan penghayat di level lokal.

Elaborasi cerita yang disampaikan oleh seluruh peserta menunjukkan intensi besar di level individu. Mulai perhatian pada soal kemandirian perempuan, kesetaraan dengan umat beragama lain di Indonesia, dan konstribusi perempuan penghayat bagi Indonesia yang lebih inklusif. Serangkaian harapan ini, menurut Tince Sitorus, pengurus PUANHAYATI Sumatera Utara harus disertai dengan semangat belajar terus menerus.

Dalam ceritanya, Tince melukiskan bagaimana di awal dirinya ragu dan tidak percaya diri ketika harus bicara di ruang publik mewakili penghayat kepercayaan. Keraguan itu akhirnya digerus dengan semangat terbuka untuk belajar. Undangan untuk hadir di ruang publik dimaknai Tince sebagai kesempatan untuk mempromosikan kesetaraan sekaligus pengembangan diri.

Menjadi berkembang dalam konteks ini sangat berkait dengan preferensi. Kegiatan ini oleh SATUNAMA juga didesain untuk memperluas preferensi antar peserta. Pengalaman satu orang akan menjadi inspirasi bagi yang lain. Mengutip Arjun Appadurai (1004), kemampuan individu akan sangat ditentukan oleh orang yang dilihat dan menjadi preferensinya.

Kelompok yang tereksklusi ketika melihat orang lain di sekitarnya tampil di tingkat rendah, mereka akan menetapkan ambang yang jauh lebih rendah bagi dirinya meski sesungguhnya memiliki kemampuan lebih tinggi. Selain itu, mereka juga menginternalisasi eksklusi dengan tidak mau bersusah payah untuk mencapai hasil yang baik karena mengetahui kelompoknya akan kembali mengalami diskriminasi.

Memperluas preferensi dalam kegiatan ini juga akan dilakukan dengan kunjungan ke organisasi perempuan lain di Yogyakarta. Harapannya, pengalaman ini akan membantu PUANHAYATI merumuskan ambang preferensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. [Berita & Foto: Valerianus B Jehanu]

2 pemikiran pada “PUANHAYATI : Dari Kemandirian Hingga Kontribusi Bagi Indonesia”

Tinggalkan komentar