Kewargaan yang Tidak Dibedakan, Keistimewaan Kebangsaan Indonesia

Prof. Robert W. Hefner
(Keynote Speaker The First International Conference on Indigenous Religions)
Kewargaan yang Tidak Dibedakan, Keistimewaan Kebangsaan Indonesia

Satunama.org“Putusan MK itu mencerminkan sebuah tafsiran kembali dan juga tafsiran yang dalam tentang prinsip-prinsip pendiri Republik Indonesia. Prinsip-prinsip yang mempunyai makna dan keindahan tersendiri. Dan di tengah-tengah prinsip-prinsip tersebut ada pengakuan bagi sesame warga negara sebagai manusia yang tidak hanya setara secara formil namun juga setara dalam martabatnya.”

Rangkaian kalimat di atas merupakan bagian dari pidato utama Prof. Robert W. Hefner, antropolog dari Culture, Religion and World Affair Boston University, Amerika Serikat yang menjadi keynote speaker dalam perhelatan The First International Conference on Indigenous Religions, Senin-Rabu, 1-3 Juli 2019 di Gadjah Mada University Club Hotel, Yogyakarta.

Prof. Hefner menggarisbawahi bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 yang telah memungkinkan masyarakat penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur untuk mencantumkan “kepercayaan” dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan oleh negara.

Putusan MK dilihat sebagai hasil dari kolaborasi kerja para komunitas penghayat kepercayaan dan agama leluhur serta seluruh pihak yang terkait seperti organisasi masyarakat sipil dan akademisi, aktivis dan berbagai pihak yang peduli dengan isu penghayat kepercayaan dan agama leluhur. Meski demikian, Prof. Hefner juga mengatakan bahwa capaian itu bukanlah sebuah proses instan.

Putusan MK 97/2016 Bukan Proses Instan

Sebelumnya, UU No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 Tentang UU Administrasi Kependudukan telah mengatur tentang pengosongan kolom agama dalam KK dan KTP. Kini, Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 pun menjadi langkah awal bagi penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan Putusan tersebut.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak organisasi masyarakat sipil, para aktivis, akademisi serta komunitas penghayat kepercayaan dan agama leluhur yang merupakan kontribusi tak terpisahkan dari munculnya Putusan MK No. 97/2016. Prof. Hefner menyebutnya sebagai sebuah hasil dari pelayanan sosial dan advokasi sosial yang sudah lama berjalan dan mengakar dalam kebudayaan dan etika politik bangsa Indonesia era Reformasi.

“Advokasi dan pelayanan itu mencerminkan kultur etika dan kewargaan yang berdasar pada prinsip dari Pancasila dan UUD 1945. Kedua landasan etika kenegaraan dan kewargaan ini berhasil diterapkan secara dalam dan setara untuk masyarakat yang selama ini belum sempat menikmati keindahannya.”. Demikian yang diucapkan oleh  Prof. Hefner.

Aspek kenegaraan dan kewargaan tersebut juga yang selama ini menjadi landasan kerja inklusif bagi munculnya kebijakan-kebijakan yang menjamin terpenuhinya hak-hak bagi masyarakat penghayat kepercayaan dan agama leluhur, serta upaya-upaya berkelanjutan bagi terajutnya relasi sosial kultural politis yang tidak lagi bernuansa diskriminatif. Sebuah landasan bagi kolaborasi kerja yang selalu memberikan harapan di tengah berbagai tantangan yang ada.

Tantangan Kewargaan Inklusif

Dalam sejarahnya, cita-cita untuk menuju demokrasi yang bermakna tunggal sebagai sarana membangun dan mewujudkan Indonesia yang memberikan akses terhadap hak-hak bagi warga negaranya dalam pengakuan yang formil sekaligus bermartabat tidak pernah tidak mendapat tantangan pembelajaran. Gagasan kewargaan non diferensiasi tidak selalu mudah diterima secara bulat dan justru memunculkan politik dengan nilai-nilai mayoritas dan minoritas berdasarkan kesukuan, agama dan sebagainya.

Dewasa ini fenomena tersebut seolah muncul kembali dalam beberapa gerakan sosial yang menghendaki adanya komunitas mayoritas yang seolah memiliki hak lebih luas atas sesama warga negara lainnya. Hal ini sebenarnya tidak hanya muncul di Indonesia saja. Namun juga muncul di berbagai negara sebagai sebuah perkembangan ironis nan buruk dari politik dan demokrasi modern.

Kita dapat melihat misalnya di India dengan gerakan Hindutva atau di Myanmar dengan penduduk Rohingya yang mengalami diskriminasi akibat agama Islam yang dianutnya. Prof. Hefner bahkan menyebutkan bahwa fenomena tersebut juga terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang selama 200 tahun lebih membayangkan dirinya sebagai sebuah negara yang demokratis.

“Amerika Serikat kini mengalami populisme nativist dan eksklusif. Ada tuntutan agar kelompok mayoritas diberikan supremasi atas orang-orang berbeda suku, rasa atau ciri sosial yang lain agar mereka dapat disebut sebagai golongan minoritas dan diberikan kewargaan yang kurang lengkap dibandingkan mereka yang digolongkan sebagai mayoritas.”. Ungkap Prof. Hefner seraya menjelaskan bahwa mayoritarianisme bukan berakar dari sikap sentimen, melainkan dari penolakan terhadap idealisme kewargaan inklusif dan setara sebagai landasan dari kehidupan demokratis.

Oleh karenanya, secara struktural Putusan MK No. 97/2016 dianggap sebagai interpretasi mendalam atas prinsip-prinsip utama negara Indonesia. Putusan MK merupakan sebuah konvergensi berbagai sektor dan pihak menuju realisasi nilai-nilai demokratis ala Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Idealisme Kebangsaan dan Imagined Indonesia

Gagasan kewargaan non diferensiasi atau kewargaan setara yang menjadi inti dari kedua prinsip negara tersebut memang memiliki tantangan besar. Sikap penolakan terhadap kewargaaan inklusif yang menjadi akar berkembangnya mayoritarianisme harus dihadapi dengan bekal kekuatan idealisme kebangsaan yang berporos pada kerjasama advokasi.

Keistimewaan kebangsaan Indonesia terletak dalam realitas bahwa sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community) itu tidak berangkat dari etnisitas atau kelokalan yang homogen seperti yang terjadi di sebagian besar imagined communities Eropa Barat. Keistimewaan kebangsaan Indonesia justru terletak pada kebhinekaan yang dikelola bersama dalam pengakuan sosial yang setara.

Jurang antara cita-cita dan norma yang dimuliakan tersebut dengan realitasnya yang belum terwujud merupakan sebuah sumber idealisme kebangsaan yang dapat menjadi dorongan bagi seluruh elemen bangsa dan negara untuk terus memperjuangkan perwujudan Indonesia yang dibayangkan sebagai sebuah rumah yang dapat menerima dan merangkul seluruh warga negara tanpa kecuali.

Sinergi berbagai pihak –yang selama ini sudah dilakukan- tentu terus dibutuhkan bagi terealisasinya cita-cita tersebut di tengah-tengah kritik yang pasti muncul dan juga tantangan-tantangan yang menghadang. “Langkah-langkah itu adalah bagian dari kemajuan dan pendewasaan signifikan dalam upaya-upaya mewujudkan inklusifitas kebangsaan Indonesia dan demokrasinya. Perjalanan itu kini menjadi lebih indah karena telah mengikutsertakan warga penghayat, masyarakat adat dan warga agama leluhur. Kita semua adalah anggota setara dalam perjalanan indah yang berdasarkan sekaligus berusaha menuju kebangsaan dan kewargaan Indonesia yang setara.” Demikian yang disebutkan Prof. Robert W. Hefner di akhir pidatonya dalam The First International Conference on Indigenous Religions. (A.K.P/SATUNAMA)

Tinggalkan komentar