The First International Conference on Indigenous Religions, Rumah Bersama untuk Indonesia Inklusif

Satunama.org – Yayasan SATUNAMA, CRCS UGM dan Komnas Perempuan menghelat sebuah konferensi internasional bertajuk The First International Conference on Indigenous Religions. Konferensi yang bertitik tekan pada peran negara, agama leluhur dan kewargaan inklusif ini diadakan di Gadjah Mada University Club Hotel Yogyakarta pada Senin – Rabu, 1-3 Juli 2019.

Tidak kurang dari 48 paper dari 62 penulis dipresentasikan dalam konferensi ini. Terbagi dalam 10 panel diskusi selama dua hari, seluruh paper mendapat respon konstruktif dari para partisipan konferensi dari berbagai negara yang terdiri dari kelompok penghayat kepercayaan atau agama leluhur, aktivis, akademisi, pemerintah hingga masyarakat umum yang tertarik dengan perkembangan isu agama leluhur atau penghayat kepercayaan di Indonesia.

Secara umum, konferensi ini diadakan untuk mengelaborasi segala hal dan fenomena yang terkait dengan keberadaan penghayat kepercayaan atau agama leluhur di Indonesia, khususnya paska keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/2016 yang telah memberikan kesempatan bagi penghayat kepercayaan dan agama leluhur mencantumkan identitas “kepercayaan” di kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Putusan MK No.97/2016 dan Perkembangan Implementasinya

Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/2016 dianggap sebagai sebuah langkah inklusif sekaligus kemajuan signifikan dalam hal rekognisi kelompok penghayat dan agama leluhur. Dalam sejarahnya, kelompok warga negara ini tidak pernah mendapatkan pengakuan secara penuh. Kepercayaannya tidak diakui secara legal dan diminta untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara.

Lebih jauh, kepercayaan atau agama leluhur lebih dianggap sebagai bagian dari budaya dan bukan sebagai agama. Kondisi ini menimbulkan kesulitan bagi penghayat dan penganut agama leluhur untuk dapat meraih palayanan penuh sebagai warga negara. Di sisi lain, mereka juga tidak lepas dari sigma negatif yang kerap mampir kepada diri dan kelompoknya.

Munculnya Putusan MK No. 97/2016 telah menjadi dasar untuk mengakhiri diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan dan agama leluhur. Dapat dikatakan bahwa keberadaan kelompok penghayat dan agama leluhur kini telah mendapatkan pengakuan penuh sebagai warga negara Indonesia secara hukum.

Prof. Robert W. Hefner sebagai keynote speaker dalam konferensi ini menyebutkan bahwa Putusan MK No.97/2016 merupakan interpretasi dalam atas prinsip-prinsip pendiri negara Republik Indonesia. “Prinsip-prinsip itu mempunyai makna dan keindahan tersendiri. Dan di tengah-tengah prinsip-prinsip tersebut ada pengakuan bagi sesama warga negara sebagai manusia yang tidak hanya setara secara formil namun juga setara dalam martabatnya.” Ujar Prof. Hefner dalam pidatonya.

Meski demikian, perkembangan yang ada juga bukannya tanpa tantangan. Meski respon yang mendukung Putusan MK No. 97/2016 bermunculan, namun respon bernuansa menentang juga ada yang cenderung menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama sehingga tidak pas jika diakomodir dalam KTP.

Pemerintah dalam hal ini Kemendagri kemudian memutuskan bahwa KTP untuk penghayat kepercayaan dipisahkan dari KTP untuk agama. Hal ini menimbulkan respon yang berbeda–beda dari kelompok penghayat kepercayaan dan agama leluhur. Ada yang memilih menuliskan “kepercayaan” di KTP, ada yang menjadi anggota organisasi penghayat/agama leluhur namun masih mengadopsi agama yang diakui negara, dan ada yang tidak menjadi anggota organisasi kepercayaan/agama leluhur.

Perkembangan tersebut yang coba direspon dalam The First International Conference on Indigenous Religions. Melalui diskusi-diskusi dan diseminasi hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak, muncul berbagai ide, perspektif dan usulan strategi advokasi yang beragam. Konferensi ini juga dimaksudkan untuk menginisiasi jejaring yang lebih kuat antar semua pihak yang memiliki perhatian terhadap isu penghayat kepercayaan dan agama leluhur.

Rumah Bersama Isu Penghayat Kepercayaan dan Agama Leluhur

Dari puluhan makalah yang telah dipresentasikan dalam konferensi, nampak beberapa hal yang menjadi pokok pikir utama. Antara lain bahwa hingga saat ini rekognisi atau pengakuan terhadap kelompok penghayat kepercayaan dan agama leluhur masih membutuhkan upaya advokasi lebih optimal dalam sektor kebijakan, pelayanan warga dan penerimaan sosial. Membangun perspektif bersama tentang penghayat kepercayaan dan agama leluhur sebagai warga negara yang juga memiliki hak yang sama menjadi salah satu titik tekan konferensi ini.

Oleh karenanya, makalah-makalah yang telah dipresentasikan menjadi dasar pengetahuan yang bersifat multi sektor terkait dengan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan dan agama leluhur. Pengetahuan yang muncul juga menjadi dasar pemahaman terhadap nilai-nilai inklusi bagi berbagai pihak yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi penghayat kepercayaan dan agama leluhur.

Signifikansi data dan pengetahuan juga menjadi penting sebagai bukti dalam kerja-kerja advokasi. Berbagi pengetahuan juga dapat memperkuat strategi problem solving yang ada dalam dinamika isu penghayat kepercayaan atau agama leluhur.

“Makalah-makalah ini akan menjadi basis pengetahuan bersama, sehingga kita akan tahu sampai di mana perkembangan isu ini dan bisa menindaklanjuti sesuai perkembangan. Tidak perlu harus mengulang-ulang kembali atau hanya berputar-putar di satu titik saja.” Demikian disampaikan Dr. Syamsul Maarif dari CRCS – UGM jelang penutupan konferensi.

Pada akhirnya, konferensi ini dapat disebut sebagai inisiasi bagi terbangunnya rumah bersama bagi elaborasi dan pembelajaran berbagai dinamika perkembangan dan potensi kelompok penghayat kepercayaan dan agama leluhur sebagai bagian dari negara.

Kebutuhan akan sebuah rumah bersama dimaksudkan sebagai wadah bagi berbagai pemangku kepentingan untuk dapat terus mendiskusikan dan merealisasikan berbagai hal secara berkelanjutan dalam upaya pengakuan, penerimaan dan pelibatan penuh warga penghayat kepercayaan dan agama leluhur sebagai warga negara Indonesia dalam pembangunan yang berkelanjutan. (AKP/SATUNAMA).

Tinggalkan komentar