Merayakan Keberagaman Nilai Tradisi Nusantara di Festival Kearifan Lokal

Satunama.org – Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam nuansa yang harmonis dan koeksistensi selama rentang waktu yang panjang. Pelbagai kajian menyebut bahwa kemajemukan bangsa Indonesia merupakan pengalaman empirik yang otentik. Clifford Gertz misalnya menyebut Indonesia tidak hanya multi etnis, namun juga sebagai sejumlah “bangsa” dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, dan religius yang menyatu dalam struktur ekonomis dan politis bersama.

Diantara bagian dari kebudayaan adalah kearifan lokal yang didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup yang mengakomodasi kebijakan dan kearifan hidup. Manifestasi dari kearifan lokal beragam bentuknya, bisa berupa ide, nilai, gagasan, norma, pola prilaku atau hal-hal yang merujuk pada material seperti artefak dan benda hasil budaya. Salah satu sumber kearifan lokal disumbang dari sistem religi. Manusia Indonsesia yag kompleks melahirkan sistem religi ataupun kepercayaan yang beraneka ragam, terlepas dari agama-agama samawi yang hadir kemudian di Nusantara. Kepercayaan nusantara atau boleh kita sebut sebagai agama leluhur menurut data Kemendibud tercatat sejumlah 188 kelompok.

Keberadaan agama leluhur/penghayat kepercayaan merupakan bagian dari kekayaan intelektual, kultural maupun spiritual harusnya dipahami sebagai aset bangsa yang patut disyukuri. Agama leluhur memiliki kearifan lokal yang syarat dengan nilai dan tradisi. Salah satu contohnya masyarakat Marapu di Sumba memiliki keyakinan bahwa manusia yang masih hidup berkewajiban menjaga relasi dengan arwah lelihurnya. Mereka percaya bahwa para leluhur selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang berani melanggar Ina nuku Ama hara (hukum dan aturan) sehingga relasi manusia dan alam harus harmonis.

Contoh lainnya adalah Sipaha Lima yakni upacara rasa syukur Parmalim yang diwujudkan dalam serangkaian ritual diantaranya menyerahkan seserahan hasil panen kepada Tuhan diiringi tabuhan musik gondang sabangungan, sementara peserta ritual melakukan manortor. Dua permisalan ini meneguhkan eksistensi agama leluhur/penghayat kepercayaan sebagai kelompok masyarakat yang bisa diandalkan dalam memertahankan kearifan lokal.

Sayangnya selama ini para penganut agama leluhur mengalami diskirminasi maupun stigmatisasi. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami pengalamanpengalaman buruk yang berdampak terhadap akses layanan. Tidak mendapatkan layanan identitas, seperti KK/KTP, akses penidikan atau akses bantuan ekonomi. Namun demikian tahun lalu merupakan peristiwa yang besar dan momen bersejarah bagi seluruh penghayat kepercayaan di Indonesia. Tepatnya tanggal 7 Nopember 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permintaan pemohon, Nggay Mehang Tana (Marapu), Pagar Demanra Sirait (Parmalim), Arnol Purba (Ugamo Bangsa Batak) dan Carlim (Sapto Darma) dalam Uji Materi UU Adminduk no 24 tahun 2013 tentang pengosongan kolom agama di KK dan KTP. Putusan MK no. 97/2016 menjadi pintu masuk bagi pemulihan hak, harkat dan martabat penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas maka kami menyelenggarakan Festival Kearifan Lokal dengan tema “Merayakan Keberagaman Nilai dan Tradisi Nusantara”. Festival ini akan mengundang perwakilan dari penghayat kepercayaan yang menjadi dampingan SATUNAMA dan CSO dalam Program PEDULI, juga melibatkan beberapa penghayat kepercayaan yang lain. Kami berharap selain menjadi momentum perayaan bagi penghayat kepercayaan, ajang cross learning juga menjadi bagian dari kampanye Inklusi.

Tanggal : 25 – 31 Juli 2018
Tempat : Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. [ Goolge Maps https://goo.gl/maps/vpSqdXfNS232 ]

Festival Kearifan Lokal

 

Tinggalkan komentar