Rindu Sosok Sudirman

Di tengah gaduhnya suara miring ikhwal kepemimpinan politik kaum muda yang banyak berkelindan dengan korupsi, nilai-nilai kepahlawanan zaman pra kemerdekaan patut menjadi sumur inspirasi untuk memperbaiki kelakuan sekaligus menghadirkan bibit keutamaan pahlawan masa kini. Sudirman, Sang Jenderal Besar, layak diapungkan sebagai sumur pembelajaran kepemimpinan muda di aras militer dan sipil.

Dalam salah satu event training yang diselenggarakan KAS Jerman dan LSM SATUNAMA, bertajuk Civic Education for Future Indonesian Leaders, para pemimpin muda di organisasi masyarakat sipil mencoba mendiskusikan kepahlawana Jenderal Sudirman dengan keutamaan-keutamaan kepemimpinnya yang dapat dipakai untuk memperkuat gaya, cara dan pola kepemimpinan di masyarakat sipil.

Dikotomi kepemimpinan sipil dan militer pasca jatuhnya Soeharto, sejatinya menutup ruang-ruang belajar, ruang-ruang interaksi dan ruang sintesa-antitesa bagi kepemimpinan sipil dalam mendalami, mendedah, dan menggugat pola kepemimpinan para pahlawan dan pemimpin masa lalu.

Keutamaan Sudirman
Sejarahwan LIPI, Aswi Warman Adam (2011), menulis artikel menarik, Siapa Memanfaatkan Sudirman? Ia manyajikan data dan analisis, banyak pemimpin kita yang lebih memanfatkan para pahlawan dari pada menggugu kepahlawananya. Padahal keutamaan kepemimpinan merekalah yang sejatinya sumber inspirasi dalam mengayuh kapal kepemimpinan.

Ada beberapa catatan menarik soal keutamaan Jenderal Besar Sudirman yang dapat dipakai bagi kepemimpian sipil. Pertama, Sikap Pluralisme dan Toleransi. Mengutip Paul Stange, 2009, Sudirman tercatat menghadiri pertemuan kebatinan Sumarah. Aliran kepercayaan ini pada masa revolusi kelompok, cukup banyak kalangan tentara yang dipercayai akan memperoleh kekebalan atau tidak kelihatan musuh. Padahal, Sudirman dikenal sebagai aktivis Muhamadiyah dan kepanduan Hizbul Wathan. Ini menunjukan sikap Sudirman yang toleran walau berbeda dengan dirinya. Begitu pula ketika ia menderita sakit TBC dan dirawat di RS Panti Rapih, sebagai tanda terima kasihnya, Sudirman menulis puisi: Rumah Nan Bahagia. Sikap seperti ini amat langka kita temukan saat ini, manakala seseorang berbeda secara idiologi dan agama. Kedua, Mental tidak mudah menyerah. Sudirman menjalani perjuangan memimpin tentara rakyat melalui perang gerilya dengan satu paru-paru. Penyakit TBC yang diidapnya tak sedikitpun menurutkan semangatnya memimpin gerilya. Dengan naik tandu yang diusung secara bergantian oleh penduduk dan tentara, ia terus memimpin perjuangan. Pendirian yang seperti ini makin langka kita temukan. Ketiga, Menjual harta untuk membiayai perjuangan. Jenderal Sudirman menjual perhiasan emas istrinya untuk membekali perang gerilya yang ia pimpin. Keempat, Usia muda tak mengahalangi dirinya menjadi pemimpin yang patut diteladani. Pada usia 29 tahun, ia telah menjadi Penglima TKR. Posisi komandan ia raih dengan bukti kemampuan leadershipnya yakni mengusir pasukan sekutu melalui strategi “Supit Urang” sebuah startegi yang menjepit musuh dari dua sisi kala perang di Ambarawa.
Keutamaan yang ia persembahkan bagi bangsa ini melintasi sekat dan dikotomi pemimpin militer dan sipil. Bisakah generasi ini mengambil saripati keteladanan kepahlawannya? Ataukah sejarah kembali mencatat, kita pandai memanfatkan nama para pahlawan demi kelangengan kekuasaan?

Pemimpin Kini
Nazarudin telah menjadi ikon pemimpin politik muda masa kini yang mencoreng sepak terjang pemimpin sipil kaum muda. Padahal tidak semua pemimpin muda seperti ini. Stigma yang terlanjur lekat, walaupun realitas terkini tak dapat kita bantah di mana banyak pemimpin politik muda yang tergelincir kasus korupsi. Namun, masih ada segelintir orang muda yang berjuang dengan idealism dan keutamaan. Banyak nama yang patut diangkat. Kita bisa menyebut, Budiman Sujatmiko, politisi PDIP, peraih dua gelar Master di Inggris misalnya, ia meraih kursi dewan di Senayan bukan dengan modal uang dan begundalisme. Ia membuktikan, bahwa idealism, gagasan dan integritas diri masih laku di masyarakat.

Dalam skala yang lebih local, kala even training seperti tertulis di atas, Sunhiyah, seorang aktivis perempuan di Sumenap, Madura, berkisah, ia harus mengorbankan biaya susu anaknya demi membantu komunitas ibu-ibu yang ia berdayakan. Ia bercerita dengan linangan air mata, bagaimana dilemma sebagai pemimpin, kadang hanya dibatasi oleh dinding tipis ego diri atau penyerahan diri. Pemimpin muda jangan terpelanting pada citra semu. Pemimpin citra tak pantas diteladani, ia hanya ada dalam kisah nyayian dengan melodi ratapan. Artinya, nilai-nilai keutamaan seperti yang dihidupi Jenderal Sudirman masih ada di masyarakat kita. Pluralisme, toleransi, tak mudah menyerah, berkorbagi bagi orang lain, harapan, dan kecerdasan membangun strategi perjuangan di akar rumput tetap ada dan hidup walau tanpa hingar bingar seperti kisah pencitraan di istana kekuasaan.

Ditulis Oleh: William E Aipipidely (Konsultan LSM, CSR & Media, Pendiri Komunitas Inovasi Sosial MANNADOA)
[dimuat di Harian Jogja 16 Nov 2011]

Di tengah gaduhnya suara miring ikhwal kepemimpinan politik kaum muda yang banyak berkelindan dengan korupsi, nilai-nilai kepahlawanan zaman pra kemerdekaan patut menjadi sumur inspirasi untuk memperbaiki kelakuan sekaligus menghadirkan bibit keutamaan pahlawan masa kini. Sudirman, Sang Jenderal Besar, layak diapungkan sebagai sumur pembelajaran kepemimpinan muda di aras militer dan sipil.

Dalam salah satu event training yang diselenggarakan KAS Jerman dan LSM SATUNAMA, bertajuk Civic Education for Future Indonesian Leaders, para pemimpin muda di organisasi masyarakat sipil mencoba mendiskusikan kepahlawana Jenderal Sudirman dengan keutamaan-keutamaan kepemimpinnya yang dapat dipakai untuk memperkuat gaya, cara dan pola kepemimpinan di masyarakat sipil.

Dikotomi kepemimpinan sipil dan militer pasca jatuhnya Soeharto, sejatinya menutup ruang-ruang belajar, ruang-ruang interaksi dan ruang sintesa-antitesa bagi kepemimpinan sipil dalam mendalami, mendedah, dan menggugat pola kepemimpinan para pahlawan dan pemimpin masa lalu.

Keutamaan Sudirman
Sejarahwan LIPI, Aswi Warman Adam (2011), menulis artikel menarik, Siapa Memanfaatkan Sudirman? Ia manyajikan data dan analisis, banyak pemimpin kita yang lebih memanfatkan para pahlawan dari pada menggugu kepahlawananya. Padahal keutamaan kepemimpinan merekalah yang sejatinya sumber inspirasi dalam mengayuh kapal kepemimpinan.

Ada beberapa catatan menarik soal keutamaan Jenderal Besar Sudirman yang dapat dipakai bagi kepemimpian sipil. Pertama, Sikap Pluralisme dan Toleransi. Mengutip Paul Stange, 2009, Sudirman tercatat menghadiri pertemuan kebatinan Sumarah. Aliran kepercayaan ini pada masa revolusi kelompok, cukup banyak kalangan tentara yang dipercayai akan memperoleh kekebalan atau tidak kelihatan musuh. Padahal, Sudirman dikenal sebagai aktivis Muhamadiyah dan kepanduan Hizbul Wathan. Ini menunjukan sikap Sudirman yang toleran walau berbeda dengan dirinya. Begitu pula ketika ia menderita sakit TBC dan dirawat di RS Panti Rapih, sebagai tanda terima kasihnya, Sudirman menulis puisi: Rumah Nan Bahagia. Sikap seperti ini amat langka kita temukan saat ini, manakala seseorang berbeda secara idiologi dan agama. Kedua, Mental tidak mudah menyerah. Sudirman menjalani perjuangan memimpin tentara rakyat melalui perang gerilya dengan satu paru-paru. Penyakit TBC yang diidapnya tak sedikitpun menurutkan semangatnya memimpin gerilya. Dengan naik tandu yang diusung secara bergantian oleh penduduk dan tentara, ia terus memimpin perjuangan. Pendirian yang seperti ini makin langka kita temukan. Ketiga, Menjual harta untuk membiayai perjuangan. Jenderal Sudirman menjual perhiasan emas istrinya untuk membekali perang gerilya yang ia pimpin. Keempat, Usia muda tak mengahalangi dirinya menjadi pemimpin yang patut diteladani. Pada usia 29 tahun, ia telah menjadi Penglima TKR. Posisi komandan ia raih dengan bukti kemampuan leadershipnya yakni mengusir pasukan sekutu melalui strategi “Supit Urang” sebuah startegi yang menjepit musuh dari dua sisi kala perang di Ambarawa.
Keutamaan yang ia persembahkan bagi bangsa ini melintasi sekat dan dikotomi pemimpin militer dan sipil. Bisakah generasi ini mengambil saripati keteladanan kepahlawannya? Ataukah sejarah kembali mencatat, kita pandai memanfatkan nama para pahlawan demi kelangengan kekuasaan?

Pemimpin Kini
Nazarudin telah menjadi ikon pemimpin politik muda masa kini yang mencoreng sepak terjang pemimpin sipil kaum muda. Padahal tidak semua pemimpin muda seperti ini. Stigma yang terlanjur lekat, walaupun realitas terkini tak dapat kita bantah di mana banyak pemimpin politik muda yang tergelincir kasus korupsi. Namun, masih ada segelintir orang muda yang berjuang dengan idealism dan keutamaan. Banyak nama yang patut diangkat. Kita bisa menyebut, Budiman Sujatmiko, politisi PDIP, peraih dua gelar Master di Inggris misalnya, ia meraih kursi dewan di Senayan bukan dengan modal uang dan begundalisme. Ia membuktikan, bahwa idealism, gagasan dan integritas diri masih laku di masyarakat.

Dalam skala yang lebih local, kala even training seperti tertulis di atas, Sunhiyah, seorang aktivis perempuan di Sumenap, Madura, berkisah, ia harus mengorbankan biaya susu anaknya demi membantu komunitas ibu-ibu yang ia berdayakan. Ia bercerita dengan linangan air mata, bagaimana dilemma sebagai pemimpin, kadang hanya dibatasi oleh dinding tipis ego diri atau penyerahan diri. Pemimpin muda jangan terpelanting pada citra semu. Pemimpin citra tak pantas diteladani, ia hanya ada dalam kisah nyayian dengan melodi ratapan. Artinya, nilai-nilai keutamaan seperti yang dihidupi Jenderal Sudirman masih ada di masyarakat kita. Pluralisme, toleransi, tak mudah menyerah, berkorbagi bagi orang lain, harapan, dan kecerdasan membangun strategi perjuangan di akar rumput tetap ada dan hidup walau tanpa hingar bingar seperti kisah pencitraan di istana kekuasaan.

Ditulis Oleh: William E Aipipidely (Konsultan LSM, CSR & Media, Pendiri Komunitas Inovasi Sosial MANNADOA)
[dimuat di Harian Jogja 16 Nov 2011]

Tinggalkan komentar