Konsolidasi Mengawal Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016

Yogyakarta, 18 Desember 2017. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan uji materi UU Adminduk masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera ditindak lanjuti. Perjuangan kelompok penghayat kepercayaan tidak berhenti pasca putusan MK pada 7 November lalu.

Tidak sedikit sejumlah pihak yang menyambut baik putusan ini. Namun penolakan juga datang cukup keras dari kelompok pemuka agama. Beberapa memandang bahwa putusan MK atas kelompok penghayat dan kepercayaan dinilai sebagai sebuah kemunduran. Aliran kepercayaan maupun penghayat tidak bisa disejajarkan dengan agama-agama yang telah diakui negara. Respon negatif juga muncul dari kalangan anggota legislatif.

Hampir satu bulan pasca putusan MK ruang publik, media didominasi oleh respon negatif yang menolak hak-hak kewargaan kelompok kepercayaan dan penghayat. Sementara suara-suara positif yang memperkuat posisi kelompok penghayat dan kepercayaan terdengar lirih dalam diskursus publik.

Sehubungan dengan hal ini Yayasan SATUNAMA menggelar Focus Group Discussion bertema Mengawal Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 Dalam Diskursus Publik pada Rabu, (13/12) di SATUNAMA Yogyakarta. Diskusi dihadiri sejumlah praktisi, akademisi, serta lembaga pemerintah terkait untuk mendiskusikan langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan kedepan untuk mengawal putusan tersebut hingga level implementasi.

Dibagi menjadi empat kelompok terkait permohonan Uji Materi UU Adminduk, yakni hukum/hukum adat, antropologi-sosiologi, relasi agama-agama, dan kebijakan/pelayanan publik, diskusi ini ingin melihat dari tiga hal pokok terkait pengawalan putusan MK.

Pertama menyangkut konsep materi sosialisasi yang nantinya akan didiseminasikan. Kedua menyangkut strategi pengawalan dan upaya pencegahan adanya hambatan. Dan ketiga strategi advokasi lanjutan bagi penghayat.

Setiap kelompok memberikan perspektifnya masing-masing. Surya Adi Pramana, Dosen Sosialogi Universitas Atmajaya Yogyakarta memberikan masukan dari perspektif antropologi-sosiologi bahwa secara substantif elemen penghayat kepercayaan dan penghayat agama “resmi” adalah sama.

Perbedaan hanya pada institusi yang mengurusi kedua kelompok tersebut, yakni agama resmi berada dalam lingkup wewenang Kementrian Agama, sedangkan penghayat kepercayaan pada Kemendikbud.

Suryo berpandangan bahwa agama sebagai fakta sosial merupakan konstruksi sosial. “Sehingga penghayat seharusnya juga berhak untuk merekonstruksi kepercayaannya sebagai bagian dari hak konstitusi warga negara.” Kata dia.

Oleh karenanya, upaya yang perlu dilakukan dalam mengawal putusan MK adalah diseminasi informasi secara holistik yang melibatkan baik pemerintah sebagai pengampu kebijakan, pihak penyelenggara pelayanan dan masyarakat luas, serta masyarakat penghayat.

Usulan ini juga senada dengan perspektif kelompok agama yang menilai perlu mengambil alih wewenang Kemendikbud untuk bisa diberikan kepada Kemenag. supaya posisi penghayat kepercayaan sejajar dengan agama resmi.

Serta mengupayakan agar mendorong pemerintah menjamin hak-hak penghayat untuk mendapatkan perlindungan termasuk juga perlindungan dalam pendirian rumah ibadah. Selain itu juga perlu mendorong pelaksanaan Permendikbud terkait kurikulum bagi siswa penghayat kepercayaan, serta perlunya pengakuan penghayat dalam FKUB.

Dari perspektif hukum, dirasa perlu ada upaya untuk mendorong pihak-pihak pengambil kebijakan untuk segera membuat kebijakan yang mendukung putusan MK. Contohnya dengan mendesak Kementrian Dalam Negeri untuk segera mengeluarkan surat edaran sebagai acuan untuk implementasi putusan MK tersebut.

Usulan ini sedikit berseberangan dari perspektif pelayanan publik. Berbicara mengenai aspek pelayanan publik, tentunya bicara terkait hal teknis. Bahwa Surat Edaran dirasa belum cukup kuat untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

“Untuk sosialisasi bagi penghayat juga perlu ditentukan skema teknis maupun regulasi, Surat Edaran saja tidak cukup. Jangan sampai kekosongan regulasi ini nantinya malah menjadi celah adanya kecurangan yang lain.” ujar Rifki Taufikurrahman, perwakilan Ombudsman Provinsi Yogyakarta.

Agus Humtoro, perwakilan Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta menambahkan bahwa hal terpenting untuk dilakukan saat ini adalah mendorong perubahan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Pasalnya SIAK merupakan sistem informasi yang disusun berdasarkan sejumlah prosedur yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi guna menata sistem administrasi kependudukan di Indonesia.

Apabila SIAK sendiri sudah diubah sebagaimana putusan MK, maka pihak penyelenggara pelayanan publik memiliki pegangan dalam memberikan pelayanan utamanya bagi rekan-rekan penghayat.

Upaya memperjuangan hak-hak konstitusional bagi kelompok penghayat kepercayaan merupakan amanat SATUNAMA dalam mewujudkan inklusi sosial. Respon maupun komentar negatif yang selama ini memenuhi ruang publik harus ditanggapi dengan narasi inklusi sosial.

Langkah ini juga sebagai bentuk pengawalan Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016. Menjaga ruang publik dari pihak maupun kelompok yang selama ini kontra terhadap putusan MK yang berakibat pada macetnya implementasi putusan MK.

Karena hak-hak konstitusional kelompok penghayat dan kepercayaan harus tetap diperjuangkan hingga tahap implementasi. (Berita & Foto : Melya Findi_SATUNAMA)

Tinggalkan komentar