Jejaring Antikorupsi Yogyakarta : Lawan Pembekuan dan Pembubaran KPK!

Yogyakarta, 13 September 2017. Bertempat di sekretariat Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jejaring Antikorupsi Yogyakarta adakan konferensi pers “Melawan Pembekuan dan Pembubaran KPK”.

Setelah secara sepihak -tanpa klarifikasi kepada KPK-, Panitia Khusus (pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan kepada publik hasil kerja sementara melalui konferensi pers yang diadakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, (21/08), muncul banyak serangan kepada KPK.

Jejaring Antikorupsi Yogyakarta menyatakan hal tersebut sebagai “tuduhan usang yang sudah sering dialamatkan kepada KPK”. Seperti yang disampaikan oleh Yuris Reza, peneliti PUKAT UGM, bahwa hasil temuan sementara Pansus Hak Angket KPK tidak ada hal yang baru. Hanya tuduhan usang yang sudah sejak lama digunakan untuk “menyerang” KPK, dan Masyarakat Sipil penting untuk menyikapinya.

“Melihat hasil temuan sementara Pansus Hak Angket KPK kami dari Jejaring Antikorupsi Yogyakarta  menyimpulkan tidak ada hal baru, isinya didominasi tuduhan usang yang sudah sering dialamatkan kepada KPK, dan ini (pengumuman sementara hasil kerja pansus –red) memicu serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak kepada KPK, ini yang harus kita sikapi”, tegas Yuris.

Konfrensi Pers- Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil Yogyakarta yang tergabung dalam Jejaring Antikorupsi Yogyakarta saat menyelenggarakan Konfrensi Pers tentang “Melawan Upaya Pembekuan dan Pembubaran KPK”, bertempat di Ruang Pertemuan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Yogyakarta. Rabu, (13/09) . (Foto : Viky/KBR Yogyakarta)

Yuris melanjutkan, serangan yang penting untuk disikapi oleh masyarakat sipil adalah terkait derasnya wacana pembekuan KPK yang menurutnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi tentang pemberantasan korupsi, di mana fungsi KPK sangat penting.

“Wacana pembekuan KPK itu jelas bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi tentang pemberantasan korupsi. Faktanya selama ini peran KPK dalam pemberantasan korupsi sangat penting, karena lembaga penegak hukum lainnya selain KPK belum memperbaiki diri, bahkan OTT (operasi tangkap tangan –red) oleh KPK masih sering menjaring aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi”, terang Yuris.

Yuris menambahkan, pentingnya peran KPK dalam agenda pemberantasan korupsi terkonfirmasi dari fakta rekam jejak KPK dalam menjerat pelaku korupsi sekelas menteri, anggota DPR, dan pimpinan lembaga tinggi negara, maupun penegak hukum, yang rekam jejak ini tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain.

“Kita harus melihat fakta rekam jejak KPK, perannya sangat penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Faktanya, selama ini hanya KPK yang menjerat pelaku korupsi profil tinggi seperti menteri, anggota DPR, dan pimpinan lembaga tinggi negara, maupun penegak hukum, yang rekam jejak ini tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain”, tambah Yuris.

Yuris melanjutkan, KPK sedang menangani kasus-kasus besar, grand corruption, ditambah lagi fakta bahwa sejak awal tahun hingga Juni 2017 KPK terus bekerja keras, jika dibekukan, menurut Yuris, menjadi kemenangan besar bagi para koruptor dan kelompoknya.

“Saat ini KPK bekerja keras menangani kasus-kasus grand corruption (kasus-kasus korupsi yang besar –red) seperti BLBI dan E-KTP, dan ingat, sejak awal tahun hingga Juni 2017 KPK terus bekerja menyasar para pencuri uang rakyat dengan rincian penyelidikan 48 perkara, penyidikan 51 perkara, dan penuntutan 41 perkara, dengan prestasi KPK itu, kalau KPK dibekukan, ya kemenangan besar bagi para koruptor dan kelompoknya”, tegasYuris.

Fokus Perbaikan Institusi.

Zaenur Rochman, yang juga peneliti PUKAT UGM menyoroti pernyataan Jaksa Agung Republik Indonesia perihal menghilangkan kewenangan penuntutan KPK dan mengembalikan kewenangan tersebut kepada kejaksaan, yang disimpulkan Zen, sapaan akrabnya di Jejaring Antikorupsi Yogyakarta, sebagai pernyataan yang tidak berdasar karena Kejagung juga memiliki kewenangan satu atap dalam menangani kasus korupsi.

“Kami menilai, pernyataan Jaksa Agung terkait menghilangkan kewenangan penuntutan KPK dan mengembalikan kewenangan tersebut kepada kejaksaan sama sekali tidak berdasar, Jaksa Agung bisa jadi lupa bahwa Kejaksaan juga memiliki kewenangan satu atap dalam menangani kasus korupsi, kejaksaan juga berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntun sendiri kasus korupsi”, jelas Zen.

Zen melanjutkan, terkait pernyataan Jaksa Agung yang mengaitkan KPK dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia lebih tidak berdasar lagi, sebab menurutnya, penilaian terhadap IPK didasarkan pada indikator yang luas yang sudah diatur dalam kesepakatan internasional dan dilembagakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

“Lebih tidak mendasar lagi pernyataan Jaksa Agung yang mengaitkan KPK dengan IPK. Penilaian terhadap IPK itu sudah menjadi aturan internasional dan dilembagakan dalam sistem di Indonesia, IPK didasarkan pada empat hal yang menggambarkan tentang daya saing dan hambatan berusaha, potensi korupsi dan integritas pelayanan publik, potensi suap dan integritas sektor bisnis, serta penilaian kinerja perekonomian daerah”, terang Zen.

Zen menambahkan, sangat bijaksana jika Jaksa Agung fokus dalam perbaikan institusi kejaksaan dari pada mengusulkan amputasi kewenangan KPK. Karena diketahui, Jaksa Agung kembali mengeluarkan pernyataan yang disimpulkan Zen sebagai pernyataan yang tidak berdasar sama sekali terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sering menimbulkan kegaduhan.

“Pernyataan Jaksa Agung bahwa OTT sering menimbulkan kegaduhan sangat mengejutkan, karena keluar dari seorang penegak hukum. Sudah jelas OTT diatur dalam KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana, -red) yaitu tangkap tangan, terlebih lagi, dari aspek pencegahan korupsi, OTT ini bukan karena KPK, melainkan pelaku sendiri yang bisa jadi karena lemahnya sistem pengendalian, pengawasan, dan pembinaan di lembaga pelaku, jadi menurut kami sangat bijaksana jika Jaksa Agung fokus dalam perbaikan institusi kejaksaan dari pada mengusulkan amputasi kewenangan KPK”, tegas Zen.

Wajib Perangi Korupsi

Hal yang mendasar terkait kenapa semua elemen negara berkewajiban mendukung agenda pemberantasan korupsi disampaikan oleh Valentina S. Wijiati dari SATUNAMA Yogyakarta. Wiji, demikian sapaan akrabnya, menegaskan bahwa korupsi jelas menggerogoti pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dan merampas hak kelompok rentan.

“Jelas, korupsi itu menggerogoti pemenuhan HAM dan merampas hak kelompok rentan, maka menjadi wajib semua pihak memerangi korupsi, bukan malah melemahkan pemberantasan korupsi”, tegas Wiji.

Dalam kesempatan yang sama, Tri Wahyu, Jejaring Antikorupsi Yogyakarta menyoroti terkait sikap Presiden Republik Indonesia. Menurut Wahyu, demikian sapaan akrabnya, Presiden belum mengambil tindakan nyata sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, sebab, lanjut Wahyu, selama ini Presiden hanya mendukung KPK lewat pernyataan saja dan berlindung dibalik alasan tidak bisa mencampuri angket yang merupakan kewenangan DPR.

“Selama ini Presiden hanya mendukung KPK dengan pernyataan saja, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan belum ada tindakan nyata, dan bahkan, Presiden berlindung dibalik alasan tidak bisa mencampuri angket yang merupakan kewenangan DPR”, terang Wahyu.

Wahyu membandingkan sikap politik Presiden terhadap Angket dengan pembahasan Undang-Undang (UU) Pemilu, menurut Wahyu, Presiden bisa mengonsolidasi partai-partai pendukung Presiden untuk menghentikan Pansus, karena Pansus dijalankan oleh partai-partai pendukung Presiden, dengan melihat pengalaman sebelumnya, konsolidasi partai pendukung sudah dilakukan Presiden ketika membahas UU Pemilu khususnya masalah threshold 20%

“Kalau Presiden jelas mendukung KPK, maka Presiden harus berani menghentikan Pansus yang sudah sejak awal mengganggu KPK dalam menangani kasus E-KTP, Presiden kan bisa dan berwenang mengonsolidasi partai-partai pendukungnya untuk mengehentikan Pansus, seperti saat Presiden mengonsolidasi partai-partai pendukungnya dalam pembahasan UU Pemilu khususnya masalah threshold 20%”, tegas Wahyu.

Dengan penjelasan Jejaring Antikorupsi Yogyakarta terkait situasi terkini agenda pemberantsan korupsi di Indonesia yang didukung berbagai fakta tersebut, melalui Laras Susanti, Peneliti PUKAT UGM, menyampaikan pernyataan sikap Jejaring Anti Korupsi Yogyakarta, adapun butir-butir pernyataan sikap tersebut adalah :

  1. Melawan segala upaya DPR yang bertujuan melemahkan, membekukan, atau membubarkan KPK;
  2. Menolak usulan Jaksa Agung untuk menghilangkan kewenangan tuntutan KPK;
  3. Menolak kriminalisasi terhadap Novel Baswedan serta tiga media massa;
  4. Menuntut Presiden membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut penyiraman air keras Novel Baswedan;
  5. Menuntut Presiden memerintahkan Partai pendukungnya menghentikan Pansus Hak Angket terhadap KPK;
  6. Mengajak seluruh elemen masyarakat melawan upaya pelemahan KPK;

Laras Susanti menegaskan bahwa situasi terkini agenda pemberantsan korupsi di Indonesia yang didukung berbagai fakta yang diurai oleh Jejaring Antikorupsi Yogyakarta merupakan pernyataan sikap dan penegasan tuntutan jaringan masyarakat sipil Yogyakarta terhadap seluruh elemen negeri dalam upaya penguatan KPK terkait pemberantasan korupsi.

“Situasi terkini yang kami baca dan simpulkan terkait agenda pemberantasan korupsi berdasarkan fakta-fakta yang ada dan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia, merupakan pernyataan sikap dan penegasan tuntutan jaringan masyarakat sipil Yogyakarta terhadap seluruh elemen negeri dalam upaya penguatan KPK-RI terkait pemberantasan korupsi”, tegas Laras. (Prabu Ayunda Sora_SATUNAMA / Foto : Viky Arthiando Putra_Komite Bersama Reformasi Yogyakarta).

Tinggalkan komentar