Melihat Keningar Lebih Dekat

Solo, 10 September 2017. Kata “keningar” adalah satu spesies tumbuhan, berupa kayu manis, bahasa latinnya Cinnamomum burmani. Punya akar hisitorisitas, punya ikatan kesejarahan bagi alam jiwa dan sumber penghidupan, menjadi wujud dari memori kolektif warga dari generasi ke generasi, sebab merupakan tumbuhan asli endemik Merapi yang menjadi cikal-bakal nama Desa Keningar, saat ini nyaris punah.

Berkaca dari fakta kesejarahan itu, Guyub Bocah SATUNAMA bersama jejaring komunitas Guyub Bocah Jawa Tengah dan DIY adakan kegiatan yang bertajuk “Melihat Keningar Lebih Dekat”. Kegiatan diisi dengan pemutaran dan diskusi film “Anak Gunung”, pentas akustik tentang Hak Anak, bedah buku “Kenang Keningar”, dan tari Jathilan dari komunitas Sanggar Lare Joyo Mukti Desa Keningar, di Rumah Banjarsari, Ruang Publik dan Seni, Jalan Syamsurizal nomor 10, Surakarta. (10/09).

Aktivitas Pertambangan pasir di Desa Keningar bermula sejak 1997 hingga sekarang, menyisakan luka yang tidak biasa bagi kehidupan, bagi alam, bagi semesta, bagi warga, bagi anak-anak yang merupakan jaminan keberlangsungan umat manusia.

Jalan-jalan desa yang dalam regulasi berstatus sebagai jalur evakuasi kebencanaan rusak karena tingginya aktivitas keluar-masuknya truk-truk yang membawa material pasir dan batu, sehingga dapat dipastikan dapat menambah risiko bencana dalam proses evakuasi jika erupsi merapi terjadi.

Tidak hanya itu, kerusakan ekologis telah melampaui nalar kemanusiaan, di mana pencemaran lingkungan karena operasi alat berat untuk penambangan material pasir dan penggilingan batu, serta debit air berkurang drastis.

Tanggul alami yang berada di bibir sungai sudah rusak parah, banyak nyawa terancam, di mana bertambahnya risiko bencana yang akan muncul, khususnya sewaktu ada lahar erupsi merapi yang mengalir melalui sungai.

Tidak sedikit upaya yang dilakukan dulur-dulur Keningar melalui beberapa tokoh masyarakat yang memiliki komitmen kuat terhadap kelestarian lingkungan Dari pertemuan rembug warga yang pro dan yang kontra pertambangan, demonstrasi, edukasi ke masyarakat, audiensi ke pemerintahan, mengkaji aturan perundang-undangan, pengelolaan risiko bencana, penghijauan kembali, rehabilitasi lahan bekas pertambangan, pendataan batas kepemilikan lahan, pentas kesenian rakyat tentang kelestarian lingkungan, mengundang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk melakukan investigasi dan memberikan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan, berkoordinasi dengan kepolisian dan organisasi masyarakat.

Dari upaya-upaya tersebut, belum banyak respon positif yang didapat, sehingga pilihan yang paling mungkin saat ini –disamping edukasi dan penegakan hukum- adalah mengajak generasi –anak dan remaja- untuk belajar tentang kelestarian lingkungan.

Seperti yang diutarakan oleh Sugiyono, salah satu tokoh yang gigih dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan di Lingkar Merapi, “Sudah banyak upaya yang dilakukan, walaupun pertambangan ini jelas-jelas melanggar aturan perundang-undangan, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara juga Undang-Undang Lingkungan, belum ada upaya penegakan hukum yang sistematis dari pemerintahan dan pihak yang berwenang, bahkan edukasi masyarakat sangat minim, kami terus berupaya merangkul lebih banyak pihak untuk membangun kesadaran publik tentang pentingnya mengobati Keningar yang sudah terluka karena pertambangan, demi generasi yang akan datang”, tegas pria yang kerap disapa Brewok dan berpenampilan sederhana dan bersahaja ini.

Pemutaran dan Diskusi Film “Anak Gunung”

Film anak gunung yang disutradari oleh Fanny Chotimah dan dibintangi oleh kader-kader anak sanggar Lare Joyo Mukti Desa Keningar, Muntilan, Magelang. Seperti yang disampaikan oleh Fanny, film berdurasi 15 menit ini bercerita tentang bagaimana hak-hak anak terus dipertaruhkan dengan adanya aktivitas pertambangan di Desa Keningar.

Fanny Chotimah, Sutradara Film “Anak Gunung” saat berbagi pengalaman tentang proses pembuatan film bersama Sanggar Lare Joyo Mukti tentang Hak-Hak Anak di Desa Keningar. Rumah Banjarsari Solo (10/09). (Foto : Shinta)

“Memang film ini, menurut saya sendiri belum dapat menjelaskan persoalan sebenarnya di Keningar, tapi fakta-fakta yang kita temui selama pembuatan film menunjukkan Hak-Hak Anak terus dipertaruhkan dan terbengkalai karena aktivitas pertambangan, bagaimana rusaknya jalur evakuasi bencana, jurang-jurang bekas pertambangan yang sangat berisiko terhadap keselamatan warga khususnya anak, dan fakta lainnya.” terang Fanny.

Orang Tua, lanjut Fanny, yang seharusnya memberikan waktu, energi, dan perhatiannya untuk menjaga anak-anaknya dalam tumbuh-kembang anak, karena sibuk menambang, kewajiban itu terbengkalai dan membuat anak semakin rentan terhadap berbagai risiko yang membuat tumbuh-kembangnya terganggu, bahkan terancam.

“Saat proses pembuatan film, tidak jauh dari aktivitas pertambangan, saya melihat ada seorang anak yang usianya sekitar SD (sekolah dasar –red) sedang merokok, saya tidak menegur, tapi terus saya perhatikan, akhirnya ia membuang rokoknya, mungkin merasa tidak enak karena terus saya perhatikan, ternyata anak itu adalah anak dari penambang manual yang sedang menambang tidak jauh dari posisi anak itu, ini seharusnya tidak terjadi jika para orang tua punya waktu dan energi untuk menjaga anak mereka”, ungkap Fanny.

Hal senada disampaikan oleh Titik, Kepala Urusan Pemerintahan, Pemerintah Desa Keningar, bahwa ada pro dan kontra terhadap pertambangan di masyarakat, antara kelompok masyarakat yang penambang dan yang mengupayakan pertanian berkelanjutan, upaya dialog, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi terus dilakukan.

“Pro dan kontra ada di masyarakat, kelompok yang tidak setuju dengan tambang terus merintis pertanian berkelanjutan dan pariwisata, sedangkan terhadap kelompok yang masih menambang, terus-menerus kami ajak dialog, rembugan, edukasi agar tumbuh kesadaran tentang kelestarian lingkungan”, terang Titik yang diduga satu-satunya perangkat Desa Keningar yang memiliki komitmen terhadap kelestarian lingkungan.

Menanggapi permasalahan lingkungan di Keningar melalui film “Anak Gunung”, Yudha, mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) menyatakan ketertarikannya untuk ikut belajar tentang komunitas kelestarian lingkungan di Keningar.

“Dalam film (film “anak gunung”, -red) terlihat anak-anak sanggar bebas berekspresi di tengah persoalan yang mereka hadapi, saya tertarik ikut belajar tentang komunitas kelestarian lingkungan di Keningar, agar mengerti tantangannya, bisa paham bahwa setiap karya film itu tidak sekedar film, tapi ada unsur edukasi dan perjuangannya”, ungkap Yudha.

Pentas Musik dan Lagu “Eksploitasi Seks Komersial Anak”

Tiga orang anak dari Guyub Bocah yaitu Esti, Caca, dan Krisna dengan sebuah gitar yang dimainkan oleh Krisna sempat menampilkan sebuah lagu tentang Hak Anak yang bertajuk “Stop Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA)”. Lagu ini merupakan kontribusi Guyub Bocah untuk mengampanyekan Hak-Hak Anak, khususnya tentang eksploitasi seks komersial anak.

Caca dan Krisna saat menyampaikan isi dan tujuan lagu “Menolak ESKA”, Eksploitasi Seks Komersial Anak. Rumah Banjarsari Solo (10/09). (Foto : Shinta).

Kongres Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1996, mendefinisikan ESKA sebagai: “pelecehan seksual oleh orang dewasa dan remunerasi tunai atau barang kepada anak atau orang ketiga atau orang lain. Anak diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial”.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) mengawali kerangka jaminan (obligasi) Pemerintahan Republik Indonesia tentang perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak-hak anak di Indonesia, yang berlatar belakang disahkannya Konvensi Internasional Hak-Hak Anak oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989.

Pada tanggal 24 September 2001, Indonesia ikut menandatangani Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.  Namun, Indonesia baru meratifikasi Protokol Opsional tersebut setelah 11 tahun menandatanganinya, yaitu pada tahun 2012 dengan UU No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.  Indonesia merupakan negara ke 148 yang meratifikasi protokol opsional tersebut.

Dengan penandatanganan protokol opsional ini, memungkinkan bagi Pemerintah Indonesia untuk menetapkan standar-standar menangani pelanggaran-pelanggaran berdasarkan hukum nasional, tidak hanya mengenai para pelaku, tetapi juga mengenai upaya pencegahan dan perlindungan terhadap korban.  Selain itu, Protokol Opsional memberikan suatu kerangka kerja untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang ini, khususnya untuk menuntut para pelanggar.

Seperti yang disampaikan oleh Caca, Kader Fasilitator Anak Guyub Bocah, dalam mengambil perannya, Guyub Bocah sejak awal 2017 Guyub Bocah mulai belajar tentang EKSA melalui beberapa diskusi, pelatihan, dan seminar, juga pelatihan fasilitator bagi Kader Anak tentang EKSA. Salah satu karya Guyub Bocah adalah lagu “Stop Eksploitasi Seks Komersial Anak” untuk kepentingan kampanye dan edukasi publik.

“Lagu ini kami dedikasikan untuk kampanye kepada khalayak tentang pentingnya memberantas eksploitasi seksual komersial anak, yang melanggar hak-hak anak, entah dalam bentuk penjualan anak, perbudakan anak, pornografi anak, juga termasuk pernikahan usia anak”, tegas Caca yang masih duduk dibangku kelas 2 SMP ini.

Caca menambahkan, bahwa di berbagai daerah masih banyak kasus anak yang terjerat dalam eksploitasi seksual komersial anak dengan berbagai modus, dan Caca bersama Guyub Bocah berharap lagu “Menolah ESKA” ini bisa jadi kontribusi sederhana untuk seluruh anak-anak yang menjadi korban di berbagai daerah.

“Untuk anak-anak di berbagai daerah di Indonesia yang menjadi korban ESKA lagu ini kami dedikasikan, semoga lagu ini bisa jadi kontribusi sederhana dari Guyub Bocah untuk mereka”, terang Caca.

Krisna menambahkan, masyarakat luas dapat mengakses video lagu EKSA di link https://www.youtube.com/watch?v=6SsP7_3NkAU Sinayuh (kelompok musik Guyub Bocah) menolak ESKA. “Teman-teman dan masyarakat bisa mengakses lagu ‘Menolak ESKA’ ini di link Youtube Guyub Bocah”, demikian Krisna yang duduk di kelas 2 SMK ini meninformasikan.

Diskusi Buku “Kenang Keningar”

Buku “Kenang Keningar” merangkum perjalanan panjang Keningar sebagai akar hisitorisitas, punya ikatan kesejarahan bagi alam jiwa dan sumber penghidupan, menjadi wujud dari memori kolektif warga dari generasi ke generasi, sebab merupakan tumbuhan asli endemik Merapi yang menjadi cikal-bakal nama Desa Keningar, saat ini nyaris punah.

(Dari kiri ke kanan) Brewok, Pengasuh Sanggar Lare Joyo Mukti; Hasan, staf Balai ESDM Solo Raya; Sartono, Warto, dan Titik, Tokoh Desa Keningar) saat diskusi bedah Buku “Kenang Keningar”. Rumah Banjarsari Solo (10/09). (Foto : Shinta)

Akibat tingginya aktivitas penambangan, kerusakan lingkungan terus terjadi dan semakin parah. Tanggul alami dibibir sungai terus tergerus, jalan-jalan jalur evakuasi kebencanaan rusak, debit air terus menurun, pencemaran lingkungan, tanah dan air semakin parah.

Warto, salah satu warga Dusun Banaran, Desa Keningar, mengatakan bahwa masyarakat dan pemerintah seharusnya bisa berfikir secara benar dengan menghentikan aktivitas penambangan, karena dampaknya terhadap risiko bencana sangat besar.

“Kami sangat emosi, sudah banyak kerusakan lingkungan, sumber air terganggu, pencemaran lingkungan, seharusnya masyarakat dan pemerintah bisa berfikir secara benar, ya itu penambangan harus dihentikan, risiko bencana yang dihadapi warga semakin mengerikan kalau penambangan tidak segera dihentikan”, tegas Warto yang sudah sejak 2006 berjuang melawan pertambangan di Desa Keningar.

Demikian dengan Sartono, tokoh masyarakat Desa Keningar, yang merasakan beratnya perjuangan menghentikan penambangan. Dia bersama beberapa tokoh lainnya yang berjumlah 18 orang akhirnya mencari jalan lain, yaitu dengan perlahan mengurangi dampak penambangan, mengkaji regulasi dan aturan perundang-undangan tentang Kebencanaan.

Hasan, dari Balai Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Solo Raya Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah saat menyampaikan peran dan fungsi dinasnya terkait persoalan Tambang, serta kemungkinan kerjasama dengan komunitas untuk Edukasi Publik tentang Kelestarian Lingkungan. Rumah Banjarsari Solo (10/09). (Foto : Shinta)

“Saking sulitnya mengingatkan warga penambang dan perusahaan penambang, akhirnya kami menempuh jalan lain, kami mendatangi pemerintah kabupaten menanyakan aturan-aturan tentang pengurangan risiko bencana, ternyata di dalam peraturan bupati, status jalan di desa kami itu jalur evakuasi kebencanaan, seharusnya tidak dirusak oleh mondar-mandirnya truk-truk yang mengangkut material pasir dan batu”, terang Sartono yang pernah berjuang dalam kontestasi pemilihan kepala desa Keningar tanpa politik uang ini.

Sartono menambahkan bahwa kondisi jalan desa yang berstatus jalur evakuasi sangat parah sebelum ada pembatasan waktu dan tonase (batas berat muatan truk-truk pengangkut material tambang, –red).

“Setelah erupsi merapi itu jalan desa seperti kali asat, rusak parah, kita mulai dari jalan desa yang berstatus jalur evakuasi, kita sinau Peraturan Bupati, pertama kita antisipasi dengan tonase, lumayan ada batasan tonase dan jam operasi”, terang Sartono.

Pengalaman Titik juga tidak enak, saat berada di lingkungan birokrasi Pemerintahan Desa, Titik yang pro terhadap kelestarian lingkungan selalu dipinggirkan, tidak mendapat fasilitas kerja dan peningkatan kapasitas, tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan desa.

“Pertama kali masuk birokrasi desa seperti masuk kandang macan, siapa yang kuat dia yang menang, bukan pakai aturan, seperti ‘siopo sing kuoso, siopo sing wani aku’, ternyata karena suami saya dan saya ikut memperjuangkan agar pertambangan berhenti, saya jadi diasingkan”, terang Titik yang menjabat Kepala Urusan Pemerintahan, Pemerintah Desa Keningar ini.

Titik menambahkan, bahwa Pemerintah Desa harus melihat dampak serius dari pertambangan berupa terlanggarnya hak-hak anak di Desa Keningar, kasus anak putus sekolah, pekerja usia anak, kerentanan anak terhadap kontaminasi zat-zat berbahaya di lokasi tambang.

“Banyak anak yang putus sekolah karena lebih memilih menambang bisa dapat seratus ribu rupiah sehari, dan lokasi tambang itu kan tidak layak buat anak-anak, bisa tercemar zat-zat berbahaya di lokasi tambang, dan itu kan banyak usia anak yang dipekerjakan”, tegas Tutik yang bersahaja dan sangat serius bicara tentang fungsi pemerintahan desa terhadap pemenuhan hak anak dan kelestarian lingkungan ini.

Romdhon, dosen Jurusan Sosiologi, FISIP UNS saat menyampaikan ulasan singkatnya tentang buku “Kenang Keningar”, menurutnya buku ini rangkuman cinta sekaligus luka tentang Keningar, serta perjuangan untuk obati luka dan kembali membangun cinta. Rumah Banjarsari Solo (10/09). (foto : Shinta)

Memberikan ulasan buku, hadir Romdhon, dosen Jurusan Sosiologi FISIP UNS. Romdhon menyatakan bahwa buku “Kenang Keningar” ini adalah rekaman cinta dan luka atas mandat alam semesta, sekaligus perjuangan panjang untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan cinta di Desa Keningar.

Hasan, dari Balai ESDM Solo Raya, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah mengungkapkan bahwa dirinya sepakat dengan semua fakta persoalan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh desa Keningar. Dirinya menegaskan bahwa pemantauan dan evaluasi terus dilakukan, soal penegakan hukum ia menghimbau warga melaporkan secara berjenjang, dan soal edukasi ke masyarakat tentang kelestarian lingkungan dinasnya siap bekerjasama.

“Semua fakta yang disampaikan bapak dan ibu dari Desa Keningar tadi saya setuju, ke depan kita harus bekerja sama untuk edukasi ke masyarakat tentang kelestarian lingkungan, kalau penegakan hukum silahkan dilaporkan oleh warga ke pihak yang berwenang dan dikawal secara berjenjang, dinas kami terus melakukan pemantauan dan evaluasi, mohon bantuan masyarakat”, terang Hasan.

“Persoalan anak-anak kota itu biasanya remaja putri yang malu keluar rumah karena ada satu jerawat di wajah, kalau remaja putra hanya karena bau badan tidak keluar rumah, masalah-masalah itu tidak sebanding dengan permasalahan yang dihadapi saudara-saudara kita di Keningar, dan buku ‘Kenang Keningar’ ini sebagai rangkuman dari cinta sekaligus luka Keningar juga berbagai perjuangan untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan cinta bagi Keningar”, ulas Romdhon.

Pentas Tari Jatilan Sanggar Lare Joyo Mukti

Kesenian tari jathilan dahulu kala sering dipentaskan pada dusun-dusun kecil.  Pementasan ini memiliki dua tujuan, yang pertama yaitu sebagai sarana menghibur rakyat sekitar, dan yang kedua juga dimanfaatkan sebagai media guna membangkitkan semangat rakyat dalam melawan penjajah.

Komunitas Sanggar Lare Joyo Mukti saat tampil mementaskan kesenian Jathilan diujung sesi dalam acara “Melihat Keningar Lebih Dekat”, Rumah Banjarsari Surakarta.(10/09). (foto: Shinta)

Ada beberapa cerita awal sejarah mengenai jatilan. Versi pertama menceritakan jatilan adalah kesenian yang mengisahkan perjuangan Raden Patah dibantu Sunan Kalijaga dalam melawan penjajahan Belanda. Sebagaimana yang kita ketahui, Sunan Kalijaga adalah sosok yang acap menggunakan budaya, tradisi dan kesenian sebagai sarana pendekatan kepada rakyat, maka cerita perjuangan dari Raden Patah itu digambarkan kedalam bentuk seni tari jathilan.

Versi terahkir adalah jatilan merupakan cerita  Panji Asmarabangun, yaitu putra dari kerajaan Jenggala Manik. Tatkala yang disampaikan adalah cerita mengenai Panji Asmarabangun, maka penampilan para penaripun menggambarkan tokoh tersebut, baik aksesoris pun gerakannya.   Sebagai contoh aksesorisnya adalah mengenakan gelang tangan, gelang kaki, ikat pada lengan, kalung, menyengkelit keris, dan tentu saja mengenakan mahkota yang acap disebut “kupluk Panji.

Anak-anak dari Sanggar Lare Joyo Mukti Desa Keningar pun menggunakan jatilan sebagai sarana untuk menyuarakan apa yang terjadi di Desa Keningar. Dengan segala atribut dan seragam jathilan, alat musik lengkap dengan pemainnya yang kesemuanya berusia dewasa. Kuda kepang anyaman bambu menjadi ikon tertata rapi oleh masing-masing penari, makeup khas kesenian jawa kuna menghias wajah dan tubuh para penari, menambah kesan magis dan pesan leluhur tentang harmoni semesta.

Para tamu undangan beranjak dari ruang diskusi ke ruang utama pementasan tari di Rumah Banjarsari siang itu. Para penari dan kelompok pemain musik siap beraksi. Gerak tubuh dan mimik wajah serasi memberi pesan tentang Keningar yang sedang terluka, tentang Keningar yang sedang menjalani puasa amukthi palapa melalui tokoh-tokohnya untuk merebut cintanya kembali. (Prabu Ayunda Sora_SATUNAMA / Foto : Shinta Istiana_SATUNAMA)

Tinggalkan komentar