Literasi Informasi Anak

Kemajuan teknologi komunikasi telah menciptakan dimensi baru dalam hal ketersediaan informasi. Banjir informasi pun tak terelakkan saat ini. Media saling berkompetisi dalam menggelontorkan informasi dengan gaya dan ideologinya masing-masing. Platform untuk mewadahi kebutuhan meredakan dahaga informasi juga semakin berkembang menyesuaikan dengan karakter manusia supermodern yang segalanya harus serba mudah dan cepat.

Anda bisa langsung tahu apa yang terjadi di belahan bumi lainnya lewat informasi yang muncul di perangkat penyuplai informasi dalam genggaman. Lalu segera menjadikannya bahan obrolan bersama kawan atau keluarga melalui pertemuan langsung atau via ruang-ruang obrolan di semesta daring.

Namun seiring dengan itu, meski masih kerap diperdebatkan besarnya dampak dan pengaruh informasi sebagai produk media bagi khalayak juga terus kita rasakan. Anak-anak sebagai bagian dari masyarakat juga tak luput dari dampaknya. Karena perkembangan teknologi komunikasi saat ini juga memungkinkan anak-anak sudah diterpa oleh tsunami informasi melalui media komunikasi massa.

Beberapa kasus membuktikan hal ini. Misalnya peristiwa pembunuhan yang baru-baru ini terjadi di SMA Taruna Nusantara. Kasus ini memunculkan tersangka seorang siswa berusia di bawah 18 tahun. Usia yang masih termasuk kategori anak-anak dalam ranah hukum. Tersangka mengaku melakukan pembunuhan itu dengan meniru adegan-adegan film aksi dan serial kriminalitas di televisi (Liputan6.com, 2017)

Kita tentu tidak bisa hanya berhenti dengan merasa prihatin terhadap kasus semacam ini. Kemungkinan-kemungkinan strategi tentang bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi banjir informasi juga harus menjadi perhatian. Lebih khusus lagi dalam konteks keluarga sebagai wadah utama pendidikan manusia. Tantangan terbesar yang makin terasa adalah bagaimana melakukan literasi informasi kepada anak-anak untuk menyikapi seliweran informasi yang menerpanya.

Informasi Representatif Terbingkai

Sebuah informasi bisa sampai kepada masyarakat setelah melalui proses-proses tertentu. Media memiliki budayanya sendiri tentang penyajian informasi. Mereka menentukan apa, siapa, peristiwa mana yang perlu diinformasikan dan yang tidak perlu diinformasikan serta bagaimana hal itu diinformasikan.

Aktivitas penyeleksian dan pembingkaian ini menjadikan media cenderung menyalurkan informasi yang sifatnya representatif. Stuart Hall (dalam Ibrahim & Akhmad, 2014) menyebutkan bahwa representasi melibatkan aktivitas penyeleksian dan penyajian, strukturisasi dan pembentukan. Sehingga informasi yang disajikan merupakan suatu susunan representasi peristiwa yang sudah diseleksi dan dikemas sedemikian rupa.

Sementara pembingkaian digunakan untuk menentukan bagaimana sebuah informasi disajikan. Aktivitas ini dilakukan dengan menekankan fokus pada satu aspek tertentu. Tujuannya adalah untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektif atau keinginan pemberi informasi.

Dalam tayangan film atau sinetron, batas antara realitas dan rekayasa bahkan menjadi kabur. Film atau sinetron mungkin menampilkan tema atau persoalan nyata yang ada di tengah masyarakat, namun cara pengemasannya tidak bisa disebut realistis. Karena pertimbangan tayangan yang harus menarik untuk dikonsumsi, kontennya tidak jarang dikemas secara sensasional dan mengaburkan bahkan menghilangkan substansi atau fakta.

Dengan demikian, hidangan informasi atau konten media yang sampai ke masyarakat sebenarnya telah mengalami penyaringan detil peristiwa (discounted facts), penggiringan cara pandang hingga samarnya batas antara realitas dan rekayasa (hiper realitas). Kondisi-kondisi ini seringkali tidak disadari oleh khalayak. Informasi yang sifatnya representatif dan terbingkai kerap dianggap sebagai cermin fakta yang obyektif .

Pola produksi dan penyajian informasi atau konten oleh media seperti disebutkan di atas bukanlah sesuatu yang bisa disentuh atau diintervensi oleh masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat hanya menjadi penerima produk informasi, yang artinya juga rentan terhadap dampak-dampak yang muncul dari penyebaran atau publikasi informasi dan pesan-pesan.

Literasi Informasi Proaktif

Cukup beralasan jika hari ini literasi informasi menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Literasi informasi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengendalikan informasi-informasi yang diterimanya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif atas informasi yang dibutuhkannya dan mampu menggunakannya secara efektif dalam tingkah laku dan kehidupannya.

Dalam kaitannya dengan anak-anak, aktivitas literasi informasi adalah memberikan pengetahuan dan kecakapan kepada mereka dalam menyikapi informasi sekaligus menjadikannya bahan belajar. Kita sudah tidak bisa menerapkan cara melarang atau membatasi anak mengakses perangkat media (blocking the device). Faktanya, anak akan tetap mendapatkan informasi-informasi melalui orang lain di sekitarnya.

Metode yang bisa dilakukan dalam melakukan literasi informasi kepada anak adalah dengan pendampingan dan pemberdayaan. Pendampingan dalam mengkonsumsi informasi bisa dilakukan pada anak usia dini hingga memasuki masa pra remaja. Saat anak mengkonsumsi informasi, orang tua dapat melakukan pendampingan dengan memancing diskusi-diskusi kritis sesuai usia anak, agar anak memiliki kemampuan berpikir, bertanya dan observasi.

Sementara di masa remaja, karena kemampuan berpikir, analisa dan penarikan kesimpulannya mulai terbentuk, selain melalui pendampingan anak juga bisa didorong untuk memproduksi sendiri informasi yang sehat dan bermanfaat untuk diri dan lingkungannya. Misalnya dengan menulis, membuat film atau vlog atau cara lain yang sesuai dengan minatnya. Ini sekaligus dapat membantu anak mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya. Anak juga akan memiliki kesibukan yang memberikan manfaat pengetahuan, pengalaman, skill sekaligus aksi.

Literasi infomasi untuk anak juga merupakan sebuah proses belajar yang harus melibatkan berbagai pihak sebagai pembelajar. Seluruh anggota keluarga harus terlibat dalam proses literasi sebagai subyek yang belajar, guna membangun kesadaran bersama tentang penerimaan dan penggunaan informasi. Faktor kunci lain adalah komunikasi. Konstruksi komunikasi secara langsung dalam keluarga harus dibentuk, misalnya dengan menyediakan waktu setiap hari untuk berinteraksi dan berdialog. Dalam forum inilah diskusi antar anggota keluarga (Family Discussion) bisa dilakukan.

Keluarga yang sudah melek informasi akan memiliki perangkat literasi berupa pengetahuan tentang proses komunikasi massa, kesadaran akan dampak-dampak media, kemampuan untuk menganalisa kebutuhan informasi, mendiskusikan pesan-pesan, kecakapan-kecakapan produksi informasi yang efektif dan penggunaannya yang bertanggungjawab. Seluruh bekal itu akan digunakan untuk terus belajar mengendalikan informasi-informasi yang menerpa.

Karena di era masyarakat informasi hari ini, bersikap dan bertindak proaktif ketika berhadapan dengan terpaan informasi merupakan gaya respon yang lebih bisa dipilih ketimbang meresponnya secara reaktif. Sudah saatnya kita belajar untuk tidak lagi kagetan dalam menanggapi serbuan informasi.

Ariwan K. Perdana
Pengelola Media – Unit Pengembangan Sektor Pengetahuan dan Media
Yayasan SATUNAMA
 
*Artikel dimuat di Harian Bernas, Rabu, 12 April 2017 dengan judul Literasi Informasi Famili.

 

Foto : letaba346.blogspot.co.id

 

Tinggalkan komentar