Demokrasi Orang Biasa

Satunama.org – Hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survey mendaulat pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai yang terdepan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Ahok kalah dan dalam waktu yang segera, cerita tentang pencalonan seorang Ahok yang diasosiasi sebagai representasi minoritas akan menjadi sejarah. Bisa jadi sejarah, atau justru gerbang baru untuk kedewasaan berdemokrasi di Indonesia.

Beragam reaksi menyeruak dimana-mana atas hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta. Ada yang lega karena Anies menang dan ada yang patah hati karena Ahok yang sedang dicintai oleh pendukungnya itu kalah. Goenawan Mohammad mengatakan bahwa barangkali dalam sejarah politik di Indonesia, apa yang terjadi pada Ahok merupakan teknik membuat stigma yang paling berhasil.

Ada tuduhan menghina agama yang terus diulang, ada dakwaan dan tuntutan di Pengadilan dengan Undang-Undang Penistaan Agama yang diproduksi Orde Baru. Dalam hal ini, Ahok yang telah secara otonom memilih untuk maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pasti sudah menghitung resiko-resiko semacam ini. Hanya saja, mungkin tak pernah disangkanya bahwa ketidakadilan dalam proses pencalonannya akan sedemikian hebat.

Demokrasi Ketuhanan

Demokrasi yang kita cita-citakan, yang kita damba dan perjuangkan melalui reformasi pada tahun 1998 saat ini telah melewati satu ujian lewat Pilkada DKI Jakarta 2017. Anies bahkan mengatakan ini sebagai Perang Badar, sedemikian hebatnya ujian yang baru saja bangsa ini lewati.

Demokrasi yang kita pilih dengan sistem elektoral yang saat ini berlaku, tentu mengandung konsekuensi siap menang maka siap kalah. Tidak bisa memilih salah satu saja. Seperti orang yang sedang jatuh cinta, maka juga harus mau menerima kemungkinan ditolak oleh si pujaan hati. Namun ujian ini sudah selesai, ketegangan diyakini akan segera mereda.

Teman Ahok dan segenap pendukungnya pantas bersedih bahkan kecewa, tetapi tak semestinya berlarut-larut. Seperti pernah ditulis Pramodeya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia, digambarkan Minke yang mengeluhkan “Kita Kalah” kepada Ibunya, dan dengan bijak dijawab oleh Nyai Ontosoroh “Kita telah melawan, nak, nyo, dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya.” Ahok memang kalah, tapi jangan menunduk terlalu lama. Keberaniannya dan keputusannya maju sebagai calon Gubernur adalah teladan dalam berdemokrasi bagi sebagian orang Indonesia. Ahok telah menunjuk diri sebagai subyek dalam laboratorium demokrasi kita.

Setelah ini, setidak-tidaknya sampai menjelang Pilpres 2019 nanti, tidak akan lagi kita dengar suara dan cuitan di media sosial berbau politis dengan ayat-ayat agamis. Tidak ada lagi aksi dengan membawa nama Tuhan, dan kampanye di rumah ibadah. Tuhan yang sedemikian besarnya itu sudah dipaksa terlibat dalam Pilkada. Demokrasi kita masih Teokratis seperti pikiran Thomas Aquinas, yang meyakini bahwa segala sesuatunya bersumber dari Tuhan (Theos).

Pada satu sisi ada yang gemas pada pendukung Anies-Sandi karena menggunakan agama dan Tuhan sebagai strategi mendulang suara, sementara di sisi lainnya, ada pendukung Ahok-Djarot yang menerima kekalahan dalam Pilkada dengan menyatakan bahwa Tuhan memiliki kehendak lain. Sama saja, toh semua meyakini bahwa Pilkada adalah restu Tuhan, bukan atas restu orang biasa seperti kita semua.

Ancaman Keterputusan Elektoral

Harusnya demokrasi yang kita pilih dan dambakan adalah demokrasi milik orang biasa. Sebuah sistem pemerintahan yang mendaulat warga sebagai pemegang kekuasaan. Sisanya hanya wakil, hanya sarana, dan hanya alat untuk mencapai tujuan bersama kita bernegara : Kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demokrasi kita datangnya dari warga negara (citizenship) bukan dari Tuhan seperti yang bersama-sama kita lihat dari kasus Pilkada DKI Jakarta kemarin. Maka karena demokrasi ini berasal dari warga, siapapun yang menjadi Pemimpin harus berporos pada kepentingan warga. Warga DKI Jakarta yang harus dimenangkan dan berdaulat.

Pengalaman demokrasi yang sejauh ini terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa partisipasi warga hanya tinggi pada saat masa kampanye dan pemilihan saja. Beberapa daerah bahkan menunjukkan bahwa partisipasi pemilihnya cenderung rendah. Rakyat tidak tertarik untuk menjadi warga dan menggunakan hak pilihnya.

Padahal seharusnya tidak demikian. Partisipasi warga harus langgeng dari awal hingga akhir. Antusiasme publik terhadap kontestasi politik harus berlanjut sampai pada tahap memastikan bahwa setiap janji dan komitmen politik para calon terselenggara dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, maka kita boleh menagih pertanggungjawaban dari si terpilih.

Ini artinya pekerjaan sebagai warga negara baru saja akan dimulai untuk diuji. Ujian konsistensi namanya, apakah orang Jakarta mau mengawal Anies-Sandi dalam setiap gerak dan kebijakannya sebagai Kepala Daerah atau justru sebaliknya, memilih abai dan acuh. Keterputusan elektoral, dimana tidak ada relasi antara warga dan wakilnya pada titik ini mungkin juga terjadi karena ulah kita sebagai warga. Karena kita memilih menyerahkan sepenuhnya urusan publik kepada siapa pun wakil yang kita pilih, kemudian tenggelam dan kembali menjadi orang biasa sembari berpasrah bahwa semuanya Tuhan yang atur. Kita cuma orang biasa.[]

Valeri Beatae Jehanu
Staf Departemen Politik dan Demokrasi
Yayasan Satunama, Yogyakarta

Foto: Detikcom

Tinggalkan komentar