Penataan Perumahan Bantaran Sungai

Workshop Penataan Perumahan Bantaran Sungai Tahun Anggran 2017 telah dilaksanakan pada Kamis, (30/3) di Pesona Tugu Hotel Yogyakarta. Workshop dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jendral Penyediaan Perumahan, SNVT Penyediaan Perumahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ridwan Dibya Sudartha, SE  selaku Kepala SNVT Penyediaan Perumahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan bahwa hasil workshop harapannya  dapat diimplementasikan di tahun 2018. Untuk tahun 2017 ini, proses penataan perumahan akan dilakukan di Karangwaru, Segmen empat dengan perbaikan rumah sebanyak 50 unit.

Workshop ini untuk memberikan gambaran kepada pemerintah Kota Yogyakarta dan lembaga sosial lainnya tentang penanganan dan penataan kumuh di kota Yogyakarta terutama di bantaran sungai, karena walikota Yogyakarta juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Walikota No 216 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Kawasan Kumuh di Kota Yogyakarta.

Penataan Kawasan Kumuh

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jendral Penyediaan Perumahan memiliki program untuk penanganan kumuh dengan penyediaan perumahan. Ada 3 tipe penyediaan perumahan untuk penanganan kumuh.

Pertama, Rusun. Rumah susun ini dalam usulan pembangunan rusun harapannya ada desain dengan model kearifan lokal dari daerah masing-masing. Kedua, Rusus. Rumah khusus ini dapat menangani kawasan kumuh di bantaran sungai Kota Yogyakarta. Contohnya Kampung Deret yang dapat dikembangkan di kota Yogyakarta. Namun dari tahun ke tahun usulan yang disampaikan ke Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat baru rusun dan swadaya. Ketiga adalah Bantuan Rumah Swadaya. Bantuan Rumah Swadaya paling banyak diminati masyarakat, dengan sistem stimulan.

Proses untuk penyediaan perumahan di bantaran sungai tentunya membutuhkan kajian-kajian aspek baik dari ekonomi, sosial, budaya maupun kajian tentang status tanah. Masalah status tanah ini paling banyak dihadapi. Tidak hanya di Kota Yogyakarta saja tetapi masalah status tanah ini juga dihadapi di tempat lain.

Menurut Triastuti dari Pusat Studi kependudukan dan Kajian Perumahan (PSKKP) UGM, dari  tiga bantaran sungai Kota Yogyakarta  yaitu Winongo, Code dan Gajahwong memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Badan Perencanaan dan Pembangunan (BAPEDA) Kota Yogyakarta memberikan mandat kepada PSKKP UGM untuk melakukan kajian dalam penataan kawasan sungai.

PSKKP UGM telah melakukan kajian di wilayah RW 10 RT 47, 50 dan 51 kelurahan Patangpuluhan Yogyakarta yang berada di bantaran Sungai Winongo. Kajian tersebut tidak hanya melihat dari aspek fisik kawasan, namun juga aspirasi dari masyarakat. Secara umum masyarakat bantaran Sungai Winongo tersebut menyadari bahwasanya mereka tinggal di pemukiman yang kurang nyaman.

Komitmen dari masyarakat adalah mereka bersedia melakukan tanda tangan hitam diatas putih sebagai bukti bahwasanya mereka mau ditata. Hasil kajian tersebut nantinya akan menjadi masukan ke BAPEDA dalam proses perencanaan pembanguanan untuk penataan kawasan kumuh dan penataan lingkungan dengan konsep 60% hunian, 40% prasarana umum dengan konsep M3Knya (Mundur, Munggah, Madep kali). Karena menata kumuh itu tidak mudah dan tidak sederhana, apalagi di Indonesia. Kumuh itu tidak hanya dilihat dari kondisi rumah saja namun juga melihat dari aspek livelihood. Aspek livelihood berkaitan dengan dengan infrastruktur yang ada.

Ikatan Arsitek DIY jika disepakati akan menggagas membangun rusun di atas pasar. Rencananya akan membangun rusun di atas Pasar Lempuyangan atau membangun rusun diatas stasiun. Merealisasikan gagasan tersebut memang tidak mudah. Jika berbicara kumuh maka harus paham Undang-Undang dan sinergitas asetnya. Seperti misalnya jika membangun rusun diatas stasiun maka, sinergitas asetnya adalah rel kereta api milik Kementrian Perhubungan, stasiun asetnya milik PT KAI dan Rusun milik kementrian PU. Maka jika bicara kumuh harus paham undang-undang dan sinergitas asetnya.

Kumuh tidak hanya berkaitan dengan bangunan rumah tetapi  melihat kumuh harus dari berbagai konteks seperti terkait dengan tata ruang, tanah, infrastruktur, permukiman, pembiayaan, kelembagaan,dan regulasi. Jangan melihat kumuh dari rumah yang buruk, warga tidak mau diatur, dan lain-lain.

Integrasi Aspek Legal dan Potensi Lokal

KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) menjadi implementasi dari UU No.1 tahun 2011. Menurut Sodikhin selaku fasilitator KOTAKU kota Yogyakarta, menegaskan pentingnya mengintegrasikan aspek legal dengan mengakomodasi potensi lokal dari basis masyarakat, dalam menyususn perencanaan penataan pemukiman antara pemerintah, masyarakat, kelompok peduli dan perguruan tinggi, namun di Kota Yogyakarta memiliki kecenderungan masih berjalan sendiri-sendiri dan belum teradvokasi.

Tantangan yang dihadapi dalam upaya penanganan kumuh salah satunya terkait dengan status tanah. Status tanah milik pemerintah daerah akan jauh lebih mudah dalam mengkonsolidasikan untuk proses penataan kawasan dan pemukiman. Jika status tanah adalah sultan ground maka akan memiliki mekanisme yang lain. Pentingnya kolaborasi antara Bapeda Kota Yogyakarta, masyarakat dan lembaga sosial serta SNVT penyediaan perumahan Propinsi DIY untuk melakukan pendekatan dengan panitikismo-kraton dalam proses perijinan penyediaan perumahan yang menggunakan lahan dengan status tanah sultan ground.

Keberadaan lahan kososng di kota Yogyakarta semakin berkurang bahkan tidak ada, sehingga perlu strategi dalam penanganan penataan pemukiman.  Pemerintah kota harus sungguh-sungguh mengupayakan strategi dalam mensiasati tidak adanya ketersediaan lahan, maka bisa menggunakan ruang-ruang yang lain dalam penanganan penataan kawasan dan hal tersebut menjadi tugas dari Bapeda (Badan Perencanaan Daerah) untuk mendesainnya.

Upaya yang dapat dilakukan jika tidak bisa mencari tanah adalah mencari ruang. Ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan dalam penataan pemukiman di antaranya dengan membangun rumah atau tempat tinggal diatas pasar atau stasiun atau ruang yang lain. Kepala Daerah Kulon Progo, Bapak Hasto berkenan akan mencoba mengimplementasikan pemanfaatan ruang di atas pasar untuk dijadikan kawasan pemukiman dengan membuat rusun, dan tentunya akan ada peratuan daerah yang mengaturnya.

Luasan kumuh di Kota Yogyakarta seluas 287 hektar. Maka pendekatan kota tanpa kumuh harus kolaboratif dan model pendekatan serta hasilnya dapat masuk ke kelompok kerja penanganan kumuh. Pemerintah Daerah telah mengeluarkan SK Kumuh yang menjadi rujukan penanganan kumuh, maka dalam proses penanganan kumuh tersebut semestinya leading sectornya adalah pemerintah daerah. Pengalaman tahun 2015 dalam implementasi penanganan kumuh dengan anggaran dana sekitar 70 milyar, problem penanganan kumuh terletak pada perencanaannya yang belum utuh dan terintegrasi.

Dari hail workhop penataan perumahan bantaran sungai, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan, diantaranya pertama adanya penguatan kelompok kerja (pokja) yang terdiri dari pemerintah, LSM, kelompok peduli, perguruan tinggi, komunitas masyarakat untuk mengintegrasikan dan mensinergikan perencanaan kerja. Kedua, perlunya pembagian wilayah yang jelas untuk area intervensi. Banyak dokumen perencanaan, sehingga perlu ada dokumen yang terintegrasi dan komprehensif dan mampu diadvokasi dalam RPJMD.

Ketiga, perlunya data yang terintegrasi dan saling melengkapi terkait dengan informasi tentang status kepemilikan tanah. Keempat, perlu ada SK yang mensinergikan kegiatan sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri. Ada SK Integrasi dalam penanganan kumuh dan terkomunikasikan di Bapeda. Kelima, perlu adanya roadmap yang jelas yang disepakati dalam dokumen bersama, sehingga intervensinya jelas dan tidak ada kecemburuan. Keenam, perlunya memorandum untuk menyelesaikan kumuh secara bersama antara Dewan dan walikota sehingga mampu menyelesaikan kumuh secara bersama.

Ema Vidiastuti Utami
Staf Departemen Penguatan Masyarakat dan Desa
Yayasan SATUNAMA

Foto : Tommy Apriando/Mongabay

Tinggalkan komentar