Kemanusiaan dalam Diskursus Perempuan

Sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, tanggal 8 Maret 1914 mulai diperingati Hari Perempuan Internasional, meski konon salah satu peringatan Hari Perempuan pertama yang pernah dihelat dalam sejarah terjadi bukan pada tanggal 8 Maret, melainkan 29 Februari 1909. Namun selain urusan penanggalan, kita tentu sepakat bahwa esensi Hari Perempuan sebenarnya lebih terletak pada bagaimana momentum tersebut dapat membantu setiap orang untuk membentuk pola pikir, sikap dan perilaku diri yang bermuara pada kemanusiaan.

Salah satu persoalan kronis yang juga menjadi persoalan bersama dalam kehidupan kita adalah hilangnya karakter kemanusiaan sebagai manusia dalam diri kebanyakan orang. Orang bijak bilang bahwa seseorang harus menjadi manusia dulu sebelum memutuskan menjadi dokter, seniman, pebisnis, aktivis, akademisi, olahragawan, bupati, presiden dan sebagainya. Karena personalitas seseorang haruslah menjadi dasar kesadaran yang kuat sebelum bergerak menentukan rumusan identitas dirinya.

Potensi untuk menjadi manusia itu ada dalam diri setiap orang. Tinggal apakah dia cukup mampu menekan tombol aktivasinya. Nanti bila urusan personalitas ini sudah selesai dalam diri seseorang, dia hanya akan punya pilihan untuk menghormati dan menghargai manusia lain dalam kehidupan sehari-hari, apapun tampilan identitas yang dikenakannya.

Persoalan yang dihadapi kaum perempuan salah satunya adalah persoalan ketika orang harus memilih antara membangun kemanusiaan atau malah menggilas kemanusiaan, dan dia memilih yang kedua dengan menggunakan dalih yang pertama untuk kepentingannya yang subyektif. Ini terjadi di berbagai ruang lingkup masyarakat, dari bilik keluarga hingga semesta negara.

Banyak teori dalam berbagai perspektif serta kajian-kajian historis yang dibekali penggalian data yang mendalam tentang munculnya interpretasi-interpretasi atas kondisi dan prinsip tertentu yang menempatkan perempuan dalam wilayah-wilayah yang membuatnya tidak dapat bergerak sebagai manusia di banyak ranah.

Sebagai basis pengetahuan, kita bisa menggunakan teori-teori dan kajian-kajian itu untuk mencoba melacak akar kesalahkaprahan dalam memaknai kemanusiaan dan kaitannya dengan perspektif terhadap keberadaan perempuan. Kemudian melengkapinya dengan konstruksi pencarian solusi atas persoalan bersama ini. Dan ini harus dilakukan oleh setiap orang di berbagai posisi kekaryaan ataupun kewajiban.

Tapi pada akhirnya, masing-masing dari kita sebaiknya bisa dengan ikhlas memulai konstruksi pencarian solusi itu dengan memberlakukan self-critics atau kritik terhadap diri sendiri, merenungi dan menyadari bahwa jangan-jangan selama ini kita sibuk menghiasi diri dengan kesan keberpihakan terhadap kemanusiaan, perempuan, keadilan dan kesetaraan, tapi ternyata kita sendiri belum benar-benar beres menjadi manusia ketika berhadapan dengan kepentingan tertentu.[]

(Drawing by Ethel Schwabacher)

 

Tinggalkan komentar