Pengalaman “Main” Ke Jogja

Sebagai bagian dari masyarakat tentu kita sudah melihat bagaimana masyarakat itu bergerak, berubah dan beralih. Pergerakan dan perubahan itu terkadang muncul karena keadaan sekitar yang memaksanya. Kalau pergerakan dan perubahan yang selama ini kita ikuti hanya pergerakan dalam bidang fashion, tekhnologi, kesehatan, dsb maka kali ini kita akan membahas mengenai pergerakan masyarakat dalam “menguatkan” masyarakat lainnya. “Menguatkan” dalam artian membangun pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan/skill masyarakat agar bisa membantu masyarakat lainnya.

Pada zaman ini, rasanya bencana alam lebih sering muncul dan menghantui masyarakat kita. Baik mereka yang tinggal di daerah pesisir, pegunungan, bahkan di dataran rendah sekalipun. Sepertinya memang bumi sudah tua dan tidak sanggup untuk mengatasi kerusakan dirinya yang kebanyakan disebabkan oleh manusia yang tinggal di dalamnya. Rusak karena keserakahan, kecerobohan, kemalasan, dsb. Berawal dari sana masyarakat yang peka terhadap hal ini mencoba untuk membagikan pengetahuan yang mereka miliki untuk diterapkan masyarakat lainnya.

Beberapa waktu lalu, SATUNAMA, sebuah LSM di Kota Yogyakarta mengadakan pelatihan mengenai PRB (Pengelolaan Resiko Bencana) kepada anak-anak dari beberapa kampung mitra dan anak-anak yang tergabung dalam sebuah komunitas anak bernama Guyub Bocah. Kesadaran bahwa anak-anak adalah korban bencana alam yang paling rentan membuat SATUNAMA sebagai bagian dari masyarakat untuk memberikan pembekalan lebih lagi. Disana anak-anak dibekali tentang makna dampak, resiko, kerentanan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan bencana. Anak-anak dibangun kepekaannya agar bisa beradaptasi dan bertahan hidup di tempat tinggal mereka masing-masing dimana banyak dari mereka tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana seperti banjir dan gunung meletus.

Pelatihan ini mengharapkan adanya perubahan di dalam masyarakat tentang bagaimana cara mereka dalam menanggapi bencana alam. SATUNAMA khususnya divisi PM (Penguatan Masyarakat) sangat peduli terhadap hak-hak anak di Indonesia. Maka dari itu pelatihan ini juga untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang hak-hak mereka sebagai anak sekaligus penyintas (orang-orang yang terkena bencana) saat musibah terjadi. Anak-anak sebagai bagian dari masyarakat memiliki kemampuan/potensi untuk dapat meminimalisir dampak dari bencana yang terjadi.

Selain mengikuti pelatihan, saya juga mengunjungi warga Jogja di bantaran Kali Winongo. Saat itu adalah pertama kalinya saya “main” ke kampung di daerah pinggiran sungai. Memang sebelumnya saya juga pernah berkunjung ke sebuah kampung, yaitu Kampung Iklim di Kadipiro, Solo. Namun kampung yang terletak di pinggiran sungai memiliki suasana dan karakteristik masyarakat yang berbeda pula.

Jika masyarakat pada zaman dahulu hidup sangat bergantung dengan sungai, maka saat ini sungai dianggap hanyalah sebagai tempat pembuangan dan sebuah genangan air yang kapan pun bisa membawa bencana. Hanya sedikit masyarakat yang masih peduli dan ingin menjaga kali nya. Masyarakat yang peduli terhadap sungai akhirnya membentuk komunitas-komunitas, salah satunya adalah FKWA (Forum Komunikasi Winongo Asri) yang memiliki program bersama masyarakat di sekitar bantaran Sungai Winongo untuk bersama-sama menjaga dan membangun kawasan sungai yang lebih asri lagi.

Terkadang saat melakukan susur sungai saya mengalami beberapa hambatan kecil. Hambatan tersebut misalnya akses jalanan umum yang kurang baik karena licin dan sempit, banyaknya nyamuk karena seringkali masyarakat membuang sampah sembarangan dipinggiran sungai, dan keterbatasan informasi dari beberapa tipe narasumber.
Saat menggali informasi dari narasumber, saya agak kesulitan untuk menggali lebih dalam dari narasumber yang berjenis kelamin wanita atau ibu-ibu. Karena berdasarkan pengamatan saya setelah beberapa kali bertanya kepada narasumber wanita, mereka kurang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan karena kurangnya kegiatan berinteraksi dengan warga lainnya.

Sehingga pada intinya selama melakukan susur sungai, saya mendapati bahwa masyarakat yang hidup di bantaran sungai saat ini sudah mulai meninggalkan sungai. Meninggalkan kepeduliannya, meninggalkan hubungannya dengan sungai, dan lupa akan kejayaan sungai di masa lalu. Dan hal itu seharusnya menjadi beban kita bersama sebagai suatu masyarakat untuk dapat saling membangun diri demi kebaikan bersama.

Penulis : Maria Sara Kristi (Universitas Negeri Solo)

Tinggalkan komentar