Informasi Terserak di Pilkada Serentak

Pilkada Serentak 2017 akan digelar di lebih dari 100 wilayah di Indonesia. Ini tentu bukan episode yang sepele dalam perjalanan maturitas demokrasi negeri ini. Pilkada Serentak 2017 adalah pilkada kedua dari enam gelombang pilkada serentak dalam tahun-tahun mendatang, menyusul Pilkada Serentak 2015 yang menjadi embrionya.

Sebagai sebuah upaya belajar demokrasi elektoral sekaligus sarana untuk menggelar kontemplasi soal utopia kepemimpinan ideal yang tak kunjung mewujud, Pilkada Serentak 2017 seharusnya mendapat perlakuan yang tidak boleh sama dengan “kakaknya”, Pilkada Serentak 2015 dan seharusnya menjadi pijakan untuk memperlakukan “adiknya” yaitu Pilkada Serentak 2018 dengan sedikit lebih masuk akal baik dalam pemahaman kubah demokrasi electoral, kerapian penyelenggaraan hingga keseimbangan lalu lintas informasi yang terkait dengan penyelenggaraannya.

Disadari atau tidak, dalam keriuhan Pilkada Serentak 2017, ketersediaan informasi yang bisa seimbang dan bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya terasa jauh di luar jangkauan. Bukan hanya soal adanya kesulitan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang rekayasa atau apakah sebuah informasi itu benar atau samar-samar. Tetapi juga adanya kondisi di mana publik di daerah melalui media elektronik dan media sosial mendapat supply informasi yang lebih banyak tentang pilkada yang berada nun jauh dari tempat tinggal mereka.

Porsi pemberitaan tentang Pilkada Jakarta dengan segala bumbu-bumbunya yang mendominasi tayangan televisi di ruang-ruang keluarga dan layar-layar gadget smartphone para netizen belakangan ini terasa memberikan nuansa bahwa pilkada seolah hanya terjadi di Jakarta saja. Meski media bukannya sama sekali tidak menayangkan informasi pilkada di daerah lain, namun jika dibandingkan dengan event yang sama di Jakarta, penayangan informasi tentang pilkada di daerah seringkali terkesan hanya menjadi ornamen kelengkapan tayangan media agar terlihat demokratis tentang Pilkada Serentak. Atau kalaupun media daerah menayangkan informasi tentang pilkada di daerah, deru informasi dari Jakarta dirasa masih lebih membahana mengalahkan informasi dari wilayah lainnya.

Sekurang-kurangnya kita akan kehilangan dua hal dalam situasi semacam ini. Pertama adalah minimnya informasi terkait elemen-elemen pilkada di daerah yang sebenarnya juga layak menjadi konsumsi kita semua sebagai bahan pengetahuan tentang perhelatan Pilkada Serentak. Kedua adalah bahwa selama proses pemilihan seperti Pilkada Serentak, keragaman pandangan dan isu dalam penayangan berita nampak berkurang. Laporan tentang isu-isu penting lainnya semakin menciut jumlahnya. Kepekaan dan kepedulian publik terhadap peristiwa-peristiwa aktual dan faktual lainnya akhirnya menjadi tergerus.

Hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah bahwa sisi-sisi sensasionalitas pilkada yang tak jarang juga ikut diangkat telah mengalihkan perhatian publik dari substansi pilkada sendiri sebagai salah satu kanal pendidikan politik. Pemahaman publik soal politik akhirnya hanya berhenti di permukaan atau bahkan dapat memunculkan sikap apatis terhadap politik.

Media sebenarnya adalah sebuah sarana bagi kita semua untuk belajar mengolah keragaman, termasuk keragaman informasi. Sebagai sebuah institusi sosial, media dapat menjadi garda depan dalam pendidikan masyarakat lewat keragaman konten-konten yang disodorkannya, termasuk dalam soal pendidikan politik.

Maka dalam pemilihan umum seperti pilkada, gelontoran informasi yang berimbang seharusnya menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Dari sana publik akan mendapat dan mencerna informasi yang cukup sehingga kelak bisa memiliki pengetahuan untuk melakukan kontrol dalam menentukan wajah daerahnya sendiri pasca pilkada dalam polesan kepemimpinan orang yang dipilihnya.

Tinggalkan komentar