Mampukah Masyarakat Kelola Hutan?

Oleh : Agus Budi Purwanto
Aktif di Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA); NGO yang bergerak di bidang Kehutanan,
berkedudukan di Yogyakarta.

Akhir bulan Januari 2017, saya mengikuti satu diskusi kebijakan tentang Perhutanan Sosial di Jakarta. Salah satu pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan bahwa kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar yang akan diserahkan kepada masyarakat merupakan “bayar hutang Pemerintah”. Apa maksudnya? Karena selama ini, dari 130 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, 99 persen diberikan izinnya kepada perusahaan. Hanya 1 persen atau 1,3 juta hektar yang diberikan izinnya kepada masyarakat. Pemerintah Jokowi  mau mengalokasikan sekitar 10% kawasan hutan untuk dikelola masyarakat. Itu yang disebut sebagai bayar hutang atas ketimpangan yang selama ini terjadi.

Banyak kalangan yang optimis atas target tersebut, begitupun juga ada beberapa kalangan yang menyangsikan apakah masyarakat mampu untuk mengelola dan mempertahankan hutan jika hutan diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat? Saya mencoba berbagi cerita dari apa yang saya peroleh dari sebuah kampung di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi di mana masyarakatnya mengelola hutan dengan kearifan lokal yang mereka miliki.

Marga Pesanggrahan

Syeh Saidi Malin Samad yang bergelar Dipati Surau Kemalau Hakim adalah seorang ulama dari Pagaruyung Bukit Tinggi. Syeh Saidi hendak menyebarkan agama islam ke selatan. Sekitar awal tahun 1900an, beliau datang ke sebuah hamparan hutan yang tidak berpenghuni. Mendirikan surau atau mushola untuk sarana mensyiarkan agama Islam. Surau itu masih ada sampai sekarang di sebuah desa yang saat ini disebut Desa Lubuk Beringin. Syeh Saidi beserta keturunannya kemudian memimpin sebuah marga yang disebut Marga Pesanggrahan. Sebutan untuk pemimpin marga adalah Pesirah.

Pak Rahman salah seorang tokoh masyarakat marga Pesanggrahan menceritakan kepada saya, bagaimana Syeh Saidi beserta masyarakat Pesanggrahan berkebun di hutan secara arif. Mereka sadar betul bahwa hutan merupakan sumber kehidupan dan sumber kebatinan. Sumber kehidupan menyangkut ketersediaan air, ketersediaan sumber obat-obatan, ketersediaan sayuran dan buah-buahan, serta nutrisi hewani yang dibutuhkan. Sebagai sumber kebatinan, masyarakat Pesanggrahan mensucikan hutan dengan menghormati harimau sebagai simbol titisan leluhur mereka. “Jika berada di hutan, anda tidak boleh berkata dan berbuat tidak baik. Karena hutan adalah tempat suci”, ungkap Pak Rahman kepada saya.

Lubuk Beringin, yang sejak tahun 1979 dikenal sebagai sebuah desa administratif. Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan satuan-satuan masyarakat di seluruh Indonesia menjadi satu bentuk bernama Desa. seperti halnya Lubuk Beringin yang dulunya merupakan bagian dari wilayah Marga Pesanggrahan selain tiga wilayah yang lain yaitu Kandang, Lubuk Birah, dan Durian Rambun. Kandang bergabung jadi satu desa dengan Lubuk Beringin. Sementara Lubuk Birah dan Durian Rambun berdiri menjadi dua desa terpisah.

Tahun 1980an, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang pada intinya menyatakan tanah yang oleh negara ditetapkan sebagai hutan akan diurus oleh Negara, sedangkan tanah diluar itu merupakan tanah untuk penggunaan lain yang sebagian besar merupakan tanah milik.

Kedua kebijakan tersebut, baik UU Pemerintah Desa tahun 1979 maupun TGHK tahun 1980an senyatanya membuat tatanan masyarakat menemui kebaharuan. Penyeragaman satuan adat menjadi Desa oleh Yando Zakaria dalam bukunya Abi Tandeh (2000) bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia yang beraneka ragam. Dampaknya, masyarakat bawah dipaksa untuk menyelenggarakan kehidupannya dengan ikatan-ikatan baru yang dibuat oleh “orang luar”. Sementara itu, TGHK memaksa masyarakat untuk mengakui bahwa hutan yang selama ini dihidupi oleh mereka kemudian menjadi kawasan hutan negara yang dengan mudah dapat diserahkan pengelolaanya kepada pihak lain semisal perusahan-perusahaan kehutanan ekstraktif. Kontrol sosial politik dan kontrol atas sumberdaya alam senyatanya tercerabut dari masyarakat yang kemudian diambil alih oleh negara.

Kendatipun demikian, masyarakat Lubuk Beringin tetap melaksanakan apa yang mereka yakini sejak leluhurnya pertama kali bermukim di situ. Dengan berbagai tantangan eksternal, masyarakat Lubuk Beringin, Lubuk Birah, dan Durian Rambun tetap melaksanakan ketentuan Marga Pesanggrahan. Semisal, tiga desa tersebut masih merasa bersaudara karena sama-sama keturunan dari Syeh Saidi. Implikasinya, jika ada konflik personal antar desa tersebut, akan diselesaikan menggunakan mekanisme hukum adat. Dalam hal perkawinan, banyak sekali masyarakat tiga desa tersebut saling menikahkan anak-anaknya. Cara menghidupi kemargaan tersebut tercermin juga dalam pembagian sumberdaya alam hutan secara arif dan adil.

Meskipun dikatakan bahwa hutan sudah tidak lagi menjadi milik adat marga Pesanggrahan, masyarakat tetap menjaga hutan tersebut. Mitologi yang diyakini sebagai kebenaran soal leluhur mereka yang menjelma menjadi harimau tetap mereka hidupi. Ketika pak Rahman dan warga yang lain tersesat di hutan ketika melakukan “patroli hutan”, mereka justru mencari jejak kaki harimau, karena mereka yakini, jejak itu merupakan bimbingan dari leluhur untuk menuju jalan kembali kampung. Selain berkebun, mereka juga mengalokasikan hutan untuk tetap menjadi hutan utuh yang mereka sebut Lubuk Larangan. Mereka sepakat untuk tetap menjaga lubuk larangan dari kerusakan. Jadi tidak ada eksploitasi apapun atas lubuk larangan itu, baik itu ikan, burung, binatang buruan, maupun pohon, dilarang untuk diambil.

Bayar Hutang

Pasca reformasi, cara baru untuk kelola hutan mulai didesakkan kepada Pemerintah Indonesia. Periode 1970-2000 ketika hutan disebisa mungkin diserahkan kepada perusahaan baik swasta maupun BUMN, memunculkan fakta bahwa kerusakan hutan indonesia mengerikan. Dalam satu tahun, seluas 2x luas provinsi DIY hutan di Indonesia rusak. Di sisi lain, masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan yang menjadi penonton bagaimana sumberdaya hutan dieksploitasi tanpa mempertimbangkan resiko-resiko kerusakan lingkungan. Amanat UUD pasal 33 sepertinya luput dari pelaksanaan pada periode tersebut. masyarakat tetap miskin ditengah belantara sumberdaya hutan yang rusak.

Melihat hal tersebut, masyarakat Lubuk Beringin bersama dengan desa-desa yang lain pada medio kedua tahun 2000an mencoba merehabilitasi hutan yang telah ditinggalkan oleh Perusahaan HPH. Oleh sejumlah aktivis lingkungan, masyarakat didampingi untuk bertemu dengan Kementerian Kehutanan bermaksud mengusulkan hutan-hutan di desanya untuk dapat dikelola oleh masyarakat desa. perjuangan untuk menyelamatkan hutan ditempuh dengan jalan yang terjal, melalui audiensi, rapat-rapat, aksi demo, hingga praktek-praktek rehabilitasi lahan hutan bekas perusahaan.

Pada saat itu, Kementerian Kehutanan membuka peluang pelaksanaan perhutanan sosial dalam arti pengelolaan hutan oleh masyarakat. Beberapa skema diajukan oleh pemerintah misalnya Hutan Desa yaitu hutan yang dikelola oleh institusi pemerintahan desa; HKm yaitu hutan yang dikelola oleh kelompok masyarakat; HTR yaitu hutan tanaman yang dikelola oleh kelompok masyarakat. Berdasarkan kesepakatan masyarakat Lubuk Beringin, mereka bermaksud mengajukan skema Hutan Desa. pada tahun 2011, Lubuk Beringin dan beberapa desa yang lain menerima SK dari Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan di desanya “dicadangkan” atau dialokasikan untuk Hutan Desa. Karena ada kendala kapasitas masyarakat tentang teknik-teknik formal pengelolaan hutan yang menjadi syarat pengurusan perizinan pemanfaatan, maka proses tersebut sempat mandeg hingga akhir tahun 2015.

Episode Baru

Gayung bersambut, ketika Pemerintah Jokowi menjadi presiden mengumandangkan janji menyerahkan 12,7 juta hektar areal hutan untuk dikelola masyarakat, masyarakat Lubuk Beringin dan desa-desa sekitar bermaksud melanjutkan perjuagannya untuk “mengisi” SK Hutan Desa yang sudah didapat 4 tahun lalu. Ada 3 hal yang mereka lakukan.

Pertama, memandirikan diri dari ketergantungan pendanaan dari pihak luar dengan cara memasukkan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan desa dalam Rencana Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Sehingga dengan demikian, sumberdaya alam yang ada di desanya dapat dikelola secara mandiri oleh desa. Kedua, menyusun secara detail rencana pengelolaan hutan desa dengan tahap awal yaitu membuat peta kawasan hutan desa bersama-sama dengan desa lain secara partisipatif. Ketiga, melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif yang bersumber dari hutan desa, yaitu mengolah potensi buah kepayang untuk diolah menjadi minyak kepayang dan produk turunan yang lain. Mengolah kopi dan jahe untuk diproduksi massal.

Tiga kegiatan utama masyarakat Lubuk Beringin dan desa-desa lain tersebut dalam membangun hutan desa sangatlah luar biasa. Dan menurut saya, ini layak menjadi contoh bagi desa-desa lain yang juga memiliki sumberdaya hutan di desanya. Sejak diterbitkannya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, masyarakat dan pemerintah desanya mendapatkan kuasa yang sepenuhya untuk mengurus masyarakat desa beserta pembangunan-pembangunannya. Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam yang ada di desa patut untuk dijaga dan dikelola tidak hanya untuk kemakmuran masyarakat desa tetapi juga untuk menjamin kelestariannya.

Rencana kelola hutan sangat penting untuk secara teknis membantu masyarakat pengelola hutan menjalankan aktivitasnya di hutan. Pemetaan partisipatif membantu mengidentifikasi batas-batas antar desa, batas-batas antar hutan di masing-masing desa, sekaligus memetakan potensi apa yang patut dikembangkan dalam hutan desa tersebut. Rencana kelola hutan juga sebagai panduan tahapan bagaimana hutan dibangun dan dikelola.

Sementara itu, pengolahan buah kepayang dan kopi jahe menjamin kelangsungan peningkatan ekonomi masyarakat secara riil dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Pohon kepayang menghasilkan buah yang dalam istilah orang jawa disebut juga buah kluwek   saat ini sudah sangat langka. Di sisi lain, jika diolah menjadi minyak kepayang, rupanya mengandung zat omega 3 dan omega 6 yang dalam dunia kesehatan dapat meningkatkan fungsi otak terutama bagi janin dan anak yang sedang berkembang. Sebuah potensi yang sangat luar bisa jika hal ini dikembangkan sampai pada produk turunan yang lain.

Menurut saya, dengan 3 kegiatan utama tersebut, sangat sulit mengatakan bahwa masyarakat tidak bisa mengelola hutan. Ditambah lagi dengan masyarakat yang masih menghidupi hutan layaknya leluhur mereka Syeh Saidi yang konon sering bertransformasi menjadi Harimau Sumatera !

———-

Penulis saat ini menjadi Knowledge Management Specialist dalam Project Institusionalisasi Pengelolaan Hutan Desa yang dikerjakan oleh Konsorsium Satunama dengan pendanaan dari MCA Indonesia dengan lokasi project di Kabupaten Merangin, Jambi bekerjasama dengan G-cinDe, ARuPA, dan Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Tinggalkan komentar