Alam: Tremendum et Fascinosum

Hardono Hadi
Unit Manajemen Kualitas Yayasan SATUNAMA

Dari dulu hingga saat ini sampai selamanya, alam selalu menimbulkan rasa menggentarkan (tremendum) dan sekaligus mengagumkan (fascinosum). Orang bisa menikmati indahnya ombak yang bergulung dan berkejaran tiada henti, indahnya gunung berapi yang gagah perkasa dengan saputan asapnya yang berkesinambungan, angin sepoi yang menyejukkan dan menghilangkan kepenatan jiwa, hujan yang menyegarkan dan membersihkan manusia dari debu-debu kehidupannya, matahari yang menghangatkan dan memungkinkan kita menikmati permainan warna dalam kehidupan yang mengasyikkan, serta bumi yang menyangga dan menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia.

Namun di balik semua sajian yang disuguhkan alam itu, terdapat kedahsyatan daya yang sesekali menyentak kesadaran manusia yang terlampau lemah di hadapannya. Angin sepoi bisa mendadak sontak berubah menjadi badai. Riak air laut bisa menjadi predator tanpa ampun bagi apapun dan siapapun yang terperangkap di dalamnya, baik dalam areanya sendiri maupun dalam bentuk tsunami yang menjarah semua yang ada di daratan. Tanah longsor dan banjir bandang dalam hitungan detik mampu memporakporandakan seluruh tatanan yang telah dibangun manusia dengan susah payah dengan menguras daya dan sumber daya yang ada dalam kurun waktu yang panjang.

Alam mempunyai aturan, hukum dan mekanismenya sendiri. Bagaimana manusia bertindak dan bersikap terhadap alam merupakan pancingan terhadap mekanisme alam mana yang akan terjadi. Sikap dan tindakan manusia terhadap alam pun ternyata mengalami perkembangan dan perubahan dari jaman ke jaman. Manusia tradisional lebih bersikap berdamai dengan alam, dan cenderung melayaninya. Menyesuaikan diri dan bersikap taat terhadap tabiat alam. Ketulusan manusia diungkapkan dalam rasa hormat dan sungkan, syukur dan terima kasih atas kemurah hatinya; mencoba merayu dan meredakan alam yang tampak mulai bertingkah dan menunjukkan gejala kerewelannya dalam bentuk doa, permohonan, ritus dan tarian, korban dan persembahan.

Sementara manusia modern cenderung bersikap “adiguna, adigang, adigung”. Manusia modern merasa mempunyai ilmu untuk menguasai hukum alam dan mempunyai teknologi untuk menundukkannya, menguasai, menguras dan merampok kekayaannya. Kerakusan manusia yang didongkrak oleh kemajuan sains dan canggihnya teknologi justru melupakan bahwa apa yang dilakukannya merupakan pengkondisian yang memantik mekanisme, aturan, dan hukum alam. Alam hanya menyesuaikan diri dalam meresponnya, tanpa daya untuk mengubah keniscayaan yang akan terjadi.

Manusia sudah belajar dari kehidupan tradisional dan kehidupan modern. Tentu tidak dapat digebyah uyah mana model yang seutuhnya tepat. Pilihannya hanya memunculkan kearifan dalam memilah dan memilih unsur-unsur positif mana dari tradisi dan modernitas yang pantas dikembangkan, dan unsur negatif mana yang harus dinetralisir. Alam sudah ada sejak awal, tidak untuk dikutuk atau ditundukkan. Tapi untuk hidup kebersamaan secara elegan. Karena manusia sejatinya juga merupakan bagian dari alam.

Tinggalkan komentar