Gratifikasi, Ramah Tamah Yang Dikriminalisasi?

Gratifikasi, Ramah Tamah Yang Dikriminalisasi?

senoOleh : Aryo Seno Bagaskoro
Pelajar SMAN 5 Surabaya
Alumni Kelas Politik Cerdas Berintegritas 2016

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya bersahabat dan suka beramah-tamah. Banyak nilai-nilai budaya bangsa yang dapat diidentifikasi sebagai bentuk keramah-tamahan antar komponen masyarakat.

Kedekatan yang dibangun antar manusia Indonesia seringkali berangkat dari kedekatan antar-personal, yang sifatnya informal, dibandingkan kedekatan formal yang biasa digunakan oleh masyarakat-masyarakat yang termekanisasi.

Keramah-tamahan yang dibangun oleh masyarakat Indonesia ini biasanya diwarnai dengan pelekat relasi dalam bentuk benda material. Sejak jaman dahulu, buah tangan selalu diberikan di saat seseorang sedang bertamu ke kediaman saudara, kerabat, tetangga, rekan kerja, atau orang lain. Hal ini semakin lama terhabituasi dalam kehidupan bermasyarakat orang Indonesia, menjadi semacam budaya tak tertulis yang secara kacamata kepantasan, wajib dilakukan.

Dalam gaya hidup modern, kita mengenal istilah gratifikasi. Ada banyak pengertian gratifikasi secara umum, namun dari segi hukum, pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah : “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.” Kata kuncinya ada pada pemberian dalam arti luas. Maka dari sudut pandang hukum etika, gratifikasi tanpa lapor merupakan sebuah bentuk pelanggaran.

Dalam bernegara, pejabat publik Indonesia dituntut untuk menjalankan tugas dengan nilai-nilai keIndonesiaan agar dirinya tidak membuang asal usul negerinya. Agar angin politiknya tetap angin politik Indonesia. Gratifikasi dinilai mampu mempertajam konflik kepentingan yang ada pada diri seorang pejabat publik.

Gratifikasi dinilai mampu mempengaruhi orientasi kerja, objektivitas kebijakan publik, dan keberpihakan seorang pejabat publik pada pihak tertentu. Serta dapat menyebabkan bias dalam konteks keputusan-keputusan yang diambilnya atas nama negara yang sedang ia wakili. Sampai sekarang, batas bawah gratifikasi (nominal minimum suatu benda sebelum dapat dikategori gratifikasi) masih diwacanakan. Artinya, bahkan pulpen satu buah pun bisa menjadi gratifikasi apabila tidak dilaporkan.

Jika gratifikasi adalah bentuk pelanggaran karena bisa mengubah keberpihakan seorang pejabat publik terhadap sebuah instansi atau perorangan tertentu, maka koridor “pelanggaran” yang dimaksud lebih berbasis sudut pandang. Artinya, tuduhan kriminalnya, tidak bisa dibuktikan.

Kita jadi tahu seberapa sebetulnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap kualitas mental pejabatnya. Tidak bisa disalahkan juga, berhubung seringkali pemberian sedikit saja bisa mempengaruhi keseluruhan kerja seorang pejabat publik. Kejujuran dan integritas moral pejabat publik dalam melaksanakan kebijakan publik dan mengelola konflik kepentingan masih dalam kadar takut dihukum, belum sampai di kadar kesadaran. Masalah hadiah dan pemberian saja, masih perlu diancam pidana.

Selama kualitas mental dan integritas pejabat publik kita masih njedhog bawah, masih mudah diombang-ambing, maka karakter bangsa kita yang suka beramah-tamah hanya akan digunakan sebagai topeng untuk mempermulus kemunafikan saja. Selamanya kita akan menghadapi sebuah kontradiksi, di mana kebiasaan turun temurun bangsa kita selama ini dapat menjelma menjadi tindak kriminal yang mesti terus diawasi oleh para penegak hukum. []

Tinggalkan komentar