Perempuan di Parlemen Desa, Mungkinkah?

Keterwakilan perempuan di parlemen desa sejatinya menjadi mandat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sayangnya, isi rancangan peraturan daerah tentang BPD yang rencananya akan disahkan oleh DPRD Kabupaten Sleman pada Agustus 2016 belum mengatur keterwakilan perempuan. Mampukah mewujudkan keterwakilan perempuan tanpa affirmasi? 

Problem Keterwakilan

Kajian SATUNAMA 2016 menunjukkan, jumlah perempuan di lembaga BPD Kabupaten Sleman sangat rendah, hanya 2.4% atau 22 perempuan dari 920 total anggota BPD di 86 Desa. Sejumlah 22 perempuan tersebut tersebar di 21 desa. Artinya ada 65 desa yang tidak memiliki anggota  BPD perempuan.

Seperti halnya DPR/DPRD, BPD adalah lembaga strategis di tingkat desa sebagai penyambung kepentingan warga dengan pemerintah desa. Fungsi BPD diantaranya adalah membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan melakukan pengawasan kinerja  pemerintah desa. BPD merupakan lembaga strategis, karenanya keanggotaaan BPD perlu memperhatikan keterwakilan semua unsur warga, termasuk  perempuan.

Selama ini suara perempuan tidak hadir dalam menentukan keputusan publik di tingkat desa, sekalipun keputusan itu terkait kepentingan dan kehidupan perempuan. Misalnya, ketika membahas posyandu, anggaran PKK dan sebagainya. Kalaupun perempuan hadir dalam musyawarah desa, lebih sebagai formalitas dan tidak mampu memengaruhi. Perempuan biasanya lebih banyak diam, mendengarkan dan jarang yang lantang menyuarakan kepentingannya.

Mengutip model partisipasi Cornwall, dalam Spaces for Change? The Politics of Participation in New Democratic Arenas (2004), partisipasi dikategorikan dalam empat model. Hari ini model consultative dan presence lebih banyak dipakai. Misalnya perempuan hanya dimintai keterangan atau cukup hadir dalam rapat pengambilan keputusan. Sudah saatnya perempuan memiliki wakil permanen agar mampu menyuarakan kepentingannya. Inilah yang disebut sebagai partisipasi representative dan influence.

Tidak mudah mendorong keterwakilan perempuan di parlemen desa. Ada beberapa faktor, tidak ada kebijakan yang mengatur atau memberikan affirmative action (perlakuan khusus sementara) bagi perempuan untuk menduduki kelembagaan strategis di level desa, termasuk di BPD. Faktor lainnya adalah budaya, masyarakat menganggap perempuan lebih cocok di ruang domestik/privat, mengerjakan 3 M saja, masak, macak, manak. Anggapan ini diperkuat dengan tafsir diskriminatif atas dalil-dalil agama. Misalnya laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin dibandingkan perempuan.

Hal lain adalah sulit menemukan perempuan yang memiliki kapasitas memadai. Ini tidak terlepas dari sejarah perempuan, selama 30 tahun lebih, Orde Baru melokalisir perempuan hanya pada soal-soal domestik/kerumahtanggaan. Perempuan tidak terbiasa berpikir hal-hal strategis dan politik. Merawat, mendidik, mendampingi suami adalah tugas-tugas pokok perempuan yang dibakukan dalam PKK, Dharma Wanita dan sebagainya. Hal demikian bahkan diwariskan hingga hari ini.

Kalaupun perempuan siap menjadi pemimpin, seringkali gamang karena khawatir tidak  mampu  membagi waktu antara yang domestik dan publik. Bagaimanapun, dalam budaya patriarki yang masih setia kita anut, perempuan dilekatkan dengan tanggung jawab domestik, memasak, mencuci, merawat dan mendidik anak. Ketika perempuan memutuskan berkarir, maka ia dituntut bisa  membagi waktu secara bijak, hal demikian tidak berlaku bagi lak-laki. Inilah yang disebut sebagai double borden atau beban ganda bagi perempuan.

Dengan kondisi ini, tentu saja sulit mendorong perempuan berada pada pusat pengambilan keputusan. Ibarat perlombaan lari, garis start perempuan di belakang laki-laki, jika diterapkan aturan yang sama, maka sulit bagi perempuan untuk bisa mencapai garis finish secara bersama.

Solusi Keterwakilan

Kabupaten Sleman bisa menjadi yang terdepan dalam mendorong terwujudnya keterwakilan perempuan di parlemen desa. Pansus BPD perlu memuat hal-hal sebagai berikut: pertama, memasukkan kuota 30 persen perempuan baik dalam keanggotaan BPD maupun penyelenggara pemilihan BPD. Kedua, dengan cara pemilihan langsung maupun musyawarah mufakat, mekanisme yang dibuat perlu menjamin keterwakilan perempuan. Ketiga, peningkatan kapasitas bagi anggota BPD agar mampu berperan maksimal, menjadi jembatan bagi warga dan pemerintah desa dalam merumuskan kebijakan yang adil untuk semua warga.

Upaya mengubah kultur masyarakat patriarki menjadi lebih adil gender perlu terus dilakukan. Namun, perekayasaan politik melalui affirmative action lewat kebijakan adalah keharusan. Kabupaten Sleman bisa menjadi model dan prototype bagi wilayah lain dalam mendorong terwujudnya keterwakilan perempuan di parlemen desa.

Nunung Qomariyah
Koordinator Desk Perempuan dan Politik
Departemen Politik Demokrasi Desa
Yayasan SATUNAMA Yogyakarta

Tulisan dimuat di Tribun Jogja, Rabu, 10 Agustus 2016

Tinggalkan komentar