Kunjungan Belajar warga Asmat di Yogyakarta

Asmat Study Visit to Yogyakarta

[photo1]

From July to August 3 representatives from Asmat undertook an internship at SATUNAMA. Rodan Omoma (44), Yustinus Yasi (43), and Pius Woyokai (44) stay in Yogyakarta as part of the ‘Toward the Well being of People through a sustainable ecosystem in Asmat’ program held by SATUNAMA, Agats Diocese, Papua, and Misereor from Germany.

‘The goal of this program is to help people in Asmat enjoy self-determination. This internship will be followed by a 6 month assistance program that maybe extended. These three representatives from three sub-districts from Agats stayed in Jogja for three months. They learned about livelihood and culture outside Papua. They learned about organizing their community and managing programs that will be useful when they go back to Asmat. They will introduce critical thinking to achieve better lives considering the relationship between their environment and their community,’ Frans Tugimin, SATUNAMA Director explained. He also said that this people empowerment program is held in Papua because that region is one of the poorest areas in Indonesia, but ironically is rich with natural resources.

Asmat community is geographically isolated and its people have a subsistent economy are unused to financial management and are marginalized by residents originally areas outside Papua. ‘This program persuades Asmat people to be aware that they are faced globalization. They have to consider the extra skills they need to compete outsider who have more experience. We are concerned about the laerge number of Asmat people that don’t have financial management skills. They hunt and gather their food daily without think about saving food. They will spend what they get today.’

Frans also commented on the Asmat habit to sell sago, fish, shrimp, or other forest product at a cheap price then trade that for cigarettes, instant noodles, and tinned sardines. In his opinion this makes Asmat people dependent.

’In Asmat, I carve statues and panels from iron wood and sell that to tourists or the goverment. My wife and I also earn a living by gathering sago and fruit from the forest or collecting shrimp like my parents did. If I get a lot of food, I sell some at the district market then use the money to buy cigarretes, sugar, coffee, and salt,’ said Rodan. These people mostly earn their living from hunting and gathering as their ancestors did.

[photo2]

’In Jogja we learned about many things. Beginning with making food calendar to understand about the kinds of food that we can get each season. From that calendar we know which seasons provide a lot of food and which ones are insecure. We can anticipate that by saving or preserving food we can have enough food for the whole year,’ Yustinus explained.

The three representatives spent approximately two weeks living with farmers in Kulonprogo an fishermen in Cilacap to practice food processing skills that they can save food for the long term.

’We also practised how to process coconut sugar. It is easy to make and we could easily get the raw material in our kampong. We also learned about how to can fish and make fish paste,’ said Yustinus.

He also added that in Yogyakarta they had an opportunity to observe farming patterns that are more organized effective than farming areas in Asmat.

One of the big problems in Asmat is a high birth rate. On average, mothers in Asmat have six children. Some of them have twelve children. This condition means that there is a double burden on women because they divide their time between taking care their children and handling domestic jobs as well as collecting food. To address that problem, at this apprentice session there was a discussion about reproductive health to reduce the birth rate.

The representatives have now returned to Asmat. SATUNAMA staff will help them to make further plans and apply as much as possible the things that they learned in Jogja.

‘Outsiders always think that the Asmat people are uneducated and left behind. No. That’s wrong. We know less because no body taught us. We poor because we don’t have mentors to teach us how to utilize our natural riches. I hope that after we learn a lot of things from SATUNAMA, we can practice that in Asmat and make our homeland better,’ Rodan said.

LutfiKunjungan Belajar warga Asmat di Yogyakarta

[foto1]

Sejak Bulan Juli hingga minggu kedua Agustus lalu tiga orang wakil dari Asmat, Papua, magang di SATUNAMA. Rodan Omoma ( 44 th), Yustinus Yasi ( 43 th) dan Pius Woyakai( 44 th) berada di Yogyakarta sebagai bagian dari “Program Menuju Kesejahteraan Masyarakat Melalui Keseimbangan dan Keberlanjutan Lingkungan di Asmat”, yang merupakan kerjasama antara SATUNAMA, Keuskupan Agats, dan Misereor Jerman.

“Program ini mempunyai tujuan jangka panjang untuk memandirikan Asmat. Magang ini merupakan awal program pendampingan 6 bulan (yang rencananya akan diperpanjang). Tiga orang wakil dari tiga kecamatan di Agats ini berada di Yogyakarta selama tiga bulan. Kunjungan belajar ini selain untuk menambah pengetahuan mengenai penghidupan sekaligus juga untuk mengenal budaya di luar Papua. Di sini ketiganya belajar mengenai bagaimana menjadi pengorganisir masyarakat dan mengelola program supaya setelah kembali ke Asmat mereka bisa mengajak masyarakatnya untuk berpikir kritis dan hidup lebih baik dengan tetap mempertimbangkan lingkungan di mana mereka tinggal,” tutur Frans Tugimin, Direktur SATUNAMA. Ia juga menambahkan jika program pemberdayaan masyarakat ini dilakukan di Papua karena wilayah tersebut merupakan daerah yang masih sangat tertinggal di Indonesia, yang ironisnya merupakan wilayah dengan sumber daya alam amat kaya.

Secara geografis masyarakat Asmat terisolir dan hidup sangat tergantung pada alam. Masyarakat ini juga tidak terbiasa dengan pengelolaan keuangan, khususnya untuk menabung, sehingga mereka terpinggirkan oleh kedatangan masyarakat dari luar Papua. “Program ini dipakai untuk mengajak warga Asmat supaya mereka menyadari jika mereka berada di tengah-tengah globalisasi. Mereka harus peka dan memiliki ketrampilan serta kebijaksanaan supaya tidak mengalami syok karena harus bersaing dengan para pendatang yang lebih berpengalaman. “Kami prihatin melihat banyaknya warga Asmat yang tidak bisa memiliki kesadaran dan ketrampilan pengelolaan keuangan. Mereka menggantungkan kebutuhan hidup sehari-hari dari mengumpulkan hasil hutan dan tidak memiliki prinsip menabung. Apa yang didapat hari ini cenderung akan dihabiskan saat itu juga.” Frans juga menyayangkan kebiasaan masyarakat Asmat untuk menjual sagu, udang, sayuran atau produk dari hutan dengan harga murah untuk ditukar dengan beras, mie instan, rokok, dan sarden kalengan. Menurutnya hal tersebut membuat warga Asmat tidak memiliki kedaulatan pangan.

“Di Asmat, saya membuat patung dan papan panel dari kayu besi untuk dijual ke turis atau pemerintah. Hari lain, saya dan istri pergi ke hutan untuk mencari sagu dan buah-buahan atau mencari udang seperti cara bapa dan mama dulu mencari makan. Sekarang kalau dapat banyak makanan sebagian dijual di pasar kecamatan atau kabupaten. Uangnya nanti dipakai untuk membeli gula, kopi, dan garam,” tutur Rodan. Masyarakat Asmat ini rata-rata hidup dari mengandalkan kekayaan alam sekitarnya. Mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cara berburu dan meramu, mengikuti cara orangtuanya mencari makan.

[foto2]

“Kami belajar banyak hal di sini. Mulai dari membuat kalender pangan, melihat musim dalam setahun, dan makanan apa saja yang bisa kami peroleh saat itu. Dari masa-masa tadi kami membagi mana musim banyak makanan dan mana musim rawan pangan sehingga kami mencoba untuk menabung supaya tetap ada makanan. Lalu kami juga belajar mengenai cara mendesain lahan yang baik,” tutur Yustinus.

Selain mendapat teori mengenai berpikir kritis dan kepemimpinan, ketiga warga Asmat ini juga tinggal di rumah petani dan nelayan di Kulonprogo dan Cilacap untuk menjalankan praktek langsung tentang cara mengolah bahan mentah. Selama ini sebagian besar masyarakat Asmat hidup dari mengumpulkan bahan makanan dari alam. Praktek yang mereka pelajari tersebut bertujuan supaya mereka bisa mengolah makanan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu lama. “Kami juga praktek langsung cara membuat gula kelapa. Caranya mudah, dan di kampung kami ada banyak kelapa yang belum dimanfaatkan. Setelah itu ada cara pengawetan ikan, juga pembuatan terasi yang kami bisa lakukan nanti di Asmat,” tutur Yustinus. Ia juga menambahkan jika di Yogya mereka memiliki kesempatan untuk mengamati pola pertanian yang lebih tertata dan efektif. Yustinus melihat jika tanaman jagung ditanam dengan rapi berbeda dengan jagung di Asmat yang dibiarkan tumbuh.

Salah satu permasalahan di masyarakat Asmat adalah tingginya angka reproduksi. Seorang ibu di Asmat rata-rata memiliki enam orang anak. Beberapa bahkan ada yang mencapai 12 orang anak. Banyaknya anak ini menyebabkan seorang perempuan menanggung beban ganda karena waktunya terkuras untuk mengurus anak, dan ia masih harus mengerjakan urusan domestik sekaligus mencari makan dengan cara memangkur sagu, mencari udang, dan berjualan di pasar. Untuk itu dalam proses magang ini ada sesi belajar kesehatan reproduksi untuk mengurangi laju kelahiran.

Minggu kedua bulan Agustus ini peserta magang dari Asmat pulang ke daerahnya masing-masing. Selanjutnya staf SATUNAMA akan mendampingi mereka untuk membuat perencanaan dan menerapkan sebanyak mungkin hal-hal yang mereka pelajari di Yogya. “Selama ini orang luar Asmat selalu menganggap kami bodoh, kami terbelakang. Tidak. Itu salah. Kami tidak tahu apa-apa karena tidak ada yang mengajari kami. Kami miskin karena tidak ada guru yang bisa mengajari kami bagaimana cara memanfaatkan alam kami yang kaya. Saya ingin, supaya nanti setelah mendapat banyak hal dari SATUNAMA, ada banyak hal dari Asmat yang bisa berubah menjadi lebih baik,” tutur Rodan.

Lutfi

Tinggalkan komentar