Demokrasi Alat Kontrol Urusan Publik

Tema demokrasi dan kesejahteraan mengemuka dalam salah satu sesi Perencanaan Strategis 20 Tahun SATUNAMA, Selasa (21/6). Narasumber Hasrul Hanif dari Fisipol Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa pada 2013 UGM bekerjasama dengan Oslo Coalition Swedia mengadakan penelitian tentang democracy accessment yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana demokrasi mengalami kemajuan dan mencoba menariknya ke arah isu kesejahteraan.

“Ini merupakan expert survey yang dilakukan di 30 kabupaten kota di seluruh Indonesia. Kepentingan pertama penelitian ini adalah untuk melihat perkembangan demokrasi sehingga dapat digunakan untuk melakukan advokasi demokrasi.” Ungkap Hanif.

Permasalahannya kemudian, jika melakukan penelitian demokrasi di Negara-negara Eropa, soal demos dalam demokrasi sudah tidak menjadi masalah, karena di sana memang ada citizen. “Soal citizen ini apakah ada atau tidak di Indonesia? Ketika kita solider kepada umat atau jemaat tapi kita tidak membayar pajak karena itu kana dibagikan kepada orang yang berbeda etnis dan agama, apakah orang Indonesia punya konsep tentang warga negara?”ujar Hanif.

Hanif juga menyebutkan bahwa demokrasi bukan hanya soal presiden yang dipilih secara fair. Demokrasi adalah juga soal kontrol rakyat terhadap urusan publik. “Itu sebabnya perlu diketahui tentang hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan. Apakah republik hadir atau tidak dalam konteks ini.” Katanya.

Ada perkembangan menarik dalam kebebasan politik dan kebebasan sipil, namun tidak berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan bermasalah dalam hal akuntabilitas atau belum mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik. Ada kerinduan terhadap konsepsi negara kesejahteraan. Dalam penelitian disebutkan bahwa 65% orang mengatakan bahwa jika ada permasalahan, negaralah yang seharusnya menyelesaikan. Faktanya, masyarakat sendiri yang menyelesaikan.

“Misalnya ketika ada sekolah ambruk. Harusnya negaralah yang menyelesaikan. Faktanya masyarakat sendiri yang menyelesaikan dengan berbagai alasan.” Kata Hanif sembari menambahkan bahwa selama ini pembicaraan soal isu bersama, soal kesejahteraan lebih banyak didorong oleh orang-orang dari organisasi masyarakat sipil, ketimbang oleh masyarakat politik.

Di sisi lain, ketika layanan publik menjadi isu publik, hal ini kemudian ditangkap oleh aktor pilitik untuk kepentingan elektabilitas. Ada kecenderungan politik di Indonesia bergeser ke arah politik berbasis figur. Populisme adalah modal politik. “Ketika ada masalah, pemimpin menyelesaikan sendiri tanpa memperhatikan proses penyelesaian masalah secara kelembagaan. Dia melupakan pihak-pihak yang berkaitan.” Demikian Hanif.

Gagasan tentang kewarganegaraan ini juga mendapat tantangan ketika masyarakat masuk ke dalam realitas multikultur. “Bayangkan jika masyarakat desa menghadapi pendatang baru di wilayahnya yang ritme hidupnya berangkat jam 8 pagi dan pulang jam 8 malam tanpa pernah ikut gotong royong atau ronda. Ini adalah perubahan fakta sosial. Pembicaraan tentang multikulturalisme menjadi penting karena sampai saat ini masih menjadi persoalan yang belum selesai.” Tutup Hanif. []

Penulis : Ariwan K Perdana

Tinggalkan komentar