Memaknai Hari Kartini Dengan Lebih Kekinian

Setiap tanggal 21 April negeri ini memperingati Hari Kartini. Peringatan Hari Kartini biasanya ditandai dengan pemakaian pakaian daerah yang biasanya berwujud kebaya bergaya nasional. Pemaknaan atas Hari Kartini di masa sekarang tentunya telah berbeda dibandingkan sebelumnya. Talkshow Pelangi Indonesia di Radio SATUNAMA 855 AM Yogyakarta edisi selasa, 19 April 2016 berbicara tentang bagaimana memaknai Hari Kartini di masa kini. Talkshow dipandu oleh Dina Widhikirana dari Radio Satunama dengan narasumber Valentina Wiji dari Yayasan Satunama Yogyakarta.

Wiji mengatakan bahwa peringatan Hari Kartini yang ditandai dengan pemakaian pakaian daerah yang biasanya berwujud kebaya bergaya nasional bukanlah sebuah pemaknaan yang tepat  “Pada setiap tanggal 21 April pada Hari Kartini biasanya perempuan didorong untuk melakukan sesuatu untuk menandai atau memperingati Hari Kartini. Kantor-kantor meminta atau memerintahkan pegawainya untuk mengenakan pakaian daerah. Biasanya kebaya yang bergaya nasional. Sebetulnya saya tidak paham yang bergaya nasional itu yang seperti apa.” Ungkap Wiji

Ia juga kemudian merefleksikan pengalamnnya semasa kecil ketika Hari Kartini tiba di mana kaum perempuan lebih didorong melakukan hal-hal yang sangat dekat dengan ranah domestik atau rumah tangga misalnya lomba memasak, lomba merangkai bunga dan macam-macam yang lainnya.

“Kalau direnungkan kembali malah seperti upaya atau langkah yang menempatkan perempuan di ruang-ruang domestik, bukan seperti yang dipahami atau yang disuarakan atau dituntut Kartini lewat surat-suratnya. Misalnya bahwa perempuan didorong untuk memegang atau terlibat dalam urusan kemasyarakatan, kebangsaan, yang melampau urusan-urusan domestik itu tadi.” Kata dia.

Wiji kemudian mengungkapkan bahwa ada banyak perempuan lain yang juga berperan dan berjuang di negeri ini, mereka semua adalah pahlawan. “Kalau dikaitkan dengan keragaman Indonesia, kenapa yang sering disebut hanya Kartini saja? padahal ada banyak perempuan lain dalam sejarah kita seperti Cut Nyak Dien, Cut Muetia, Laksamana Malahayati, Dewi Sartika yang mengambil peran mengupayakan pendidikan yang lebih baik bagi perempuan. Mereka juga tidak hanya memperjuangkan sebatas kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, namun juga kemanusiaan yang seutuhnya. Jadi kalo yang disebut hanya 21 April rasa-rasanya ada yang kurang.” Tambahnya.

Lalu mengapa Kartini bisa lebih menonjol dibandingkan yang lainnya? Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya pernah berkata bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan kehilangan di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hal ini juga ada kaitannya dengan Kartini, mengapa ia lebih menonjol dari yang lain dan lebih banyak diketahui oleh orang banyak. Dina Widhikirana menuturkan bahwa hal ini ada kaitannya dengan tradisi menulis.

“Entah itu valid atau tidak, entah sudah diklarifikasi atau belum tetapi ada banyak surat-surat beliau yang ditemukan. Kebiasaan Kartini menulis membuat pikirannya terekam dan hingga saat ini masih bisa kita akses. Sesuatu yang sekarang ini secara umum justru cenderung pudar.” Jelas Dina.

Wiji menambahkan bahwa dalam keragaman tradisi yang ada di Nusantara, pada masa lalu perempuan tetap punya ruang, kedudukan, martabat yang setara dengan laki-laki dan kemudian  hadir untuk menyumbangkan seluruh tenaga, pikiran, waktu, demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

“Saya bayangkan ketika itu Cut Nyak Dien ada di latar komunitas yang beragama Islam, kemudian Kristina Tiahahu berada di komunitas yang beragama Kristen. Meskipun memiliki latar belakang yang berbeda namun mereka berdua sama-sama tidak terkungkum dalam keperempuanan. Sesuatu yang kalo kita renungkan kembali justru itu yang hilang dalam konteks saat ini.” ujarnya.

Menurut Wiji kita saat ini justru mengalami kemunduran, ada beberapa tempat dan contoh yang kemudian membuktikan kemunduran itu. Saat ini justru di beberapa tempat kita mengalami legislasi atau penyusunan peraturan perundangan, termasuk peraturan daerah yang justru tidak menghormati martabat perempuan sebagai manusia yang setara. Karena sekarang ini yang muncul justru peraturan-peraturan yang bukan menjunjung perempuan dengan segala potensi yang ia miliki untuk disumbangkan kepada bangsa dan negara tapi justru dibatasi.

“Padahal kalau bicara soal ruang partisipasi perempuan, jika para perempuan-perempuan pejuang kita ini dulunya tidak memiliki ruang, mungkin kita tidak akan memperoleh kemerdekaan seperti sekarang ini.” Ujar Wiji.

Mengenai peran dan partisipasi perempuan di ruang publik, Dina dan Wiji sepakat mengenai ketidak sempurnaan seseorang sebagai manusia, namun bukan sebagai penarikan hak-hak asasinya untuk terlibat di ruang-ruang publik.

“Kalo bicara soal ruang partisipasi perempuan tidak mungkin seseorang yang berpartisispasi di publik selamanya akan sempurna, tidak melakukan hal-hal yang keliru. Sebagai apresiasi terhadap manusia yang seutuhnya perempuan juga sama dengan laki-laki ketika di ranah publik juga kadang melakukan kekeliruan yang manusiawi.” Ungkap Wiji

Ia kemudian melanjutkan bahwa di sila ke-4 kita punya kebiasaan, tradisi, nilai, tentang musyawarah mufakat yang di dalamnya mengasumsikan bahwa semua orang yang hadir punya posisi yang setara untuk menyampaikan pendapat.

”Namun sayang kita sering lupa akan hal itu. Dalam banyak pengalaman yang kita miliki, orang bukan mendengar apa yang dibicarakan tetapi melihat siapa yang berbicara. Kalau yang berbicara laki-laki biasanya akan lebih didengar daripada perempuan. Perempuan dianggap tidak lebih cendekia dibanding laki-laki. Di berbagai media cetak maupun elektronik, sebagian besar narasumber yang diambil oleh media masa dalam banyak sektor kehidupan, bahkan hal-hal yang terkait dengan perempuan yang bicara adalah laki-laki. Masih dikatakan lemah kemauan media untuk menghadirkan narasumber perempuan. Padahal dari taraf keilmuan mestinya tidak ada keraguan terhadap taraf keilmuan perempuan untuk seperti taraf keilmuan laki-laki.” Urai Wiji.

Jika dikaitkan dengan kekinian maka Hari Kartini seharusnya dimaknai sebagai sebuah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan mengenai bagaimana seseorang berekspresi, memperoleh pendidikan dan hal-hal lainnya. Beberapa sekolah saat ini telah mengganti tema Kartini dengan tidak lagi mengenakan kebaya tetapi pakaian cita-citaku.

“Sudah tidak jamannya lagi ada label-label yang membatasi mengenai cara berpaikaian serta waktu-waktu beraktivitas di ruang publik, karena Indonesia ini sangat luas. Tanggal 21 April masih perlu sebagai penanda tetapi harus diperkaya lagi maknanya.”

Wiji juga menambahkan bahwa kita tidak boleh lupa bahwa Indonesia memiliki begitu banyak perempuan pejuang yang dengan seluruh dayanya mengabdikan perjuangan untuk kemanusiaan laki-laki dan perempuan. Bukan kemudian kita buat hari-hari ini menjadi label yang justru tidak memuliakan harkat dan martabat perempuan dan malah diatur dan dibatasi dengan hal-hal yang tidak maknawi, hanya permukaan.

“Kalau kita terus-terusan meributkan hal-hal itu kapan kita maju. Padahal potensi perempuan Indonesia jauh melampau hal-hal itu. Mari kita menjunjung martabat sebagai perempuan Indonesia yang memiliki hak sebagai manusia nusantara dengan semua potensi yang ada, bukan justru diarahkan untuk seragam.” Tutup Wiji. []

Penulis : Bella (Mahasiswa magang dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Penyunting : Ariwan K Perdana

 

Tinggalkan komentar