Upacara Petik Laut “Sebuah Tradisi: Dari, Oleh dan Untuk Nelayan“

Ceremony Of Petik Laut “Tradition: From, by and for Fishermen”

From the 10th–13th January 2009, as part of the cross-cutting issues of ‘Nurturing Democracy through Interfaith’ and ‘Intercultural Cooperation’ programs of SATUNAMA, 10 representatives of Beji, Gunung Kidul district accompanied by 2 SATUNAMA staff made a cultural visit to Banyuwangi, East Java. The event was a folk ceremony of coastal people at Kedongrejo, Muncar, Banyuwangi district, East Java, called Petik Laut meaning ‘to thank God for the fortune received by fishermen communities given through nature, especially the sea.’

Today Petik Laut is also used as a vehicle for sustaining the culture and traditions of fishermen communities in Muncar sub-district of Banyuwangi. Moreover, Petik Laut is being used as the means to re-explore local potential through local arts and various competitions that involve most of the community members of Muncar. The range of activities include a night market and other entertainment. The community also decorated dozens of boats costing
almost 1 billion rupiahs.

The peak of the ceremony happened on the 12th of January 2009, marked with ‘nglarung sesaji’ (‘to throw offerings’) that was filled in a ‘gitik’ (a miniature boat filled with offering of flowers and food, fruits, money, chickens, fishes and even gold). One gitik can be worth between 5-10 million rupiahs.

The procession started with carrying the gitik from Kedungrejo’s head village leader’s house accompanied by a drum band from an elementary school, followed by other groups of women and children with traditional costumes of Banyuwangi. The Governor and Vice Governor of East Java, Banyuwangi District Head and other local officers participated in the event.

In her speech, the District Head, Ms. Ratna, expressed hope that in the future there would be more entrepreneurs from Banyuwangi itself, not only from Surabaya. She also hoped that in the future the owners of the boats from Banyuwangi, and their children, would be more successful so that the heritage would continue to be enjoyed by local people.

There were dances, some speeches, and prizes were distributed. Finally the district head accompanied by other guests performed ‘nglarung sesaji’ in the middle of the sea. The event was ended by visiting a ‘virgin’ island maintained as a sea conservation project that was believed by people to be ‘blessed’. This completed the ceremony.

There were other events that ended on the following day, 15 January 2009. Many friends from Satuhati (SATUNAMA training alumnus who have become community organizers [COs] at Muncar, Banyuwangi) were involved in the events. The COs have strategically enhanced movements throughout civil society according to one of the program’s goals: ‘developing civil society through interfaith’.

Yogyakarta, 16 January 2009
F.F. Sri Purwani
Program Officer Gunung Kidul Area

Upacara Petik Laut “ Sebuah Tradisi: Dari, Oleh dan Untuk Nelayan “

Pada tanggal 10–13 Januari 2009 yang lalu, sebagai bagian dari cross cutting issues program Nurturing Democracy through Interfaith and Intercultural Cooperation SATUNAMA (Mengembangkan Masyarakat Madani Melalui Kerjasama Lintas Iman dan Lintas Budaya), dilakukan kunjungan budaya ke Banyuwangi. Teman-teman yang hadir yakni 10 orang perwakilan wilayah Beji Gunung Kidul dengan 2 orang pendamping dari SATUNAMA. Kunjungan itu merupakan kunjungan budaya dalam rangka sebuah perhelatan pesta rakyat daerah pesisir di wilayah Kedungrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Pesta masyarakat nelayan yang cukup akbar ini mampu membuat decak kagum mereka yang belum pernah melihatnya dan dikenal dengan nama Petik Laut.

Petik laut adalah sebuah ungkapan syukur masyarakat nelayan atas rejeki dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan melalui alam, khususnya laut. Namun sekarang, dipakai juga sebagai satu wahana budaya dan tradisi masyarakat nelayan di Kecamatan Muncar Banyuwangi. Selain itu, Petik Laut juga menjadi sebuah sarana untuk menggali kembali berbagai potensi lokal melalui: kesenian lokal, aneka perlombaan (gerak jalan, panjat pinang, lomba dayung, jalan sehat, dll) yang melibatkan hampir semua lapisan masyarakat di Muncar. Rangkaian kegiatan ini juga disertai pesta rakyat dengan pasar malam dan aneka hiburan (dangdut, gandrung dan tayub) dan berpuncak pada acara larung sesaji dengan puluhan kapal hias. Biaya per kapal lengkap dengan
hiasannya mencapai hampir 1 milyar rupiah, sedangkan jumlah kapal yang digunakan dan dihias mencapai puluhan buah kapal.

Di tahun 2009 ini, puncak acara Petik Laut masyarakat Kecamatan Muncar Banyuwangi terjadi pada tanggal 12 Januari 2009. Puncak itu ditandai dengan upacara “nglarung sesaji” yang dimasukkan dalam sebuah “Gitik” (sebuah miniatur kapal yang diisi dengan aneka sesaji mulai dari buah-buahan, hasil bumi yang lain, ikan, ayam, aneka bunga saji, uang, dan perhiasan emas). Satu buah gitik biasanya nilai nominalnya tidak kurang dari 5– 10 juta rupiah.

Sebagai prosesi awal, gitik diarak dari halaman rumah Lurah Kedungrejo dengan diiringi kelompok drumband dari SD sekitar, ibu-ibu PKK dan pengajian serta kelompok anak-anak dengan kostum khas Banyuwangi. Prosesi Gitik menuju ke tempat upacara dengan lokasi di pusat TPI Pelabuhan Muncar yang sudah dipadati oleh puluhan ribu masyarakat Muncar dan sekitarnya.
Puncak acara ini dihadiri juga oleh wakil dari Gubernur Jawa Timur, Bupati Banyuwangi, Muspida dan Muspika setempat. Dalam sambutannya Bupati Ratna mengharapkan di tahun-tahun mendatang, para pengusaha yang ada di Muncar tidak lagi berasal dari Surabaya, tetapi dari putra-putri Banyuwangi sendiri. Para pemilik kapal juga mereka yang berasal dari wilayah Muncar, dan anak-anak nelayan menjadi anak-anak yang berpendidikan dan sukses, sehingga warisan leluhur banyak dinikmati kembali oleh masyarakat lokal, dari, untuk dan oleh para
nelayan sendiri.

Acara dirangkai dengan pemberian hadiah bagi pemenang aneka lomba, tarian gandrung yang dibawakan oleh 6 orang penari, beberapa sambutan dan pelepasan gitik ke Laut oleh Bupati yang diikuti oleh sebagian besar tamu undangan untuk bersama “nglarung sesaji” di tengah laut. Acara diakhiri dengan singgahnya rombongan ke suatu pulau yang masih “perawan” yang dijadikan sarana konservasi laut, dan dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang digunakan “ngalap berkah” atau berdoa dan bermatiraga untuk memohon keselamatan, dll.
Tempat ini dipakai sebagai persinggahan akhir rangkaian upacara Petik Laut. Para penari gandrung yang terpilih dengan 2 orang gadis remaja yang dipilih menjadi “Blorong” menari di pulau ini di depan sebuah makam yang dipercaya sebagai makam cikal bakal penari gandrung di wilayah Muncar yang patut dihormati.

Setelah rangkaian acara inti selesai, masih ada beberapa kegiatan yang dilanjutkan sampai 1 hari ke depan, di antaranya: tayuban semalam suntuk dan pentas dangdut bagi seluruh masyarakat Muncar. Acara resmi berakhir pada tanggal 15 Januari 2009.

Banyak teman-teman dari Satuhati (alumni peserta pelatihan di SATUNAMA dan sekarang menjadi CO di Kecamatan Muncar Banyuwangi) terlibat dalam kepanitiaan ini. Maka dengan sendirinya, peran sebagai CO menjadi strategis untuk meningkatkan gerakan di tingkat masyarakat sipil yang menjadi salah satu tujuan program ‘Mengembangkan Masyarakat Madani Melalui Kerjasama Lintas Iman dan Lintas Budaya’, yang kini sudah menjadi salah satu program yang diperhitungkan baik di Muncar Banyuwangi maupun Ngawen Gunung Kidul.

Semoga kunjungan ini menjadi sarana untuk berbagi pengalaman dan berbagi peran bagi pengembangan Program Lintas Iman Lintas Budaya yang tergabung dalam Divisi Special Project SATUNAMA yang menjadi satu bagian utama dalam pengembangan Program Islam And Development bekerjasama dengan The Asia Foundation.

Yogyakarta, 16 Januari 2009
F.F. Sri Purwani
Program Officer Gunung Kidul Area

Tinggalkan komentar