Tercerabutnya Sexual, Reproductive Health and Rights (SRHR) Perempuan Dalam Anglomerasi di Yogyakarta

Tercerabutnya Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) Perempuan Dalam Anglomerasi di Yogyakarta
Oleh : Any Sundari

Selama beberapa tahun belakangan, Yogyakarta mengalami perubahan wajah kota yang amat drastis. Hal ini nampak pada lingkungan fisik maupun keresahan warganya terhadap Yogyakarta yang dikenal sebagai kota berhati nyaman. Yogyakarta kini dihiasi dengan segenap bangunan hotel tinggi menjulang, apartemen mewah, maupun pusat perbelanjaan yang membaur diberbagai titik di kota Yogyakarta maupun daerah penyangga seperti di kabupaten Sleman. Yogyakarta hari ini tengah mengalami pertarungan identitas untuk menentukan wajahnya. Didalam pertarungan itu ada kelompok penanaman modal, pemerintah daerah yang menjunjung tumbuhnya perekonomian berbasis investasi, disisi lain ada protes warga terhadap ruang publik yang semakin sempit, desa-desa yang makin sempit tanahnya karena pembangunan real estate,  keluarnya keluhan-keluahan atas macetnya jalanan hingga rumah tangga yang mengalami krisis air. Dari seluruh dampak dan kompleksitas masalah yang ada dalam pertarungan wajah Yogyakarta, kelompok perempuan  adalah sebenarnya paling mengalami dampak signifikan atas perubahan wajah desa yang semakin menjadi kota. Tanah dan air sebagai rahim hidup perempuan mengalami perubahan yang menyebabkan hak dan keseharab reproduksi dan seksual mereka (HKRS) rentan terganggu.

Sebuah artikel utama yang dikeluarkan oleh Harian Kompas pada 28 Januari 2016  (Kompas, 2016) berjudul “Pemodal kuasi lahan desa” memberikan alarm darurat tentang kondisi perkembangan kepemilikan lahan dan implikasi hal tersebut terhadap ruang-ruang bagi rakyat.  Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen asset yang berupa property, tanah dan perkebunan hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian (SP) pada tahun 2013 terdapat 26,14 jura rumah tangga tani yang menguasi lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga dan hanya sekitar 14, 25 juta rumah tangga yang lain hanya mengusai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Hal ini berdampak pada kualitas lingkungan dan hidup para perempuan.

Untuk daerah Yogyakarta, khususnya daerah kabupaten Sleman telah terjadi perubahan yang amat cepat dalam proses anglomerasi dari daerah pedesaan menjadi kota. Kota Sleman yang memiliki perbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta memiliki beberapa kecamatan yang mengalami anglomerasi yakni di kecamatan Depok, Gamping, sebagian Ngaglik dan Mlati. Sayangnya, hari-hari ini daerah anglomerasi ini nyatanya makin sulit dikendalikan pembangunanya. Di Sleman misalnya, pembangunan mall, hotel dan apartemen marak terjadi. Pembangunan ini berimbas pada berkurangnya luas tanah maupun ketersediaan air di daerah Sleman.

Pada tahun 2009 di kabupaten Sleman terdapat 1057 permohonan Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT), sebanyak 746 (70,57%) permohonan disetujui, 184 (17,4%) permohonan ditolak dan 127 (12%) permohonan diproses. [1] Tingginya izin permohonan perubahan penggunaan tanah ini sudah seharusnya dibarengi dengan monitoring dan pengawasan yang kuat, agar daerah-daerah yang sebenarnya menjadi lajur hijau maupun pertanian tidak berubah menjadi kawasan real estate, perhotelan maupun pusat perbelanjaan. Namun nyatanya monitoring dan pengawasan ini sulit untuk dilaksanakan dilapangan. Mengapa?

Pertama, UU Agraria mengalami tumpang tindih dengan UU Tata Ruang. Dalam UU Tata Ruang tanah merupakan tanah bukan barang investasi karena tanah memiliki kaidah sosial. Pemerintah diibaratkan sebagai aparat yang memiliki kepentingan mengatur hal-hal publik namun pengaturan tersebut berada diatas lahan yang dimiliki secara privat. Ini kemudian membuat perencanaan tata ruang sulit diterapkan. Kedua, pemerintah sering dihadapkan pada problem dilematis terkait investasi. Investasi disatu sisi diyakini sebagai sumber dana pembangunan yang akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) namun ia kerap menabrak dengan target pemerintah untuk dapat mempertahankan lahan pertanian.

Hal ini kemudian berimbas pada semakin menyempitnya daerah pertanian akibat ekspansi dari anglomerasi pembangunan dari kota ke daerah pinggiran kota atau pedesaan. Fakta nyata ini dapat terlihat dari jumlah pembangunan hotel di kawasan Yogyakarta. Berdasarkan data dari Provinsi DIY, terdapat 64 hotel berbintang dan 500 hotel non berbintang dengan  jumlah kamar sekitar 8000 unit. Data yang dilansir BPS menyebutkab bahwa hingga  tahun 2012 ada 32 hotel berbintang dan 354 hotel melati dengan jumlah 6,196 kamar. Artinya jumlah pertumbuhan hotel di Yogyakarta meningkat dua kali lipat hanya dalam jangka waktu dua tahun.[2] Kondisi ini jelas berpengaruh pada kondisi lingkungan tempat warga tinggal terutama dampaknya bagi para perempuan pada proses terjadinya anglomerasi.

Pembangunan Tidak Berprespektif Kepada Perempuan

Setiap pembangunan berimplikasi kepada seluruh aspek kehidupan sebuah masyarakat. Pembangunan sebuah kota yang tidak memanusiakan manusia didalamnya akan berimplikasi serius kepada perkembangan manusia yang ada didalamnya. Pada tahun 1994 di Kairo, sebanyak 179 negara menghadiri konfrensi International Confrence for Population and Development (ICPD). Dalam konfrensi ICPD itu dicanangkan tentang kesehatan reproduksi dan hak reproduksi dan seksual dalam pembangunan. Konfrensi ini menghasilkan paradigma baru untuk mempromosikan Sexual dan Reproductive Health and Rights (SRHR) dalam pembangunan demografi. Didalam SRHR terdapatagenda kesetaraan gender, HAM, perubahan iklim, dinamika popolasi, konflik bencana alam, ketahanan pangan dan gizi dan akses terhadap sumber daya alam. [3]. Selain itu, International Planned Parenthood Federation (IPPF) juga merumuskan ada 12 hak-hak reproduksi, yakni :

  1. Hak untuk hidup, yakni setiap perempuan memiliki hak untuk bebas dari resiko kematian akibat kehamilan.
  2. Hak atas kemerdekaan dan keamanan. Dimana seseorang memiliki hak untuk menikmati dan mengatur kehidupan seksual dan reproduksinya. Tak ada seseorang pun yang bisa dipaksa untuk hamil, menjalani sterilisasi dan aborsi.
  3. Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Setiap individu memiliki hak untuk terbebas dari rasa diskriminasi termasuk dalam kehidupan seksual dan reproduksinya.
  4. Hak atas kerahasiaan pribadi. Dimana setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi serta menghormati kerahasiaan pribadi. Setiap perempuan mempunyai hak menentukan sendiri pilihan reproduksinya.
  5. Hak atas kebebasan berpikir. Setiap individu bebas dari penafsiran ajaran agama yang sempit, kepercayaan, filosofi dan juga tradisi yang memberikan pengekangan terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual.
  6. Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan. Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksual termasuk didalamnya jaminan kesehatan dan kesejahteraan perorangan maupun keluarga.
  7. Hak untuk menikah atau tidak menikah dan membentuk serta merencanakan keluarga.
  8. Hak untuk memiliki, tidak memiliki anak atau kapan mempunyai anak.
  9. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehtan. Ia berhak mendapatkan informasi, keterjangkuan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, kepercayaan, harga diri, kenyamanan dan kesinambungan pelayanan.
  10. Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan.
  11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik
  12. Hak untuk bebas dari penganiauaan dan perlakuan Termasuk hak-hak perlindungan anak dan eksploitasi dan penganiayaan seksual.

Kepastiaan agar hak-hak tersebut terpenuhi memang tidaklah mudah. Membutuhkan proses yang panjang dan bertahap, apalagi jika penerapannya dilakukan di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Pembangunan di Indonesia secara umum masih amat terkonsentrasi pada pembangunan yang bersifat fisik dan mengabaikan kebutuhan masyarakat khusunya perempuan sebagai subyek pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan atau anglomerasi di Yogyakarta banyak sekali mengabaikan  hak-hak dasar warga. Telah muncul beberapa dampak yang telah dialami oleh perempuan terhadap proses anglomerasi dengan perubahan pembangunan yang tidak berparadigma SRHR.

Pertama, pada proses anglomerasi di Yogyakarta, banyak sekali perempuan rentan untuk kehilangan akses hidup berupa tanah dan air. Khusus pada perempuan yang bekerja pada sektor pertanian di daerah anglomerasi, mereka berpotensi terpinggirkan dan kehilangan mata pencaharian dan tanahnya karena pesatnya pembangunan. Mereka yang terbiasa bekerja di sector pertanian dipaksa untuk berubah atau berpindah pada sektor industri maupun jasa. Perpindahan pekerjaan ini berdampak pada cara hidup dengan alam dan rentannya mereka menjadi wagra miskin kota yang penuh dengan kekerasan dan akses yang tidak memadai pada tubuh dan kesehatan mereka. Anglomerasi berdampak pula pada kesulitan mereka untuk mengakses air bersih utamanya pada musim kemarau. Daerah anglomerasi di pinggiran kota Yogyakarta seperti di Kabupaten Sleman, banyak yang memiliki mata air yang merupakan sumber air bagi warga. Jika pembangunan di daerah pinggiran akibat anglomerasi ini tidak terkendali maka akan muncul kekeringan pada musim kemarau dan banjir jika musim hujan karena hilangnya berbagai pepohonan dan lanjur hijau akibat pembangunan. Akses yang sulit terhadap air kemudian berdampak pada pada kesehatan masyarakat dan tentu perempuan.

Kedua, beralihnya lahan-kahan pertanian membuat perempuan ruang hidup perempuan menjadi terbatas. Mereka yang terbiasa merawat, menanam dan bergantung hidup pada alam harus tercerabutnya dari rahimnya sendiri yakni rahim air dan tanah yang merupakan bagian dari hidup perempuan. Perubahan lingkungan berpengaruh pada ruang hidup, angka harapan dan kualitas hidup yang menurun. Mereka rentan untuk terkena sumber  penyakit degenaratif karena menurunya kualitas lingkungan. Ketiga,menurunnya kualitas lingkungan pada akhirnya berpengaruh pada perekenomian dan kualitas keluarga. Anak-anak mereka pun mengalami kerentanan untuk mengalami berbagai macam penyakit karena menurunya kualitas lingkungan. Ruang anak-anak untuk mendapatkan akses kesehatan dan hidup yang sehat menjadi amat terbatas. Mau tak mau, generasi kita kedepan akan terancam kelangsungan hidupnya jika pembangunan hari ini terlalu rakus mengekploitasi keuntungan semata.  Hingga kemudian, kita semua baru tersadar ternyata kita harus menata ulang pikiran kita dan bertanya, apakah yang kita kejar dari segala pembangunan ini? Apakah bangunan tinggi, materi yang berlimpah dan modal yang berlipat-lipat mampu menghidupi, jika kemudian kita tak menyertakan alam sebagai bagian yang hidup dan diajak berdialog tatkala pembangunan yang kita lakukan bersentuhan dengan mereka (alam) yang menghidupkan?

[1] http://www.slemankab.go.id/217/pengendalian-pertanahan-daerah.slm

[2] http://www.harnas.co/2015/01/10/booming-hotel-di-yogyakarta

[3] Jurnal Perempuan Edisi 86 Vol 20, SRHR( Sexual and Reproductive Health and Rights) dan Perubahan Iklim, Agustus 2015

*) Any Sundari adalah peneliti, pegiat dan pengamat isu perempuan. Penulis esai di beberapa media massa.

2 pemikiran pada “Tercerabutnya Sexual, Reproductive Health and Rights (SRHR) Perempuan Dalam Anglomerasi di Yogyakarta”

Tinggalkan komentar