Peran Perempuan dalam Pertanian di Kampung Miis .

Women’s Role in Kampong Miis Agriculture.

[photo1]

By Genie Fitriady Fendy

From 8 until 14 May, 2009, 3 SATUNAMA staff, Genie, Maman, and Wangsit, had an opportunity to learn about farming practices in Labuhan Bajo, West Manggarai, Southeast Timor, together with Celia Borgatti, USC Canada’s program officer for Indonesia, and Dr Awegechew Teshome, a senior program specialist with USC Canada in sustainable livelihoods

This event was part of training session held in Yogyakarta. SATUNAMA partners from the Indonesian Komodo Prosperous Foundation (YAKINES), West Manggarai and Solor-Adonara People Empowerment Committee (KEMBARA), East Flores, and USC Canada East Timor participated in this sharing experience.

Through this activity USC Canada provided support to SATUNAMA and USC Canada East Timor, strengthening staff capacity in agro-biodiversity. This course covered the work of programs such as ‘Seeds of Survival’, USC Canada and SATUNAMA’s main program that aims to develop farmer sovereignty. Beginning with seed production, ‘Seeds of Survival’ also promotes the development of community seeds banks as a medium for learning, sharing information and knowledge between farmers, farming techniques that incorporate conservation, water management, and discussion about the importance of women’s role in agriculture so that policy makers avoid gender discrimination.

The participants actively learned and discussed the problems they face while working with farmers. The participants also discussed farmers daily activities in their rice fields, gardens, fields, and moors. Dr Awegchew provided a preface so that the participants learned from farmers’ experiences and knowledge.

One of the learning materials used in the training was about women’s role in Miis. They have an important role in agriculture, from selecting and keeping the seeds to keeping the traditions. Women have the responsibility to select seeds that will be kept for the next planting season. These women are also responsible for ensuring that these seeds are protected from pests. Each household has their own seed and food bank. The participants learned how to increase the seed bank method to reduce seed damage and loss during the saving period. Dr Awegechew said that the Miis community is doing a good thing because they have their own seeds and make them independent from the seeds industry.

The second role for women in Miis is to control their harvest and family consumption, and to give to their poorer neighbors. This means that women in Miis have to find a way to manage their harvest until the next harvest season.

Women in Miis also manage family consumption for their family including meals, fire wood, and livestock. This means that women in Miis must have knowledge concerning healthy food to be consumed by their children, kinds of herbal medicine, food for their cattle, and of the varieties of vegetables that could be sold to get income for their children’s school fees or other social costs. Dr. Awegchew emphasized that planting a variety of crops creates diversity.

Women in Miis are the custodians for their community’s agricultural traditions, preserving them for the next generation. They have always kept their agricultural traditions and teach them to younger generations, especially the girls. Young girls in Miis have a deeper knowledge of agriculture than the boys of the same age. A young girl could explain about seed-keeping and food-production better than the boys.

Women in Miis also maintain their community’s traditions through the preservation and development of traditional textiles. They develop traditional textiles as culture symbols and preserve that tradition through creating a weaving association. Association members get income by producing textiles between cultivation seasons. This skill is passed down from the old women to their female children. It is no surprise, then, that girls and young women in Miis from the age of 15 to 25 are already experts in weaving traditional Manggarai textile.

Peran Perempuan dalam Pertanian di Kampung Miis .

[foto1]

Oleh: Genie Fitriady Fendy

Tanggal 8 sampai dengan 14 Mei 2009, 3 orang staf SATUNAMA, Genie, Maman, dan Wangsit mendapat kesempatan belajar mengenai masalah pertanian di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, bersama dengan Celia Borgatti, program officer of Indonesia, dan Dr Awegechew Teshome, senior program specialist sustainable livelihoods, dari USC Canada.

Acara ini merupakan kelanjutan dari pelatihan yang diadakan di Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini, mitra SATUNAMA dari Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (YAKINES), Manggarai Barat, dan Komite Pemberdayaan Masyarakat Solor-Adonara (KEMBARA), Flores Timur, dan staf USC Canada di Timor Leste ikut belajar dan berbagi pengalaman.

Kegiatan ini menjadi bentuk dukungan dari USC Canada kepada SATUNAMA dan USC Canada Timor Leste untuk penguatan kapasitas staf dalam bidang Agrobiodiversity. Pelatihan tersebut mempelajari dan mendiskusikan banyak hal seperti: mengenal program Seeds of Survival (SOS) — program utama USC Canada dan SATUNAMA yang bertujuan untuk membangun kedaulatan petani terhadap dunia pertanian yang dimulai dari pengadaan benih sendiri, lumbung benih komunitas sebagai sarana untuk untuk belajar, bertukar informasi dan pengalaman bertani bagi sesama petani, upaya-upaya bertani dengan memperhatikan pelestarian lingkungan dan melindungi lahan agar tidak rusak serta tetap produktif, pengelolaan air yang jumlahnya terbatas secara bijaksana dan bertanggungjawab, hingga berdiskusi mengenai peran perempuan yang begitu penting dalam dunia pertanian, sehingga para pengambil kebijakan tidak melakukan diskriminasi terhadap mereka.

Hal yang menarik selama pelatihan ini adalah setiap peserta terlibat secara aktif mempelajari dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi selama bekerja bersama petani. Peserta juga mendiskusikan pekerjaan yang dilakukan oleh teman-teman petani setiap hari di sawah, kebun, ladang dan tegalan mereka.

Dr Awegchew memberikan pengantar supaya peserta belajar dari petani lewat pengalaman, pengetahuan, dan spiritual mereka. Petani adalah guru dari kehidupan yang menguasai ilmu pertanian dan iklim serta cara untuk bertahan hidup dalam situasi yang serba terbatas.

Salah satu bahan belajar dalam kegiatan ini adalah peran perempuan. Perempuan di Kampung Miis memiliki peran penting dalam pertanian mulai dari meyeleksi dan menyimpan benih, hingga menjaga tradisi.

Kaum perempuan di Kampung Miis memiliki tugas untuk menyeleksi benih yang disimpan untuk musim tanam berikut. Mereka juga bertanggung jawab supaya benih ini bisa disimpan dengan aman tanpa diserang hama. Setiap rumah tangga di Kampung Miis memiliki lumbung benih dan pangan sendiri. Mereka juga mulai mencoba mengorganisir lumbung pangan dan benih komunitas sebagai pendukung ketahanan pangan. Dari pengalaman ini peserta belajar supaya mampu menggerakkan masyarakat untuk memperbaiki model penyimpanan benih supaya lebih aman, dan mengurangi tingkat kehilangan dan kerusakan benih selama masa penyimpanan. Dr Awegechew menegaskan bahwa hal yang dilakukan oleh masyarakat Miis sudah sangat baik. Ia mengingatkan supaya petani harus memiliki benih sendiri supaya tidak membeli dari luar dan mengakibatkan ketergantungan pada industri benih.

Tugas kedua perempuan Miis adalah mengatur hasil panen untuk konsumsi keluarga sendiri, dan memberikan kepada tetangga yang membutuhkan apabila memiliki kelebihan. Untuk itu, kaum perempuan harus mencari cara supaya persediaan yang mereka miliki bisa mencukupi sampai musim panen berikutnya.

Perempuan Miis mengatur konsumsi dan kebutuhan keluarganya dalam kebutuhan makan, kayu bakar, ternak, dan lain sebagainya. Untuk itu, kaum perempuan Miis memiliki pengetahuan mulai dari jenis-jenis tanaman yang baik dan sehat untuk dikonsumsi anak kecil, jenis tanaman yang bisa digunakan untuk pengobatan, jenis tanaman yang disukai ternak sapi atau kambing, dan jenis sayuran yang bisa mereka jual untuk mendapatkan uang bagi biaya sekolah atau biaya sosial lainnya. Kaum perempuan menanam berbagai macam tanaman untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarganya. Dr Awegchew memberi penekanan bahwa apabila semakin banyak pemanfaatan atau penggunaan hasil pertanian, maka akan terbangun keanekaragaman, karena banyaknya pemanfaatan ini akan menuntut kita untuk menanam berbagai macam tanaman.

Kaum perempuan Miis menjadi penjaga dan pewaris budaya pertanian kepada generasi berikutnya. Mereka berusaha untuk menjaga budaya pertanian dan selalu mengupayakan transfer pengetahuan kepada anak-anak mereka, terutama yang perempuan. Perempuan muda di Miis lebih memahami persoalan pertanian dibandingkan dengan laki-laki sebayanya. Seorang perempuan muda bisa menjelaskan mengenai cara penyimpanan benih dan pangan yang umumnya tidak dimengerti oleh rekan laki-lakinya.

Selain fungsi di bidang pertanian, perempuan Miis juga menjaga dan memelihara tradisi dalam masyarakat melalui pengembangan kain tradisional. Mereka memelihara dan mengembangkan kain sebagai perlambang identitas budaya yang selalu harus dijaga dan dikembangkan lewat paguyuban penenun kain. Anggota paguyuban ini juga menjadikan pembuatan kain ini sebagai sumber pendapatan bagi kaum perempuan saat mereka menunggu musim panen atau musim mengerjakan lahan tiba. Keterampilan ini diwariskan dari generasi perempuan tua kepada generasi perempuan yang lebih muda di kampung. Tidak heran jika perempuan muda Miis yang berumur antara 15-25 tahun sudah pandai menenun kain khas Manggarai.

Dusun Buruk, Desa Poco Ruteng, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Tinggalkan komentar