Inklusi Sosial untuk Kelompok Agama dan Penghayat Kepercayaan : Sebuah Tinjauan Historis

Inklusi Sosial untuk kelompok Agama dan Penghayat Kepercayaan yang mengalami Diskriminasi, kekerasan dan Ekslusi : Sebuah Tinjauan Historis

Oleh : Ariwan K Perdana & Any Sundari

Sejarah, Keberagaman dan Tantangan Untuk Peduli.

Hannah Arendt pernah menyebutkan bahwa kekuatan sejati manusia berasal dari kemampuan untuk saling bekerjasama dalam memberikan perubahan yang nyata kepada dunia. Dengan kata lain, Arendt ingin menerangkan bahwa kekuatan perubahan itu berasal dari bawah, dari orang-orang biasa yang saling bekerjasama. Hal ini menjadi kontras dengan prinsip kekuasaan yang cenderung menekankan adanya dominasi kekuatan individual atau kelompok tertentu terhadap individual atau kelompok lain. Sejarah mencatat bahwa kekuasaan yang mendominasi lebih sering menghasilkan ketimpangan atau akibat-akibat negatif ketimbang menghasilkan perubahan ke arah yang positif. Dalam semesta kekuasaan –apalagi yang absolut- keberadaan keragaman menjadi salah satu hal yang dianggap penghalang bagi kelanggengan konstruksi kekuasaan yang dibangun, sehingga acapkali keragaman harus diminimalisir, bahkan kalau perlu dibabat sampai habis.

Keragaman adalah kekayaan yang menjadi dasar pijakan pergerakan alam semesta yang sayangnya saat ini mulai dilupakan oleh manusia-manusia modern. Padahal keragaman adalah hal yang niscaya ada dalam riuh rendah peradaban dan dinamika kehidupan. Ambil contoh dari khasanah musik, kreativitas olah musik yang berakarkan keragaman adalah hal yang mampu menghasilkan sumbangsih kekayaan corak musik. Musik Jawa yang pentatonis misalnya, dipadukan dengan musik Barat yang diatonis dan kemudian berkembang menjadi campursari.

Bentuk-bentuk keragaman lain yang juga mengitari keseharian manusia di antaranya adalah keragaaman budaya, sosial, ideologi, politik, ekonomi dan agama. Prinsip dasar menyikapi keragaman secara positif adalah dengan kebersamaan. Dan kebersamaan hanya bisa dibangun jika semua orang mau menghormati sesama manusia, atau sekurang-kurangnya menerima dan menghargai keragaman. Pemikiran yang mengarah pada kesimpulan bahwa keragaman itu salah atau tidak ada, otomatis menjadi pemicu munculnya bentuk pemikiran lain yaitu bahwa hanya diri atau kelompoknya sendirilah yang benar atau paling benar.

Ketidakharmonisan yang terjadi dalam masyarakat –termasuk dalam urusan agama- adalah indikator munculnya pemikiran centris yang akhirnya berimbas pada kesulitan diri untuk menghadapi keragaman. Situasi ini kemudian berdistorsi ke ranah-ranah pengakuan dan penerimaan sosial, layanan terhadap hak-hak dan di tingkat politis, adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang cenderung hanya mengakomodir kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Dalam sejarah Asia, penafsiran atas perbedaan yang diarahkan kepada keselarasan hidup bersama mendapat porsi yang sebenarnya cukup baik. Komunitas-komunitas agama kuno mampu hidup berdampingan selama bertahun-tahun tanpa banyak perpecahan. Prasasti Cyrus Agung (576-529 SM) memberikan catatan bahwa rata-rata penduduk dan penguasa Persia kala itu cukup memberikan ruang kepada keragaman agama. Prasasti ini oleh PBB kemudian dinyatakan sebagai pelopor piagam hak beragama.[i] Dalam sejarah Islam juga tercatat pada tahun 622 M muncul Piagam Madinah yang disusun dengan tujuan utama mewujudkan perdamaian dan keamanan di Madinah yang masyarakatnya tergolong majemuk antara lain terdiri dari komunitas Muslim, Yahudi, Paganisme dan Kristen.[ii]

Sebagai bagian dari Asia, Indonesia merupakan sebuah negara yang paling beragam dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya adalah keragaman agama. Bukan hanya keragaman agama secara umum, dalam satu agama pun Indonesia memiliki kekayaan keragaman. Oleh karenanya, kebutuhan akan sikap penerimaan sosial yang mengayomi dan jaminan konstitusional terhadap kebebasan beragama bisa menjadi perlindungan yang memungkinkan tumbuhnya kebersamaan dan penghargaan terhadap praktik-praktik keagamaan di Indonesia.

Fakta bahwa dua kompleks candi terkenal di Indonesia yaitu Borobudur yang merupakan candi Buddha dan Prambanan atau Roro Jonggrang yang merupakan candi Hindu terletak dalam jarak yang terhitung dekat hanya terpisahkan sekitar 50-60 km merupakan sebuah gambaran akan adanya keseimbangan hubungan berbasis keragaman yang dipelihara dengan baik pada masa dinasti-dinasti Syailendra dan Sanjaya yang bersaing di Jawa Tengah kala itu. Penyelesaian pembangunan Borobudur didukung juga oleh Rakai Panangkaran, raja Mataram Hindu yang memberikan izin pembangunan candi-candi Buddha. [iii] Hal ini kemudian dianggap sebagai petunjuk bahwa masyarakat Jawa Kuno bisa hidup berdampingan dan saling membantu meski menganut agama yang berbeda.

Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945 adalah sebuah negara yang berusaha mendasarkan ideologinya pada pemahaman akan keragaman. Hal ini dapat dilihat pada keberadaan Pancasila yang secara umum merupakan ideologi yang mengakui adanya keragaman, meski menurut Nurcholis Madjid, secara diksi Pancasila -yang sebagian kosakatanya berasal dari Bahasa Arab- masih berbau varian dari prinsip-prinsip sosial dan politik Islam[iv], walaupun Pancasila adalah hasil kompromi dari tiga pihak yaitu : umat Islam, abangan dan kaum minoritas. Hal lain yang mungkin susah dibantah jika bicara tentang keragaman di Indonesia adalah tentang keberadaan suku-suku dan penganut agama dan kepercayaan yang sudah ada di wilayah Nusantara jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri. Ini merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari.

Meski kemudian agama-agama seperti Islam, Kristen, Katolik masuk ke Nusantara, namun kekuatan kepercayaan masyarakat Nusantara terhadap kepercayaan yang sudah dipraktikkan oleh leluhurnya tetap tidak bisa hilang. Yang terjadi kemudian, mereka melakukan proses penyesuaian secara bertahap. Dalam makalahnya, Martin van Bruinessen menjelaskan hal ini sebagai sebuah proses adopsi. Ambil contoh, dalam sejarah perkembangannya di Jawa, Islam yang masuk pada sekitar abad ke-14 merupakan sumber kelengkapan kekuatan spiritual yang kemudian diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa.[v] Meski demikian, tidak semua orang Jawa melakukan hal ini, karena hingga kini ada juga masyarakat yang memilih untuk tetap memegang ajaran agama atau kepercayaan leluhur mereka.

Sikap yang cukup baik dalam mengelola keragamaan agama sebenarnya tercatat dalam sejarah Indonesia. Sekurang-kurangnya dalam sejarah Nusantara, penyebaran agama-agama Hindu, Buddha, Islam, Katolik maupun Protestan di Indonesia hampir tidak pernah dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau peperangan, namun lebih kepada penerimaan sosial, meskipun faktor kedekatan gen atau keluarga juga cukup berperan dalam hal ini, sehingga orang-orang dari agama yang berbeda bisa hidup berdampingan karena mereka merupakan anggota dari keluarga yang sama.

Hal tersebut antara lain bisa terjadi karena adanya kesamaan moral yang diusung oleh agama-agama, misalnya bahwa tidak ada agama yang membenarkan kekerasan, pencurian atau berbuat kerusakan. Meskipun tidak bisa juga jika kemudian kemiripan ini diseret menuju pemahaman bahwa semua agama adalah sama. Karena keimanan sesungguhnya adalah sebuah pusaka yang tidak bisa dipermainkan. Maka kesalahpahaman dalam memahami kemiripan ajaran agama dan kemudian menganggap bahwa semua agama adalah sama, justru tidak sesuai dengan hakikat hidup yang harmonis dalam keragaman. Keragu-raguan atau keengganan untuk mengakui faktor keunikan yang dimiliki masing-masing agama tidak bisa dijadikan dasar pemikiran bahwa semua agama adalah sama. Apalagi menggunakan keengganan tersebut sebagai alasan untuk menganggap agama lain adalah salah dan kemudian tidak mengakuinya.

Dalam periode-periode sejarah tertentu memang ada penguasa-penguasa yang cenderung tidak mentolerir keragaman agama, namun situasi seperti ini hampir selalu menimbulkan masalah karena kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Apalagi mengingat bahwa kebebasan beragama dan berkepercayaan juga sangat bersentuhan dengan aspek kultural dan sosiologis seseorang atau sebuah komunitas. Karena dalam sejarahnya, agama tak pernah bisa dilepaskan dari pola pikir, budaya dan sikap hidup.

Dalam pemahaman Jawa, agama berasal dari kata “ageman” atau “genggeman” yang bisa bermakna “pakaian” atau “pegangan”. Dengan demikian, seseorang yang memilih untuk tidak beragama pun sesungguhnya dia beragama. Karena dia punya pegangan yang menurutnya benar, meski urusan mencari kebenaran ini memang bukan aktifitas yang akan sama titik temunya pada masing-masing orang. Namun setidaknya, indikatornya bisa dilihat pada bagaimana seseorang mampu memaknai dan menerapkan secara positif apa yang dipahaminya dari agama dalam hubungan vertikal-horizontal kehidupannya, lepas dari apa pun agamanya.  Masing-masing individu sebagai anggota masyarakat nampaknya harus mulai mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menafsirkan kekhasan masing-masing agama dengan meletakkan basis pemikiran pada pemahaman untuk saling peduli. Sikap hermeneutikal inilah yang bisa diaplikasikan sebagai landasan hubungan antar sesama pemeluk agama, sehingga tercipta kebersamaan yang saling menghargai dan tidak mengekslusifkan kelompok tertentu.

Tantangan yang dihadapi Indonesia dewasa ini adalah bagaimana mengelola keragaman di tengah kemunculan dan keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan agama dan Tuhan untuk kepentingan dan agenda mereka sendiri dengan cara yang tidak kontributif terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat yang harmonis.  Dengan demikian, kemampuan untuk menginterpretasikan keragaman agama dan kepercayaan yang heterogen sekaligus mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya, mutlak menjadi hal yang harus dimiliki oleh pemerintah demi mendorong munculnya regulasi-regulasi atau kebijakan-kebijakan yang bisa mengakomodir kebebasan beragama dan berkepercayaan dan kemudian menciptakan mekanisme atau sistem untuk memastikan terjaminnya hak-hak para penganut agama dan kepercayaan di Indonesia.  Karena pokok utama kerja manajemen adalah mengatur agar yang tidak ada atau belum ada menjadi ada serta memperbaiki apa yang tidak baik atau belum baik menjadi baik. Di titik itulah pemerintah harus mampu bekerja.

Rumah Indonesia : Sejarah Keberagaman yang Diperdebatkan

Keberagaman identitas bagi Indonesia adalah kepastian. Ratusan tahun Indonesia menjadi rumah akan perbedaan suku, agama, kepercayaan dan ideologi. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 300 kelompok etnis dan, sekalipun Islam merupakan agama mayoritas, negara itu memiliki (atau pernah memiliki) belasan agama minoritas, sekaligus kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, atau bahkan saling bertentangan maupun yang bersifat sinkretis, di dalam Islam (Atkinson 1987; Beaty 1999; Bowen 1993; Cederroth 1997; Nourse 1999; Hefner 2014). Indonesia pernah menengguk manisnya rasa toleransi keberagaman, tapi Indonesia pun pernah dalam masa-masa rawan dalam perkara keberagaman. Satu yang nampaknya masih selalu menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia adalah memberikan ruang kebebasan berkeyakinan menuju ranah inklusi sosial bagi mereka yang  masuk dalam kelompok aliran penghayat dan kepercayaan.

Bicara tentang kebebasan beragama, tentu kita tak bisa melepaskan bagaimana konteks sejarah berbicara. Berkaca pada Eropa, kebebasan beragama di Eropa muncul pada masa abad 18-19 dalam dua entitas, yakni otonomi individual dan kesadaran personal sebagai bentuk paling liberal dan sekuler.Kedua sebagai akomodasi kepentingan-kepentingan kelompok agama untuk memperjuangkan identitas kelompok agama. Wujud kepentingan kelompok tidak bisa dilepaskan dari kesadaran normatif dan praksis bahwa bangsa-bangsa didunia memiliki sejarah keberagaman, kepentingan sosial dan poloitik untuk penegakan kebebasan beragama. Maka membicarakan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tentu tak pernah bisa dilepaskan dari konteks perubahan sosial dan rezim politik yang berpengaruh pada tantangan toleransi beragama, kewarganegaraan dan kebebasan sosial. Terutama terkait bagaimana proses hubungan antara agama dan Negara dalam kurun waktu Indonesia pasca kemerdekaan.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Riuh rendah politik paling terasa ketika Indonesia menggunakan sistem demokrasi palementer tahun 1951. Pada masa itu terjadi persaingan yang kuat antar golongan ideologi nasionalis, islam dan tentu komunis. Kontestasi berlangsung amat kuat antar partai politik dan segregasi antar masyarakat pun sangat kuat. Riuh rendah demokrasi palementar ini berujung pada kegaduhan politik yang kemudian menghantarkan Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin ketika Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959.

Masa demokrasi terpimpin dibawah Soekarno hanya bertahan kurang lebih 6 tahun, tatkala terjadi pemberontakan perwira kiri bersama Partai Komunis Indonesia.  Orientasi politik Indonesia kemudian beralih ketika Soekarano jatuh digantikan oleh Soerharto. Soeharto melalui Orde Baru dengan memunculkan semangat sosial ekonomi, meminggirkan proses politik masyarakat (depolitisasi) dan juga kebebasan beragama. Rezim politik Soeharto kemudian turun atas demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998. Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun akhirnya lengser keprabon tanggal 21 Mei 1998. Masa setelahnya rezim berubah menjadi lebih terbuka dan liberal. Inilah masa reformasi dimana media terbuka dan pemilu demokratis digelar. Titik-titik perubahan sejarah rezim politik ini akan memberikan pijakan mudah untuk memahami bagaimana  tipe hubungan antara Negara dan agama di Indonesia dari rezim ke rezim.

Ketika Negara Indonesia diproklamasikan tahun 1945, ada sebuah konsensus yang menyatukan bangsa ini menjadi satu dan dipelopori secara kuat oleh Soekarno yaitu Pancasila. Bersatu dalam keberagaman bukanlah hal yang mudah, didalamnya ada tarik menarik dan perdebatan yang tak pernah usai sampai saat ini adalah dasar tentang pasal pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Sebelum masuk pada perdebatan pada pasal ini, perlu dipahami bahwa sejak bangsa ini dijajah oleh Belanda, upaya memecah belah bangsa ini dilakukan dengan membentuk segregasi identitas dan tertib administrasi keagamaan. Penduduk Hindia Belanda yang mayoritas beragama Islam mengalami tekanan besar dalam proses menjalankan Islam di bumi Nusantara. Orang Islam pada masa itu mendapatkan diskriminasi untuk menjalankan aktivitas keagamaan mereka, utamanya ketika melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Belanda kerap kali menghalangi proses ibadah ke tanah suci bukannya tanpa alasan. Bagi Belanda kepergian banyak orang ke tanah suci (arab) kerap menghasilkan orang-orang atau haji yang menjadi radikal. maka pemerintah kolonial Belanda menghalang-halangi ibadah haji ke Timur Tengah  (Kartodirdjo 1972; Laffan 2003).

Kondisi ini kemudian berbalik ketika Indonesia merdeka, Islam mendapatkan tempat yang luas untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi politiknya sebagai agama mayoritas. Sebagian besar orang-orang yang bergabung dalam naungan organisasi ataupun partai Islam meminta untuk mencantumkan penggunaan syariat Islam pada dasar negara, Pancasila. Hal ini tentu ditentang oleh kaum Nasionalis yang mengakomodasi banyak agama dan  menolak penggunaan syariat Islam sebagai dasar Negara. Pada akhirnya proses ini berakhir dramatis dengan dihilangkannya kata penggunaan syariat Islam dalam bunyi pasal pertama Pancasila sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Keputusan itu dilakukan oleh kelompok nasionalis untuk mengakomodasi kepentingan mereka yang tidak beragama Islam tetapi hal tersebut dianggap sebagai sebuah pengkhianatan oleh kalangan Islam karena menghapus tujuan mereka dalam mengelola persoalan kenegaraan dalam kerangka Islam.

Penghilangan tujuh kata dalam Pancasila ini kemudian melahirkan banyak tafsir ganda. Mereka yang non muslim menafsirkan bahwa pasal ini sebagai bentuk akomodasi banyak agama yang diakui oleh Negara dalam Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara bagi mereka yang muslim ini, kata Ketuhanan yang Maha Esa adalah “suatu landasan normatif untuk mengatur jalannya negara menuju pada bentuk yang lebih Islami” (Ropi 2012, h. 97). Mereka  menafsir bahwa Ketuhanan yang Maha Esa, ialah Allah SWT yang bersifat esa atau satu. Akan tetapi mirisnya dalam proses ini, agama-agama lokal dan aliran kepercayaan justru tersingkir dari perdebatan karena tak memiliki power kekuasaan, sehingga mereka menjadi subaltern. Padahal keberadaan mereka justru lebih dahulu ada dibandingkan 5 agama yang kemudian diakui Indonesia, ditambah Konghucu ketika masa Gus Dur berkuasa. Persoalan apakah Pancasila memadai bagi pengelolaan agama dan kebebasan beragama di Indonesia selalu menjadi titik tengkar dalam perdebatan kalangan Islamis dan nasionalis sampai sekarang (Salim 2008).

Selain persoalan tafsir atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ada pula tafsir yang memperumit persoalan antara agama dan Negara yakni pada pasal Pasal 29 [ayat 2 – Ed.]UUD 1945 itu menegaskan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”. Pasal ini bagi kalangan muslim konservatif, dengan pandangan tafsir non liberal bermakna bahwa negara  membatasi kebebasan ekspresi beragama hanya bagi penduduk yang memeluk“agama” yang diakui oleh Kementerian Agama yang didirikan pada 3 Januari 1946 sebagai desakan dari partai-partai muslim  (lihat Atkinson 1987; Picard 2011).

Tafsir atas pasal 29 ayat 2 ini diartikan bahwa Negara memiliki otoritas penuh untuk menentukan siapakah yang akan memiliki agama dan siapa yang tidak memiliki agama oleh Kementrian Agama yang dikuasai oleh kalangan Islam. Hal ini mendapat tentangan keras dari kelompok Kristen, Hindu, Budha dan aliran penghayat kepercayaan dan kelompok mistik yang berkembang pada masa 1930-1950an (lihat Geels 1997; Hefner 2011). Mereka melawan dan menegaskan bahwa Negara harus mengakomodasi segala variasi keagamaan dan kebebasan jaminan beragama. Pada tahun 1950-an, para pemeluk agama-agama minoritas, terutama mereka yang bergabung dalam Partai Nasionalis Indonesia (pemenang suara terbanyak dalam pemilu 1955), berusaha mendorong agar negara mengakui kesetaraan antara kelompok-kelompok kepercayaan dengan agama (Hefner 1987).

Problem ini secara terus menerus terjadi pada masa 1950 hingga Orde Baru.  Serangkaian perubahan terhadap UUD pada tahun 1950 malah memberi wewenang lebih besar bagi intervensi negara ke dalam persoalan agama, seakan-akan demi kepentingan keharmonisan hubungan antar-agama (Ropi 2012, h. 100). Beberapa contoh yang muncul adalah 1951 menjadikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri (Hefner 2009; Ropi 2012, h. 126).

Pada tahun 1952, Kementerian Agama mendirikan badan khusus untuk melawan gerakan-gerakan keagamaan baru, apa yang dikenal sebagai aliran kepercayaan (lihat Geels 1997; Strange 1986). Aliran-aliran kepercayaan ini meruyak di seluruh Indonesia, terutama di Jawa (Hefner 1987, 2011a). Kondisi ini kemudian mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah peraturan presiden tentang “penodaan agama” yang kemudian menjadi UU Penodaan Agama pada tahun 1969 (yakni UU No. 1/PNPS/1965) dan Keputusan Menteri Agama No 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama.

Dua peraturan ini memberikan legitimasi bagi siapa pun yang  melakukan berbagai jenis kegiatan, ekspresi keagamaan yang menyimpang dari definisi tentang “agama” oleh Negara sebagai sebuah bentuk ancaman keamanan nasional. Dengan demikian terjadi pengakuan secara de facto pada agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha (5 agama) sebagai agama Negara, namun bagi para penganut aliran kepercayaan ini adalah titik mula diskriminasi, kekerasan dan ekslusi sosial atas kebebasan beragama yang lebih pluralistik.

Pada masa orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan pun tak banyak berubah. Justru eksklusi sosial makin terasa. Orde Baru yang menggunakan jargon anti komunisme kemudian melegitimasi masuknya ajaran agama di sekolah-sekolah untuk memperoleh suara dukungan dari kalangan kaum muslim dalam proses berpolitik Soeharto. Pada tahun 1969 pemerintah juga mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pendirian tempat ibadah. Bagi agama apapun yang ingin mendirikan tempat ibadah, wajib meminta izin kepada masyarakat tempat sekitar rumah ibadah dibangun. SKB ini direvisi tahun 2006 dimana konten isinya justru makin  meguatkan persetujuan lokal atas pendirian rumah ibadah. Hingga kemudian 21 Mei 1988 Soeharto turun dari tampu kepresidenan kondisi sosial, politik dan keagamaan pun berubah. Pengawasan terhadap agama mulai tak terlalu diperketat dengan penghapusan Pancasila sebagai asas tunggal.

Pada masa pasca reformasi banyak kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan pada masa Orde Baru mulai menampakan identitas mereka. Dimulai dengan adanya serangkaian kejadian terorisme dengan pengeboman pada masa awal-awal tahun 2000an yang dimotori oleh Islam garis keras kelompok Abu Bakar Ba’asyir dengan serangkaian pemboman dibeberapa tempat di Indonesia, seperti bom Bali I, bom di Kedubes Australia dan serangkaian serangan bom lainnya. Pada Juli 2005 MUI pun mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyerang Islam yang toleran dan demokratis. Dalam bahasa yang jelas dan tanpa kompromi, MUI menyebut “sekularisme, liberalisme, dan pluralisme” bertentangan dengan Islam (Gillespie 2007). Kelompok-kelompok militan Islamis, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam merujuk pada fatwa itu di dalam kritik dan kadang kala konfrontasi fisik dengan kelompok Muslim demokratis (Hasani dan Naipospos 2010; Hilmy 2010, h. 99 – 134).

Di tahun yang sama 2005, MUI pun juga mengeluarkan fatwa penghakiman terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah sebagai kelompok yang ada diluar Islam. Hal ini memicu terjadinya penyerangan terhadap terhadap kelompok-kelompok Ahmadiyah di berberapa tempat seperti di Jawa Barat, Lombok Timur dan beberapa tempat. Selain itu beberapa tahun selanjutnya, bukan hanya Ahmadiyah yang mendapatkan perlakuan kekerasan, beberapa aliran lain seperti penyerangan Syiah dan Sampang Madura, pelarangan pendirian rumah ibadah GKI Yasmin, komunitas Lia Eden dan beeberapa kasus lain menyangkut kekerasan, diskriminasi dan ekslusi sosial dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Merajut Keberagaman, Menjahit Kesadaran Berbangsa

Apa yang bisa dipelajari dari sejarah keberagaman yang kemudian berimplikasi pada nuansa kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia? Banyak sekali. Satu yang jelas semua bisa belajar dari Indonesia, bahwa “agama” bukan semata urusan keimanan dan pandangan etis namun juga terkait dengan regulasi-regulasi yang diciptakan oleh sebuah Negara tentang apa itu “agama”. Dinamisnya proses-proses politik dari setiap rezim memberikan implikasi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Sayangnya, dari proses sejarah yang tak pernah selesai direkonsilisiasikan, maka yang muncul justru diskriminasi, kekerasan dan eksklusi sosial. Ada beberapa hal yang menyebabkannya;

Pertama, Indonesia tidak pernah melakukan rekonsiliasi secara demokratis atas dasar Negara dalam tafsir atas agama. Berbagai tafsir tentang pasal pertama Pancasila tak pernah berujung pada konsensus tentang penghormatan terhadap keberagaman, sejarah masa lalu dan pruralitas sebagai sebuah fakta yang harus diterima. Hal ini tak lepas dari konteks penjajahan yang melakukan segregasi pada kelompok-kelpmpok sosial keagamaan di Indonesia. Kondisi ini berdampak siginifikan pada pola-pola hubungan antara agama dan keyakinan pasca kemerdekaan. Dimana perdebatan tentang Pancasila tidak selesai sampai hari ini.

Kedua, selain Pancasila akibat tidak pernah adanya konsensus yang jelas tentang  bagaimana menempatkan posisi agama dalam UUD (UUD Pasal 29 Ayat 2), dampaknya agama kemudian dijadikan alat untuk tarik menarik kekuasaan bagi kelompok-kelompok mayoritas untuk memasukan pengaruhnya dalam persoalan kenegaraan melalui kebijakan-kebijakan negara. Hal ini terlihat jelas dari hanya diakuinya 5 agama, sementara mereka yang memeluk agama local dan kepercayaan justru tidak diakui. Padahal keberadaan mereka justru lebih lama ada sebelum adanya Negara Indonesia berdiri tahun 1945.

Ketiga,  merajut keberagaman dengan sejarah yang kusut bukanlah perkara mudah, tetapi bukanya tidak bisa. Jika dilihat justu persoalan ini akan selesai ketika pemerintah memiliki kemauan untuk mengurai benang kusut ini. Yakni dengan mengunakan pluralisme kewargaan, yakni suatu ide mengenai pengelolaan keragaman berbagai agama dan inklusi sosial dengan memperluas akses bagi kaum-kaum minoritas untuk menggunakan haknya sebagai warga Negara menuntut dihormati dan diberi rasa nyaman dan aman atas keyakinan yang dipilihnya.

[i] Diterjemahkan oleh Leo Oppenheim dalam karya James B. Pritchard, Ancient Near Eastern Texts Relating To The Old Testament (Princetown University Press, 1950). Naskah ini pada dasarnya menyebutkan tentang dikembalikannya para dewa ke masing-masing kuil mereka setelah pada era penguasa sebelumnya cenderung diberlakukan adanya keseragaman relijius.

[ii] Watt. Muhammad at Medina and R.B. Serjeant The Constitution of Medina (Islamic Quarterly 8, 1964).

[iii] W. J. van der Meulen (1979). “King Sañjaya and His Successors” Indonesia (Indonesia, Vol. 28) 28 (28): 17–54

[iv] Nurcholis Madjid, In Search of the Islamic Roots For Modern Pluralism: The Indonesian Experiences (Tempe AZ: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies Monograph Series, 1998)

[v] Martin van Bruinessen, Muslims, Minorities and Modernity : The Restructuring of Heterodoxy in The Middle East and Southeast Asia (Makalah dipresentasikan di Utrecht University, 19 November 2000)

Referensi :

Atkinson, Jane Monnig. 1987. Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion. Dalam Indonesian Religions in Transition, edited by Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, 171–186. Tucson, AZ: University of Arizona Press

Bruinessen, Martin Van. Muslims, Minorities and Modernity : The Restructuring of Heterodoxy in The Middle East and Southeast Asia (Makalah dipresentasikan di Utrecht University, 19 November 2000)

Beatty, Andrew. 1999. Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology. Cambridge:Cambridge University Press.

Bowen, John R. 1993. Muslims through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Cederroth, Sven. 1997. “Perceptions of Sasak Identity.” In Images of Malay-Indonesian Identity, edited by Michael Hitchcock and Victor T. King, 161–179. Kuala Lumpur: Oxford University Press

Geels, Anton. 1997. Subud and the Javanese Mystical Tradition. Richmond: Curzon.

Gillespie, Piers. 2007. Current Issues in Indonesian Islam: Analysing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and Secularism. Journal of Islamic Studies 18 (2): 202–240.

Hasani, Ismail, and Bona Tigor Naipospos. 2010. Wajah Para ‘Pembela’ Islam. Jakarta: Setara Institute. [The Face of the ‘Defenders’ of Islam].

Hilmy, Masdar. 2010. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Hefner, Robert W. 1987. Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java. Journal of Asian Studies 46 (3): 533–554

Hefner, Robert W. 2009. Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia. Honolulu, HI: University of Hawaii Press.

Hefner, Robert W. 2011. Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of Non-standard Islam in Contemporary Indonesia. Dalam ThePolitics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali, edited by Michel Picard and Remy Madinier, 71–91.London: Routledge.

Hefner, Robert W and Fauzi, Ihsan Ali. 2014. Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Sejarah, Teori dan Advokasi. Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,

Kartodirdjo, Sartono. 1972. Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development. Dalam Culture and Politics in Indonesia, edited by Claire Holt, 71–125.Ithaca, NY: Cornell University Press.

Laffan, Michael. 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds. Curzon: Routledge.

Madjid, Nurcholis, 1998.  In Search of the Islamic Roots For Modern Pluralism: The Indonesian Experiences (Tempe AZ: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies Monograph Series.

Nourse, Jennifer W. 1999. Conceiving Spirits: Birth Rituals and Contested Identities among Laujé of Indonesia. Washington, DC: Smithsonian Institution Press.

Pritchard James B. 2011. Ancient Near Eastern Texts Relating To The Old Testament. Princetown University Press.

Picard, Michel. 2011. Introduction: ‘Agama,’ ‘Adat,’ and Pancasila. Dalam The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and ReligiousContention in Java and Bali, edited by Michel Picard and Rémy Madinier, 1–20. London: Routledge.

Ropi, Ismatu. 2012. The Politics of Regulating Religion: State, Civil Society and the Quest for Religious Freedom in Modern Indonesia. PhD thesis, Schoolof Asia and Pacific Studies, Australian National University, Canberra.

Salim, Arskal. 2008. Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu, HI: University of Hawaii Press.

Stange, Paul. 1986. Legitimate’ “Mysticism in Indonesia. Review of Indonesian and Malaysian Affairs 20 (2): 76–117.

Watt. Muhammad at Medina and R.B. Serjeant. 1964. The Constitution of Medina. Islamic Quarterly 8.

J. van der Meulen (1979).King Sañjaya and His Successors “Indonesia (Indonesia, Vol. 28) 28 (28): 17–54

Tinggalkan komentar