Nada Fals di Tengah Komposisi Indah Kesederhanaan

Jika kita berbicara tentang masyarakat pedesaan, salah satu kata yang biasanya muncul adalah: sederhana. Meski mungkin terminologi sederhana itu kini juga sudah mulai berdistorsi dalam cakupan definisi dan batasan-batasannya sesuai perkembangan peradaban yang makin sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Namun masyarakat pedesaan memang hanya mendasarkan kehidupannya pada kesederhanaan pada level paling dasar dari yang mungkin hanya bisa dibayangkan oleh komunitas yang bukan pedesaan. Orang desa hanya makan dari apa yang mereka tanam dan hidup dari apa yang ada di sekitar mereka. Orang desa menjadikan kerja sebagai orientasi hidupnya. Dalam beberapa hal, kualitas hidup mereka yang tidak terlalu terbebani dengan ambisi-ambisi penguasaan terhadap alam atau sesama manusia bisa jadi merupakan sesuatu yang pantas dicemburui.

Maka jika kemudian kehidupan yang sudah tentram itu diintervensi oleh kepentingan-kepentingan yang antitesis dengan pola kesederhanaan, yang mencokolkan kepentingannya bukan pada kebutuhan namun lebih kepada ambisi penguasaan, hasilnya adalah korsleting, kalau tidak boleh disebut pemaksaan.

Peristiwa yang terjadi di Desa Selo Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur beberapa waktu lalu menjadi contoh gamblang pemaksaan satu kepentingan terhadap kepentingan lain. Salim, seorang warga yang aktif membela kepentingan warga desanya dari kepentingan perebutan lahan oleh pihak lain sampai harus dihilangkan nyawanya. Dalam peristiwa ini, bukan hanya soal keputusan para pelaku hingga tega melakukan penganiayaan –yang akhirnya berujung kematian- terhadap Salim dengan cara yang mungkin iblis pun tidak pernah kepikiran untuk melakukannya. Namun yang juga tak kalah patut dipersoalkan adalah semakin derasnya hujaman kepentingan yang memarginalkan masyarakat desa dari kehidupan mereka.

Sejarah menyodorkan catatan bahwa perebutan lahan sudah kerap terjadi. Benua Amerika mengalami catatan perebutan lahan oleh orang-orang Eropa dari para penduduk benua Amerika, terutama mereka yang tinggal di belahan selatan (Latin). Bentangan kepulauan di Asia Tenggara sepanjang barat ke timur bernama Indonesia juga tidak lepas dari soal perebutan lahan dari sejak Portugis yang tergiur dengan pesona Maluku hingga Jepang yang ngiler mengadakan kerjasama perdagangan dan akhirnya sempat ngendon juga di Indonesia. Semuanya bersumber pada penguasaan sumber daya alam yang berkaitan dengan kepentingan material.

Semakin terpinggirkannya kepentingan dan kebutuhan kaum penduduk asli suatu wilayah atau penduduk desa dalam konteks Indonesia oleh kepentingan-kepentingan korporasi yang materialistis sebenarnya merupakan sebuah bukti bahwa desa adalah sumber daya utama kehidupan dan peradaban. Perusahaan-perusahaan itu, diakui saja, tak akan dapat hidup tanpa adanya sumber daya di desa yang menjadi sasaran bisnis mereka. Pertanyaannya sekarang, apakah hidup memang harus selalu berputar pada poros materialistik tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah kemanusiaan?

Seperti sebuah komposisi lagu, terminologi fals akan terlontarkan ketika sebuah nada muncul di tempat yang tidak semestinya, mengurangi keindahan komposisi musik yang dimainkan. Seperti itulah gambaran peristiwa perebutan lahan yang masih terus terjadi. Meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Itulah fals. Dan siapapun rasanya tak akan merasa nikmat mendengarkan musik yang di dalamnya terdapat bagian yang fals, meski hanya satu nada saja.

Oleh karenanya isu perebutan lahan, dampak-dampak serta tawaran solusinya patut diangkat sebagai salah satu tema bulanan satunama.org mengingat dampak  berkaitan erat dengan perjuangan SATUNAMA dalam mempromosikan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat serta adil secara ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Selamat membaca edisi tematik November 2015.

Penjaga Dapur Media SATUNAMA

Tinggalkan komentar