Refleksi Penyelenggaraan Pendidikan di DIY

Satunama.org – Tujuan Negara Indonesia didirikan, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan sebagai manifestasi perwujudan tujuan tersebut menjadi sektor yang sangat penting untuk diperhatikan. Mengambil momentum 70 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, SATUNAMA dan Tribun menggelar diskusi tentang pendidikan sebagai ajang refleksi bersama.

Diskusi dilaksanakan pada Rabu, 2 September 2015 di Kantor Tribun Jogja dengan mengambil tema “Kemana Arah Pendidikan Kita? Refleksi atas Penyelenggaraan Pendidikan di DIY“. Menghadirkan 3 orang narasumber: Prasena Nawak Santi (SATUNAMA), Baskara Aji (Kepala Dinas Pendidikan DIY), serta perwakilan dari Lembaga Ombudsman Daerah. Diskusi ini sendiri dihadiri oleh 30 orang.

Pada sesi pertama, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY, Baskara Aji menyampaikan pandangannya mengenai arah penyelenggaraan pendidikan, terutama di DIY. Menurutnya, persoalan pendidikan di DIY agak berbeda dengan di Indonesia secara umum. Di DIY hampir semua anak sudah terlayani hak pendidikannya.

Hal ini dikarenakan akses perluasan pendidikan sudah merata di semua kabupaten, baik dari tingkat PAUD, pendidikan dasar maupun menengah. Perluasan akses juga didukung dengan kondisi dan kualitas sarana prasarana pendidikan yang cukup baik, sekitar 88% sarana pendidikan dalam kondisi baik. Untuk tenaga pendidik sendiri, sudah cukup tersedia, yaitu 88% lulusan Perguruan Tinggi. Walaupun menurut Baskara Aji, hal ini tidak bisa juga dinilai secara linier, karena kebutuhan tenaga pendidik disesuaikan dengan kebutuhan jenjang pendidikannya.

Beberapa data capaian pendidikan di DIY sudah cukup baik. Perwakilan sekolah di DIY berulangkali memenangkan olimpiade tingkat dunia. Angka kelulusan di DIY mencapai >99%, angka mengulang kelas sangat rendah, yaitu 0,60%, angka putus sekolah 0,21% dan yang membanggakan adalah Indeks Integritas UN di DIY tertinggi se-Indonesia, yaitu 79,52%. Walau capaian pendidikan sudah baik, namun masih ditemukan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pendidikan di DIY. Antara lain, masih adanya kekerasan di kalangan pelajar dan juga pungutan di sekolah.

Narasumber kedua, Prasena Nawak Santi, menyampaikan pentingnya pendidikan berbasis budaya lokal. Konsultan pendidikan dari Yayasan SATUNAMA yang biasa disapa Ana ini, menyampaikan keprihatinannya atas situasi sekarang dimana anak-anak muda telah melupakan budayanya. Hal ini berdampak pada karakter yang dibangun sangat berbeda dengan karakter orang terdahulu.

Padahal, menurut Ana, manusia yang tidak mengenal budayanya akan menjadi manusia marginal dan jiwanya terlantar. Ana lalu menceritakan pengalaman SATUNAMA yang telah mengembangkan program pendidikan berbasis budaya di Sikka, Nusa Tenggara Timur. Di Sikka, anak-anak diajari berbagai macam budaya lokal, dari mulai kesenian, adat maupun perilaku sehari-hari yang menjunjung tinggi budaya lokal. Di akhir pemaparannya, Ana mengusulkan pada Dikpora untuk membuat kurikulum berbasis budaya, sebagai amanat dari UU Keistimewaan No. 13 Tahun 2012.

Hanum Aryani, Wakil Ketua Lembaga Ombudsman DIY sebagai narasumber ketiga menyampaikan data Omubdsman DIY mengenai banyaknya pengaduan dari masyarakat terkait pelayanan pendidikan. Data Pengaduan tahun 2012-2014 memperlihatkan 13% pengaduan masyarakat didominasi kasus-kasus pendidikan. Untuk tahun 2015 sendiri, data pengaduan pendidikan sebesar 24% dan untuk kasus maladiministrasi sebanyak 72%. Kasus-kasus yang diadukan oleh masyarakat antara lain; penahanan ijazah oleh sekolah, pungutan, anak dikeluarkan, kegiatan MOS yang memberatkan, pemotongan uang penghargaan siswa dan masih sulitnya akses difabel terhadap layanan pendidikan.

Peserta cukup antusias, dan di sesi tanya jawab ada enam orang yang turut memberikan refleksinya atas penyelenggaraan pendidikan di DIY. Setyahadi dari Dria Manunggal menyoroti sistem pendidikan kita yang menurutnya belum membuat manusia menjadi merdeka. Seharusnya sistem pendidikan membuat manusia menjadi terideologisasi.

Witri dari Save The Children mengkritisi buku pelajaran yang justru membuat anak-anak kehilangan kreativitas. Buku pelajaran juga menurutnya melegitimasi stereotip gender. Hera dari Lembaga Kesejahteraan Sleman (LKS) turut merefleksikan kondisi bangsa saat ini yang mengalami kemunduran, misalnya masih banyak kasus kekerasan SARA. Putri Khatulistiwa dari Institut Hak Asasi Perempuan menyoroti banyaknya remaja yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan harus dikeluarkan dari sekolah. Menurutnya, Dikpora DIY harus tegas dalam membuat kebijakan menyangkut hak siswi yang KTD.

Penulis: Suharsih
Editor: Bima Sakti

Tinggalkan komentar