Kemerdekaan Melakukan Kendali Diri

Sudah 70 tahun negeri ini merdeka. Namun setiap kali peringatan kemerdekaan tiba, pertanyaan kontemplatif tentang apa makna merdeka masih selalu muncul dan menjadi bahan pembicaraan. Di satu sisi, bisa jadi itu merupakan indikator keraguan tentang kita ini sudah merdeka atau belum. Ada semacam perasaan yang setiap kali selalu datang mengganjal untuk benar-benar menerima kenyataan bahwa negeri ini sudah merdeka. Atau jangan-jangan kita ini sebenarnya memang belum merdeka.

Semakin canggihnya bentuk-bentuk penjajahan bisa tersimak dari kencangnya gerinda informasi yang bekerja nonstop hari-hari ini. Pengelola media telah menjadikan informasi sebagai komoditas yang harus dikemas, didistribusikan dan dijual dalam berbagai ragam bentuk dan cara yang tujuannya adalah mengamankan kepentingan komersil media. Dengan demikian konten informasi menjadi jauh dari jangkauan upaya mencerahkan masyarakat.

Tontonan atau konten dengan nilai hiburan atau sensasionalitas yang luar biasa mutlak dalam setiap tayangan berfungsi menjadi obat bius bagi penonton sehingga terlena dan lupa akan berlangsungnya ketimpangan di berbagai sisi kehidupan mereka. Bagi kalangan yang termarjinalkan, hiburan yang mendera secara masif tersebut menjadi sarana untuk melepaskan diri dari beban penderitaan, terkadang sampai membuat mereka menjadi cenderung tak mau bergerak untuk memperjuangkan ketidakadilan yang mereka alami. Sementara bagi kalangan menengah, mereka menjadi semakin tidak tersentuh kesadaran dan empatinya atas ketidakadilan tersebut.

Kondisi ini sebenarnya merupakan sebuah ancaman atas keanggunan demokrasi, karena dalam konstelasi kepentingan yang egosentris, demokrasi hanya melulu diletakkan sebagai dasar untuk mendahulukan kepentingan-kepentingan pribadi yang tersebar di hampir setiap sudut sehingga memunculkan persaingan yang tidak manusiawi, saling berebut, saling menjatuhkan, menganggap bahwa yang diinginkan dan dikejar-kejar sampai mati-matian itu adalah yang terbaik untuk dirinya.

Menjadi tidak asyik jika demokrasi yang digadang-gadang sebagai sarana penjamin terpenuhinya hak-hak secara semestinya, di saat yang sama juga digunakan sebagai alat untuk mengeliminasir terpenuhinya hak-hak dengan cara yang tidak semestinya. Nyatanya memang masih banyak yang belum bisa mendapatkan hak-haknya dengan rasa aman dan tidak terancam. Mereka hanya dialihkan perhatiannya atas ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi.

2065635119_e154aedacd
Kendali diri [Foto: Nika Zoe’s Flickr]
Demokrasi sebagai alat kontrol diri bukanlah sesuatu yang ngehits. Demokrasi tidak pernah dipahami sebagai kebebasan untuk mengendalikan diri dan hanya dimaknai sebagai pijakan untuk membenar-benarkan atau mendukung ambisi-ambisi diri. Sebagai sebuah cara mendapatkan hak agar bisa menikmati kewajiban-kewajiban, juga tidak pernah mampir menjadi predikat bagi sang demokrasi. Padahal itu memungkinkan seseorang untuk bebas menikmati proses dirinya dalam berkontribusi untuk kehidupan, sehingga yang dilakukannya akan pas, tidak fals, tidak salah meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena dia paham batas-batas dirinya.

Rasanya kita memang masih perlu lebih dalam lagi merenungi, mencari dan menemukan makna-makna denotasi kedirian yang tidak kabur oleh buaian-buaian semu yang mendistraksi perhatian, mencoba menggali perubahan-perubahan dalam berbagai kadar dan tingkat yang harus dilaksanakan dalam skala pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan agar bisa mereformulasi diri dan menata kembali kematangan dan kedewasaan langkah-langkah menuju merdeka yang sesungguhnya. []

Tinggalkan komentar