Menemukan Kembali Kebahagiaan Diri Sebagai Manusia

Psikologi RaosJudul Buku Psikologi Raos : Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram
Penulis : 
Ryan Sugiarto
Penerbit
: Pustaka Ifada, Yogyakarta
Jumlah Halaman: 226 hal
Cetakan I, 2015
ISBN : 
978-602-72250-0-8

Buku Psikologi Raos karya Ryan Sugiarto  ini dibuka dengan kalimat yang menyentil, kutipan  Sajak Sebatang Lisong dari WS Rendra, “Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus  asing, diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri musti merumuskan keadaan”. Seolah penulis mengajak para pembaca untuk merefleksikan sejauh mana  bangsa ini telah bergerak, mencerna, menggali pengetahuan-pengetahuan, dan kekayaan yang  dimilikinya dalam khasanah ilmu sosial  atau yang disebut penulis sebagai khasanah ilmu sosial nusantara.

Ilmu sosial nusantara memang amat kering dengan inovasi pengetahuan di Indonesia. Sebagaimana yang kita tahu kebanyakan universitas yang berada dalam rumpun sosio-humaniora memang amat sedikit sekali menghasilkan kajian akademik dan hasil pengetahuan yang khas nusantara. Sebagian teori dan buku-buku justru menggunakan rujukan dari teori-teori barat.  Tentu teori ini baik untuk menjadi bahan referensi pengetahuan, tetapi meletakannya sebagai dasar untuk menganalisis keadaan di Indonesia yang berbeda sejarah dan konteks sosialnya justru akan menghasilkan pengetahuan yang tak serta merta cocok ditanamkan di Indonesia.

Sebagai bangsa yang memiliki ribuan pulau, bahasa dan etnik, tidak terhitung berapa jumlah kekayaan pengetahuan yang dimiliki oleh Indonesia.  Berbagai Indonesianis dari luar negeri berdatangan ke Indonesia, mempelajari sejarah dan kearifan masyarakat. Mereka menghasilkan karya fenomenal seperti Geertz dengan karya Santri, Abangan dan Priayi atau Peter Cerey yang meneliti tentang Perang Jawa dan Diponegoro yang menghasilkan buku Kuasa Ramalan.

Ki Ageng Suryomentaram : Sejarah Hidup

Lalu bagaimana ilmuwan asli Indonesia? kemanakah gerak mereka? Pelan-pelan  orang-orang yang berasal dari Indonesia juga tengah bergeliat untuk menggali lagi pemikiran asli Nusantara. Mengisi kekeringan ilmu pengetahuan yang bukan hanya tentang logika yang linier tetapi juga soal “rasa”. Buku Psikologi Raos ini secara khusus mengangkat pemikiran Ki Ageng Suryomentaraman. Penulis melakukan upaya saintifikasi kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaraman.

Ki Ageng merupakan anak ke 55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo.  Sebagai anak raja, kehidupan Ki Ageng amat berkecukupan secara materi. Namun, di dalam kelimpahan materi justru sering menimbulkan ketidakbahagiaan dalam dirinya. Di dalam keraton ia hanya mengenal istilah memerintah , diperintah, menyembah dan disembah. Ini menimbulkan ketidaknyamanan di dalam diri ki Ageng. Sampai ia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Surakarta. Di dalam kereta ia melihat petani-petani merunduk untuk mencangkul sawahnya. Ia melihat petani amat menikmati pekerjaan dan merasa bahagia. Ki Ageng melihat sebuah dimensi kehidupan lain dari keraton, selain menyembah dan disembah. Peristiwa ini memberikan bekas yang mendalam kepada Ki Ageng.

Di saat bersamaan ia juga mendapatkan cobaan, kakek dan istrinya meninggal dunia. Kekecewaan mendalam amat dirasakan karena ayahnya tidak memperbolehkan kakeknya dikuburkan di samping neneknya hanya karena sang kakek keturunan orang biasa bukan darah biru seperti neneknya. Hal ini kemudian memicu Ki Ageng minggat dari keraton. Ia kemudian mengembara menjadi tukang pengeduk sumur dan berjualan kain batik. Ia berpergian hingga ke Banyumas dan kemudian diminta kembali ke keraton karena dipanggil oleh ayahnya. Ki Ageng kemudian kembali ke keraton dan meminta gelar pangerannya dicabut. Namun sang ayah tidak menyetujuinya. Setelah ayahnya meninggal barulah keinginannya melepas gelar pangeran diperbolehkan oleh Sultan HB VIII. Ia kemudian menetap di daerah Bringin, Salatiga Jawa Tengah.

Dari buku ini kita akan memahami bagaimana rasa manusia. Di sana kemudian diceritakan bagaimana Ki Ageng mulai melakukan pencarian jati dirinya. Ia memulainya dengan berbagai ritual atau bersemedi namun ia tak mendapatkan ketenangan. Hingga ada suatu kejadiaan yang membuatnya mulai meneliti dirinya sendiri. Kala itu ia ingin menyeberang sungai Kali Opak di tengah keterputusaan kehilangan  kakek dan istrinya. Oleh nelayan sekitar ia diingatkan untuk tidak menyeberang karena arus sedang deras. Namun Ki Ageng tetap nekat hingga ia akhirnya terbawa arus. Saat terbawa arus itulah ia merasakan dirinya sendiri tidak merasakan ketakutan pada kematian. Pertanyaan ketidaktakutan tentang kematian itu akhirnya terjawab suatu malam pada tahun 1927, Ki Ageng Suryomentaraman membangunkan istrinya dan berkata ;

“Bu sudah ketemu, aku tidak bisa mati. Ternyata yang merasa belum pernah ketemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas adalah orang yang wujudnya Suryomentaraman, diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa. Itulah namanya Suryomentaraman, tukang kecewa , tukang tidak puas. Sekarang aku tahu, aku sudah dapat bertemu orang namanya Suryomentaraman. Sekarang tinggal dan diawasi dan di-jajagi”

Peristiwa ini kemudian ia ceritakan kepada kawan-kawannya dan mengutarakan hasilnya “bertemu orang”, bertemu diri sendiri. Setiap kali bertemu orang, Suryomentaraman merasa senang.Rasa senang dinamakan rasa bahagia yang bebas tidak tergantung oleh tempat waktu dan keaadaan. Penyampaian hasil “bertemu orang” yang ternyata juga dirasakan oleh orang lain ini dikatakan sebagai bentuk intersubjektif yang menguji bukti-bukti kebenaranan Kawruh Jiwa Suryomentaraman. (Prihartini, 2003)[1]

Kandungan Psikologi Raos

Dalam buku ini dipaparkan bagaimana tahapan manusia bisa mencapai kebahagiaan dengan melakukan proses penemuan jati diri dengan menata keinginan-keinginan hingga mencapai kebahagiaan. Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang penuh dengan keinginan (karep) yang sifatnya mulur mungkret (mengembang dan mengempis). Keinginan manusia yang terpenuhi membuat dirinya merasa senang dan jika tidak terpenuhi maka ia akan merasa susah. Padahal sejatinya, manusia yang bisa melepaskan diri dari rasa susah dan senang inilah yang akan mencapai titik kebahagiaan yang tidak tergantung waktu, tempat dan keadaan. Karena ia sebagai manusia menyadari bahwa susah dan senang itu selalu datang beriringan.

Ketika manusia telah mampu mengetahuai diri dan keinginan-keinginannya, maka sejatinya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri. Karena karep atau keinginan itu sifatnya selalu ingin dipuaskan, padahal keinginan manusia tidak ada habisnya. Maka kemudian orang harus bisa mawas diri, agar ia bisa meneliti keinginan-keinginannya. Ketika seseorang sudah bisa mawas diri maka ia akan bisa mengendalikan dirinya sendiri. Karena sejatinya di alam semesta ini tidak ada hal material maupun immaterial yang pantas untuk secara mati-matian dicari maupun ditolak mati-matian.

Tentu setiap kali punya keinginan kita tentu akan berinteraksi dengan orang lain.Orang-orang yang tak mawas diri dan selalu ingin dipuaskan maka ia tidak akan bisa merasakan rasa orang lain. Maka kemudian jika orang sudah bisa mawas diri dan mengawasi keinginan-keinginannya, ia akan sampai pada tahap raos sami (rasa sama) terhadap manusia lain. Baginya kebahagiaan bukanlah semata untuk dirinya individual tetapi bagaimana kebahagiaan diraih guna membahagiakan orang lain.

Dalam keinginan susah senang yang terus berjalan beriringan yang abadi, diri harus bisa keluar dari perasaan getun dan sumelang. Getun adalah rasa susah oleh karena kejadian yang sudah terjadi seperti kecelakaan, sambat dan lain-lain. Sedangkan sumelang adalah rasa tidak enak (khawatir)  yang kadang-kadang berisi rasa takut,.Getun dan sumelang ini sering membuat orang menjadi mudah tergesa-gesa (kemrungsung) dan semplah (putus asa) yang bisa membuat orang bertindak di luar nalar.

Dengan memahami getun dan sumelang inilah orang akan tahu bahwa keinginan dalam dirinya memang akan abadi. Memahami keinginan akan melahirkan sifat tatag kendel (berani) dan tidak takut menghadapi apapun.  Maka kesimpulan sederhana dari pemikiran Ki Ageng Suryomentaraman tentang Bahagia ; “maka, orang akan merasa “aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia” adalah titik puncak dari kebahagiaan manusia.

Terakhir orang hidup pasti pernah mengalami pahit getir. Jika orang sudah bisa memahami pahit getir, pengalaman hidup bagi diri sendiri maka ia akan memperoleh ijazah hidup.  Ijazah hidup merupakan bekal hidup yang dialami, dirasakan dan diatasi dengan sempurna. Maka orang tersebut akan bisa menghargai kebahagiaan. Mengapa? Karena orang yang kurang memiliki pengalaman pahit getir ini, orang akan menjadi takut , tidak bisa mengendalikan diri sendiri dan melakukan kerusakan kepada manusia lain dan bumi seisinya.

Peresensi:
Any Sundary
Desk Perempuan dan Politik
Departemen Politik Demokrasi dan Desa
Yayasan SATUNAMA

[1] Prihartini, N. (2003) Kualitas Kepribadian Ditinjau dari Konsep Rasa Suryomentaraman dalam Perspektif Psikologi. Dise

Satu pemikiran pada “Menemukan Kembali Kebahagiaan Diri Sebagai Manusia”

Tinggalkan komentar