Tsunami Informasi, Pendidikan Anak dan Orang Tua Follower

Beberapa tahun belakangan, banyak anak-anak yang mengalami keterhanyutan diri dalam gelombang budaya modern di hampir segala sisi kehidupannya. Semakin canggihnya teknologi terutama di bidang informasi telah membawa anak-anak generasi masa kini ke dalam situasi di mana mereka menjadi lebih cepat mendapatkan sebuah informasi dibandingkan anak-anak generasi sebelumnya. Munculnya perangkat handphone yang kemudian berkembang dengan berbagai varian, bentuk dan fungsi –di antaranya adalah dibenamkannya fasilitas akses internet di dalamnya-  semakin memudahkan pengaksesan informasi bagi anak-anak sekarang secara hampir tidak terbendung dan tidak tersaring lebih dulu.

Dalam situasi semacam itu, sejatinya dibutuhkan pemahaman akan dasar definitif ilmu dan pengetahuan yang benar-benar meresap di dalam diri anak-anak agar mereka dapat mengolah setiap kepingan informasi yang sampai kepada dirinya. Padahal sebagai sebuah dasar, pengetahuan saja belumlah cukup untuk dapat memandu seorang anak bergerak secara positif dalam kehidupannya. Sementara ilmu, yang merupakan tingkatan yang lebih mengandung esensi aplikatif dalam menyikapi pengetahuan, juga harus terus-menerus muncul dalam diri seseorang dengan catatan pengetahuan yang dimilikinya tidak diselewengkan hanya untuk kepentingan pribadinya atau malah digunakan untuk merugikan orang lain.

Manusia lahir dan bertumbuh kembang melewati beberapa fase. Psikolog pendidikan Jean Piaget pernah menyodorkan tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dibaginya dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pada saat lahir sampai berusia 1-2 tahun, di mana seorang anak hanya mampu menggerakkan anggota tubuhnya yang bersifat fisik untuk menyentuh setiap benda tanpa paham fungsi, situasi dan batas-batas penggunaan benda-benda yang disentuhnya.

Pada usia sekitar 2-7 tahun, cara berpikir anak masihlah belum terbentuk secara terorganisir, tidak sistematis dan tidak logis. Namun anak sudah mulai mampu memahami realitas yang ada di sekitarnya dengan manggunakan basis pengetahuan yang didapatkannya. Sehingga dia mulai memanfaatkan informasi tersebut, misalnya untuk melindungi diri dalam bentuk-bentuk yang sederhana dari resiko-resiko yang sekiranya dapat membahayakan dirinya. Misalnya tidak menyentuh api karena tahu bahwa api itu panas.

Usia 7 hingga usia pra remaja 10-12 tahun ditandai dengan perkembangan pribadi di mana fungsi-fungsi indera mulai digunakan untuk bergerak mencari informasi dengan mengadakan pengamatan-pengamatan. Cara berpikirnya mulai sedikit logis. Ini akan menguatkan pengalaman dan pemahaman  yang telah didapatkan pada fase sebelumnya. Juga mulai merasakan sisi-sisi emosional secara lebih dalam tentang sebuah peristiwa.

Kemudian pada usia 12 tahun hingga pasca remaja 21 tahun, seseorang akan semakin mengembangkan kemampuan nalarnya untuk menarik kesimpulan dari informasi yang diperolehnya. Mulai paham akan fungsi, batas-batas serta nilai dan norma. Perkembangan psikoseksual dan sosialnya mulai memungkinkan untuk berpikir dan bertindak sebagai orang dewasa, meski belum sepenuhnya terbentuk, karena sisi emosional dan kebutuhan akan pemenuhan keinginan dirinya masih cenderung mendominasi.

Jika berbicara tentang fase tumbuh kembang manusia, tahapan-tahapan yang disusun Jean Piaget ini bisa dikembangkan ke tahap berikutnya di mana seseorang memasuki tahap dewasa setelah usia 21 tahun. Secara umum, pada tahap ini seseorang sudah memiliki banyak informasi dari hasil pengamatan dan pengalaman terhadap diri dan lingkungannya. Jika berbicara tentang ilmu dan pengetahuan, maka seseorang pada tahap ini sudah memiliki kemampuan untuk mentransformasikan pengetahuannya menjadi ilmu yang bisa dikontribusikan kepada kehidupan dan bukan lagi melulu bersifat self-oriented atau hanya berorientasi pada diri sendiri. Gampangnya, dia sudah paham bagaimana menggunakan sesuatu untuk kebaikan bersama.

Kalau merujuk pada proses tumbuh-kembang manusia, maka yang dimaksud dengan pertumbuhan manusia sebenarnya adalah proses perubahan fisik, sedangkan perkembangan manusia ialah proses untuk mampu mencapai suatu kemampuan sesuai rentang usia. Lalu ketika sudah berkembang, maka tibalah waktunya untuk berbuah, yaitu ketika ia telah mampu menyumbangkan ide atau hikmah kehidupan yang diperolehnya. Tingkatan berbuah inilah yang pencapaiannya tidak sama pada setiap orang. Ada yang cepat sampai, ada yang setelah sekian lama baru sampai.

Munculnya tsunami informasi dewasa ini, harus bisa disikapi dengan memiliki pegangan yang kuat dalam menerima dan mengolah setiap informasi yang didapat. Dan fase anak-anak merupakan fase yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan pemikiran dan pengambilan keputusan seseorang dalam hidup dia selanjutnya. Oleh karenanya, pemahaman dasar bahwa pengetahuan dan informasi seharusnya digunakan untuk memandu seseorang mencapai kesimpulan atau keputusan yang benar dan bukannya digunakan untuk membenar-benarkan kesimpulan yang dibuat lebih dulu harus sudah mulai ditanamkan kepada anak-anak lewat metoda-metoda yang sesuai dengan perkembangan usianya.

Pendidikan Rasa dan Logika Bolean

Tantangan orang tua zaman sekarang di antaranya adalah bagaimana memunculkan figur baik dalam dirinya yang mampu menginspirasi sang anak di tengah-tengah serbuan tayangan televisi dan unggahan material internet yang seringkali lebih menarik perhatian anak. Atau sekurang-kurangnya, bagaimana orang tua mampu menciptakan suasana yang mampu membuat anak merasa lebih nyaman dan tertarik berada di dalamnya. Memori anak-anak sangatlah kuat dan daya imajinasinya begitu tinggi. Mereka bisa dengan cepat menirukan hal-hal baru dari lingkungan keluarga, masyarakat sekitar dan media-media seperti televisi dan internet.

Ambil contoh, dalam semesta musik populer, hari ini nyaris tidak ditemukan lagi lagu anak-anak yang menceritakan tentang hal-hal positif. Yang ada sekarang adalah produksi massal lagu-lagu instan yang demi mengejar keuntungan komersial, struktur lagu dan liriknya kemudian juga dibuat secara dangkal dengan menggunakan idiom-idiom yang kira-kira bisa booming atau sudah mulai booming di tengah masyarakat. Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang bisa cepat hafal lirik-lirik lagu yang menggunakan idiom-idiom yang tengah naik daun.

Proses pendidikan yang komprehensif menjadi penting kiranya di sini. Dalam ranah pengetahuan, ada dikenal dua macam teori logika, yaitu logika Bolean dan logika Fuzzy. Logika atau penghitungan Bolean hanya memiliki dua macam nilai. Hitam dan putih, 1 dan 0 atau semacam itu. Sementara logika Fuzzy memungkinkan lebih banyak nilai di antara kedua nilai tersebut. Di antara hitam dan putih masih memungkinkan adanya spektrum warna lain. Di antara 1 dan 0 masih memungkinkan adanya jajaran bilangan lain. Dalam Agama Islam, contoh wilayah logika Fuzzy bisa dilihat pada rentangan matriks lima nilai-nilai acuan kehidupan dari tingkatan wajib hingga haram, di mana di antaranya ada sunnah, mubah dan makruh.

Sementara dalam proses tumbuh kembang berbuah manusia, logika Bolean merujuk kepada aspek-aspek yang bersifat fisik atau jasmani, semisal DNA atau sistem kerja organ tubuh yang semuanya bersifat eksak atau pasti. Sementara logika Fuzzy berada dalam ranah rohani. Ini biasanya dikaitkan dengan roso, yang membentuk sikap dalam menanggapi informasi atau berhubungan dengan orang lain atau alam sekitarnya.

Pendidikan tentang roso inilah yang dibutuhkan untuk merespon setiap limpahan informasi atau pengetahuan yang sampai kepada diri seorang anak. Sehingga sang anak bisa paham bagaimana dia harus bersikap terhadap sebuah informasi atau pengetahuan dan berperilaku kontributif positif bagi masyarakat. Karena percuma jika seorang anak berhasil mendapatkan ranking satu di sekolahnya atau seorang mahasiswa mampu lulus cum laude namun tidak paham bagaimana bersopan santun atau bagaimana cara menghormati atau menghargai orang lain yang tidak sepaham dengannya.

Bukan Hak Orang Tua

Keseimbangan antara pendidikan pengetahuan dan pendidikan rasa pada akhirnya memang harus dibangun sebagai bekal bagi seorang anak dalam hidup bermasyarakat. Dan cara didik yang pas akan mampu membawa anak menuju pada keseimbangan tersebut.

Setidaknya ada dua gaya cara mendidik anak. Yang pertama adalah dengan memberikan target, dan yang kedua adalah dengan cara memberikan wacana. Cara memberikan target cocok untuk menumbuhkan disiplin anak. Dalam hal ini, sekolah formal menjadi tempat yang pas dengan segala targetnya seperti nilai rapor, pekerjaan rumah, naik kelas dan sebagainya.

Sementara cara kedua, yaitu memberikan wacana, lebih cocok dilakukan di luar sekolah yang dalam hal ini akan menuntut peran besar orang tua, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Menyediakan sarana dan fasilitas yang sesuai sebagai proses belajar anak misalnya buku, komputer, alat musik, alat permainan dan sebagainya akan membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir, berekspresi dan mengungkapkan pendapatnya. Satu hal lagi adalah mengajak anak untuk mengalami sendiri sebuah peristiwa. Karena dengan mengalami sendiri, anak akan merekam hal itu dalam memorinya sehingga akan berguna bagi dirinya kelak.

Dengan demikian, kemampuan orang tua untuk mengidentifikasi karakter anaknya sangat diperlukan dalam menentukan apakah anaknya termasuk lebih condong berkarakter target atau wacana. Artinya, jalur mainstream atau cara yang umum dalam menerapkan pendidikan tidak harus selalu diberlakukan secara saklek bagi setiap anak. Memahami karakter anak terlebih dahulu, mengamati dia itu sebenarnya arahnya ke mana, dan kemudian baru menentukan sikap terhadap porsi pendidikannya, itu akan lebih baik efeknya bagi sang anak.

Oleh karenanya, orang tua harus mampu melakukan pengawalan terhadap sang anak. Dan kesadaran utama yang harus dimiliki setiap orang tua dalam mengawal anak adalah bahwa orang tua sejatinya tidak memiliki hak terhadap anak. Orang tua hanya punya kewajiban mengikuti, ngetutke. Menjadi follower setia anaknya. Menemani anaknya dalam setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan sang anak. Mengajaknya berdiskusi. Menanyakan alasan-alasan dasar pengambilan keputusannya. Kemudian iringi dia dalam mengolah keputusannya itu dengan segala konsekuensinya.

Sekurang-kurangnya dari situ anak akan bisa belajar untuk berusaha mencari sisi baik dari sesuatu yang buruk sekalipun. Kalau sudah begitu, informasi apa pun yang masuk ke dalam dirinya, diharapkan akan mampu diolahnya menjadi hasil yang positif. Karena dia sebenarnya tengah mencari pola yang pas untuk dirinya sendiri dan kehidupannya. []

Ariwan K. Perdana
Staf Pengelolaan Media
Departemen Pengelolaan Pengetahuan Jejaring dan Media
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar