Problem Perlindungan Anak di Keningar

Minimnya pemerhati anak dan kurangnya pengetahuan sebagian besar masyarakat pada aturan yang mengatur tentang perlindungan anak adalah salah satu permasalahan yang muncul di wilayah Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Pemerintah Keningar sendiri  juga belum gencar  mensosialisasikan  tentang UU Perlindungan Anak sehingga belum tersampaikan oleh semua lapisan masyarakat Keningar serta belum adanya perdes tentang perlindungan anak, ditambah raperda tentang perlindungan anak yang masih dalam tahap penggodokan.  Kondisi-kondisi  ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada perkembangan anak-anak di Keningar.

Perlunya pemahaman tentang aturan-aturan yang berpihak pada anak memang menjadi hal yang mutlak.  Kurangnya pengetahuan tersebut akan berdampak pada munculnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan sangat mungkin terjadi kasus-kasus terhadap anak-anak ini akan lebih banyak yang tidak akan mencuat ke publik sehingga sangat menguntungkan kepada pihak pelaku yang merasa aman nyaman dari jeratan hukum. Tidak adanya efek jera bagi para pelaku-pelaku tersebut akan membuat  para pelaku  merasa tidak bedosa atas perbuatan-perbuatan kekerasan yang telah mereka lakukan.

Di wilayah Magelang sendiri, kekerasan terhadap anak pernah terjadi pada sekitar tahun 1982 silam. Seorang anak perempuan mengalami kekerasan seksual oleh bapak-bapak sehingga hamil,  namun hal ini dianggap sebagai aib sehingga bukannya dilindungi, sang anak justru mendapat tekanan secara fisik maupun psikis. Pada tahun 2000 juga terjadi peristiwa yang menimpa seorang anak yang harus berhadapan dengan hukum dalam kasus keterlibatan curanmor, namun pihak pemerintah Keningar seakan tidak peduli dengan kejadian yang menimpa anak tersebut, dan justru menjadikan si anak dan keluarganya sebagai proyek pemerasan.

Sekitar tahun 2014 muncul juga dua kasus anak yang mengalami kekerasan seksual oleh orang dewasa yang bermoduskan hubungan pacaran dan bujuk rayu. Salah satu korban juga mendapat kekerasan psikis serta fisik dari orang tuanya sehingga membuatnya takut dan akhirnya kabur dari rumah bersama pacarnya selama satu minggu. Ketika pulang, permalasahan ini langsung dilaporkan ke kepala desa Keningar dan langsung dilakukan mediasi. Tetapi oknum pemerintah Keningar lagi-lagi justru berpihak pada pelaku.

Jumlah kasus-kasus kekerasan terhadap anak juga tidak bisa dianggap enteng. Di tahun 2009, data kasus kekerasan dalam masa pacaran dari LSM Sahabat Perempuan Kabupaten Magelang mencapai 101 kasus dengan 126 pelaku, 119 korban dan 13 meninggal. Sementara di skala nasional, data kasus kekerasan pada anak  juga meningkat lebih dari 100% pada tahun 2014. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 1.366 kasus di tahun 2014, meningkat dari tahun 2013 yang mencapai 536 kasus. Tahun ini hingga Bulan April 2015 KPAI telah mencatat 6.006 kasus terhadap anak, sementara jumlah kasus pengasuhan mencapai 3.160 kasus, pendidikan mencapai 3.160 kasus, kesehatan dan NAPZA 1.366 kasus serta cybercrime atau pornografi mencapai 1.032 kasus.

Orang Tua Harus Paham

Munculnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak merupakan indikator kurangnya pengawasan orang tua. Kesadaran orang tua terhadap perlindungan anak dari kekerasan psikis dan fisik nampak masih memprihatinkan. Padahal keluarga adalah kunci utama dalam pendidikan nilai, norma, etika dalam kehidupan sehari-hari dan perlunya memberikan sapa, hibur, peluk, serta cinta yang bertujuan  memberi teladan dan kelamahlembutan agar anak memiliki optimisme dalam menatap masa depan.

Orang tua harus sadar dan tanggap akan dampak- dampak dari kekerasan dan harus paham betul macam-macam kekerasan seperti kekerasan fisik, kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual dan kekerasan psikis . Karena secara psikis dan psikologis anak  rentan terhadap segala kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Pada umumnya anak masih labil, sehingga anak selalu digambarkan sebagai fase yang sangat penting dalam proses pertumbuhan fisik dan jiwanya. Hal tersebut dikarenakan anak termasuk kedalam kelompok individu yang masih memiliki ketergantungan yang erat dengan orang lain, memiliki sifat keluguan, memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus, serta masih membutuhkan perlindungan dan perawatan yang bersifat khusus pula.

Masih banyaknya kasus-kasus kekerasan anak yang tidak terlaporkan juga menjadi salah satu hal yang dipicu oleh kurangnya kesadaran dan pengetahuan orang tua akan kekerasan terhadap anak. Dengan demikian perlu memang dibangun kesadaran akan hal tersebut di tingkatan orang tua.

Setidaknya jika kesadaran ini bisa dicapai, akan ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan. Pertama, kesadaran korban mulai terbangun dengan berani mengungkapkan persoalan  yang dihadapinya sejalan dengan gencarnya upaya masyarakat dan pemerhati anak juga si anak sendiri dalam mensosialisasikan hak-hak anak; Kedua, semakin banyaknya komunitas masyarakat yang memfokuskan diri pada upaya membantu kelompok anak agar semakin sadar dan kuat dalam mempertahankan hak-haknya; Ketiga, kepedulian Pemerintah terhadap peningkatan kapasitas anak di dalam sektor pembangunan.

Perlidungan anak juga tidak cukup hanya dengan menggunakan aturan saja seperti UU Perlindungan Anak, Perda Perlindungan Anak dan Perdes Perlindungan  Anak. Lebih luas lagi, para penegak hukum, pegiat perlindungan anak, pemerhati anak , lingkungan masyarakat harus menjadi kunci utama tercapainya perlindungan anak. Pembekalan anak-anak terhadap UU Perlindungan Anak juga harus lebih efektif dilakukan agar anak-anak juga paham tentang hal-hal yang berpotensi menimbulkan kekerasan kepada mereka.

Yehezkiel Sugiyono
Warga Keningar, Pengamat Isu Anak-anak dan Lingkungan

Tinggalkan komentar