Kekerasan terhadap Anak dan Sikap Media: Belajar dari Kasus Engeline

Riuhnya pemberitaan media tentang peristiwa yang terjadi pada gadis cilik Engeline memberi banyak iinformasi kepada masyarkat luas. Namun di sisi lain, volume pemberitaan melalui  media massa yang begitu deras dan masif seringkali tidak dibarengi dengan akurasi data dan terkadang hanya menonjolkan bumbu sensasionalnya saja.

Hal tersebut mengemuka dalam helatan diskusi Beranda Perempuan bertajuk Perempuan dan Anak Rentan Mengalami Kekerasan Seksual: Belajar dari Kasus Engeline, kerjasama SATUNAMA dan AJI-Yogyakarta yang diadakan pada Selasa (30/6) di Dongeng Cafe dan Indie Book Corner, Gorongan, Depok, Sleman DIY.

Any Sundari dari SATUNAMA membuka diskusi dengan menyebutkan bahwa kasus Engeline bisa menjadi refleksi tentang bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap remaja dan anak yang mengalami kekerasan seksual serta bagaimana media seharusnya melakukan pemberitaan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.

“Kasus Engeline ini hanya satu yang muncul ke permukaan. Yang perlu kita perhatikan juga adalah bahwa tidak menutup kemungkinan ada banyak kasus-kasus semacam ini yang tidak terlihat.” Demikian Indiah Wahyu Andari dari Rifka Annisa Women Crisis Center yang bertindak sebagai salah satu narasumber membuka paparannya.

“Apalagi perempuan dan anak memang rentan terhadap kekerasan, terutama kekerasan seksual.” Tambah perempuan yang sudah sejak 1993 menjadi konselor dan pendamping korban.

20150630_162018
Diskusi berlangsung menarik dan cukup mendalam dengan komentar-komentar yang reflektif [Foto: Ajeng Herliyanti]
Narasumber lain, Darmanto dari Masyarakat Peduli Media menyoroti soal etika jurnalisme dalam melakukan pemberitaan. “Media kerap melakukan kekerasan kepada korban dengan liputan atau tayangan yang semakin membebani pihak korban. Misalnya mewawancarai keluarga korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang cenderung menguras emosi agar terkesan sensasional.” Ujarnya.

Darmanto juga menyebutkan bahwa pemberitaan media cenderung mengarah ke stigmatisasi, konten pemberitaan dangkal dan terkadang vulgar. “Aspek psikologis keluarga korban tidak dipertimbangkan. Menjadi semacam teror psikologis bagi mereka. Apalagi kalau kasusnya ramai di media sosial. Jadi gaduh tapi kurang esensial.”

Lontaran tanggapan dan pertanyaan muncul dari para peserta diskusi, salah satunya adalah Bambang Muryanto dari AJI Yogyakarta yang mengungkapkan pengalamannya sebagai jurnalis. “Jurnalis terkadang tidak mendapatkan data yang akurat sehingga hal itu mempengaruhi hasil pemberitaan.” Ujarnya.

Sementara Nunung Qomariyah dari SATUNAMA berkomentar soal munculnya keberanian perempuan saat ini untuk mau bicara tentang apa yang menimpa dirinya. “Saya melihat ada kemajuan dalam hal ini. Banyak kasus-kasus yang terekspos oleh media dan akhirnya mendapat penanganan, meski tereksposnya juga belum berimbang. Masih timpang dan tidak jernih.” Kata dia.

Darmanto kemudian mengusulkan agar organisasi-organisasi seperti LSM mulai membuka data yang dimilikinya secara publik misalnya melalui website resminya. “Tujuannya untuk memudahkan para jurnalis mengakses data yang dibutuhkan dan agar bisa dilakukan komparasi data jika pemberitaan yang muncul ternyata berbeda. Ini masalahnya karena media-media seperti TV itu kan menuhankan rating, sehingga sensasionalitas, stereotype dan sebagainya itu menjadi semacam malaikat-malaikatnya. Jadi kita harus mengimbangnya dengan media kita sendiri yang lebih akurat dan bertanggungjawab.”

“Karena kita ini memang sedang menghadapi problematika. Kalau media dikontrol, nanti dikira mundur demokrasinya. Tapi kalau tidak dikontrol, ya entah kapan akan berubahnya. ” Kata Darmanto.

Penulis : Ariwan K Perdana
Editor : Ryan Sugiarto

Tinggalkan komentar